BAB 15

75 7 2
                                    

Rachita tak akan lupa, ke mana dia harus berterima kasih, karena sudah menyadarkannya soal hal paling penting sebagai seorang ibu.

Ya, dia, pria itu.

Tak butuh waktu lama setelah menunggu dering telepon, seseorang mengangkatnya.

"Halo?" Seberang sana bertanya.

"Halo, Pak Adnan. Ini saya, Ibu Banyu."

"Oh, Ibunda Banyu. Ada apa lagi, Bu?" Ada nada dingin di sana, tetapi Rachita mengerti, pria itu pasti sangat kesal akan keangkuhan Rachita kemarin, meremehkannya sebagai seorang guru secara tidak langsung.

"Pak, saya ingin meminta maaf atas kejadian kemarin, saya sadar saya bersalah, saya benar-benar lancang atas ungkapan saya yang sangat meremehkan Bapak." Rachita berkata sungguh-sungguh. "Maaf."

"Ah, tak apa, Bu. Saya mengerti."

"Dan lagi, saya juga sangat berterima kasih, berkat Bapak ... saya mengerti apa yang Banyu butuhkan. Saya ... sebagai seorang ibu."

Di seberang sana, Adnan tersenyum, syukurlah sudah lurus.

"Saya juga ingin meminta maaf jika kemarin ucapan saya agaknya lancang kepada Ibu." Kali ini, Adnan berkata, nada suaranya terdengar lebih hangat membuat Rachita tersenyum.

"Enggak, tidak sama sekali, karena kamu ... Bapak benar, Bapak tidak salah sama sekali, saya justru berterima kasih karena orang seperti saya memang seharusnya mendapat tamparan keras." Sejenak, ada jeda di antara mereka, tetapi entah kenapa Rachita bisa merasakan sosok di seberang telepon puas dengan hasil ini. "Dan sebagai ungkapan terima kasih, saya ingin mengajak Bapak, serta keluarga, makan malam bersama, jika Bapak tidak sibuk."

"Oh, makan malam?" Adnan memang punya waktu senggang, dan Tanaya pun pasti demikian. Lagi, dia juga merindukan Banyu, bagaimana keadaan anak itu sekarang?

Sepertinya sangat bahagia akan perubahan sang ibu.

"Benar, Pak."

"Baik, di mana tempatnya, Bu Rachita?"

"Restoran S, Bapak tahu lokasinya? Pukul 8 malam ini."

"Baiklah, Bu. Terima kasih banyak atas ajakannya." Adnan menerima dengan senang hati.

"Saya yang harusnya berterima kasih karena Bapak menerima ajakan saya. Saya tunggu kehadiran Bapak."

Adnan tertawa pelan. "Baik, Bu."

"Mamah, nelepon siapa?" tanya Banyu, dia baru selesai mandi dan langsung menghampiri sang ibu.

"Ada deh." Rachita menoel hidung mancung putranya. "Nanti malam kita makan malam di restoran S, ya."

"Eh, restoran S?" Wajah Banyu begitu berseri. Itu restoran yang sering mereka kunjungi, bersama mendiang ayahnya.

Papah ....

Melihat wajah murung Banyu, ibunya menyamakan tinggi, pun menangkup kedua pipi Banyu. "Kenapa kok tiba-tiba sedih? Kamu kangen Papah, ya, Sayang?" Dengan jujur, Banyu mengangguk.

Meski seperdetik kemudian, ia tersenyum menegarkan diri. "Gak papa, kata Mamah Papah kan selalu sama kita, aku seneng kita bisa ke sana lagi! Aku mau makan capit kepiting gede!"

Melihat Banyu ceria lagi, Rachita melega. "Baiklah, Sayang. Oh ya malam ini kita pergi gak sendiri, nanti ada temen."

"Siapa, Mah?"

"Nanti kamu akan tahu, kamu pasti seneng." Banyu menatap bingung. "Udah, jangan dipikirin, sekarang kamu mau lakuin apa?"

"Mamah, aku mau berkebun!"

"Ayo!"

Mereka rindu berkebun bersama, sudah sangat lama tak melakukan hal ini. Syukur saja, kebun mereka masih bagus, dirawat dengan baik oleh Ulfah serta tukang kebun. Hari itu ibu dan anak tersebut benar-benar mengisi waktu mereka bersama, berdua, melakukan hal-hal yang sudah lama tak dilakukan.

Lalu, menggambar bersama.

Gambar seorang anak, yang duduk di pelukan wanita yang tengah membacakan dongeng untuknya.

"Aku enggak lagi kesepian ...."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku?Where stories live. Discover now