Prolog

641 55 5
                                    

Hujan mulai mereda ketika itu, menyisakan bau tanah yang basah. Dan dari arah timur, sinar matahari perlahan muncul, membuat cewek di depanku terlihat semakin bercahaya seperti bidadari yang lupa pulang ke langit. Aku berjalan mendekatinya, lalu diam. Hanya menatap si bidadari yang juga sedang menatapku, dia menaik-naikan kedua alisnya. Sudut bibirnya sedikit terangkat, bersiap untuk nyengir.

"Aku suka sama kamu." Ujarku pelan.

"Ha?"

Dan dia betulan nyengir, lalu tertawa. Namun, tatapannya masih tertuju pada mataku. "Terus?" Tanyanya.

"Mau nggak jadi pacarku?"

Dia tertawa lagi. "Oh Tuhan! Danan! Danan! Danan! Kamu manis sekali!" Dia geleng-geleng kepala. "Akhirnya kamu berani juga nembak cewek. Kamu hebat, Danan!"

Sejenak kami terdiam, saling menatap. Aku ikut nyengir, masih menunggu dengan dada berdebar, dan kakiku terasa lemas seperti agar-agar.

"Apa harus aku jawab sekarang?" Tanyanya tiba-tiba.

"Nggak sih. Terserah kamu." Sahutku gugup. "Umm, pikirin aja dulu, dan jawab kapanpun kamu siap."

"Umm, sebenarnya aku pengin jawab sekarang, tapi pagi ini aku benar-benar sibuk. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Ujarnya sambil menatapku sendu. "Beri aku waktu dua hari, dan aku akan memberimu jawaban di hari Senin."

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Sini kamu." Ujar cewek itu sembari merentangkan tangannya. Aku mendekat dan dia memelukku lembut.

Dan ternyata tidak sampai di sana saja, setelah pelukannya merenggang, dia menatapku lama. Jarak kami masih sangat dekat, dan tiba-tiba dia menciumku. Bibirnya yang mungil mendarat lembut di pipiku, dan sedikit menyentuh bibirku. Ciuman yang setengah-setengah, dan hanya sebentar. Namun, aku bisa merasakan bibir itu begitu lembut dan basah, dan wanginya seperti mulut bayi. Itu sudah cukup untuk membuat dadaku semakin berdebar tak keruan dan tubuhku sedikit menggigil.

Lantas, dia kembali menatapku. "Tunggu jawabannya di hari Senin." Ujarnya sekali lagi sambil tersenyum.

Dan di momen itulah, saat aku menatap senyum itu, aku tahu bahwa itu adalah senyum termanis yang pernah dia berikan untukku selama aku mengenalnya. Seharusnya—kalau betulan sayang, aku akan ikut pergi menemaninya. Namun, aku tidak melakukan itu. Dan dengan bodohnya, aku memilih diam di rumah, mengerjakan naskah novel yang akan kubenci setengah mati. Momen itulah yang akan aku sesali seumur hidup. Karena pagi itu adalah kali terakhir aku melihatnya.    

Jejak BintangWhere stories live. Discover now