BAB 09

68 8 2
                                    

"Maafkan Mamah, ya, Sayang. Maaf." Ia berusaha memohon, tetapi Banyu diam tak menggubris. "Banyu, maafin Mamah, tolong mengertilah Mamah sibuk bekerja, maaf Mamah gak segera ke rumah sakit nemuin kamu. Sekarang, kamu mau apa? Mainan? Makanan? Atau kamu mau liburan? Ayo, Sayang, bilang ke Mamah. Maafin Mamah, ya."

Banyu terisak dalam diam, bukan itu yang dia mau, rasanya tak sanggup mengungkapkan apa yang dia inginkan, karena dari ucapannya. Ibunya tak akan berubah. Dia tak mau mainan, makanan, ataupun liburan yang pasti dia dan Ulfah saja, ibunya? Kerja!

Selalu kerja!

Ulfah pun rasanya ingin meralat, apa yang sesungguhnya aden mudanya perlukan.

"Banyu ...." Wanita tersebut berusaha membujuk. "Mamah pesankan makanan kesukaan kamu, ya."

"Mamah," kata Banyu, nada suaranya agak gemetar, tetapi dia berusaha menahan tangis. "Aku mau tidur."

Mendengar jawaban itu, entah karena tak sadar, ibunya malah tersenyum hangat. "Baiklah, Sayang. Kalau ada apa-apa, bilang ke Ulfah ya. Mamah mau pulang sebentar. Ulfah, kamu jaga dia."

"Ba-baik Nyonya."

Tidak, tak seharusnya nyonya besar pulang, bukan ini yang Banyu inginkan, rasanya Ulfah ingin menghalangi tetapi dia terlalu takut, hingga membiarkan si wanita pergi. Nyonyanya tak paham jika bukan sosok ayah yang telah tiada saja yang dibutuhkan Banyu, melainkan kasih sayang orang tua yang bisa dicurahkan nyonya besar pada anaknya juga.

Ia harus melakukan sesuatu ... tapi bagaimana? Bagaimana?

Lalu, mata Ulfah melihat Banyu, yang ternyata bangkit dari tidurannya. "Eh, Aden."

"Bibi, ambilkan itu!" pinta Banyu, menunjuk sebuah lemari berisi banyak buku di sana. Ruang VIP anak ini memang seperti kamar hotel dengan beragam fasilitas.

Salah satunya, buku anak dalam lemari.

"Ba-baik, Den. Mau buku yang mana?" tanya Ulfah, meski kemudian bertanya lagi. "Anu, apa Aden enggak tidur?"

Banyu tak menjawab itu. "Ambilkan aku buku menggambar yang kosong sama krayon." Memang ada fasilitas itu di sana.

Dan Ulfah rasa, bagus, bisa jadi kegiatan ini memberikan sedikit keringanan untuk pikiran sang anak. Dia terlalu kecil untuk memikirkan itu semua.

Ya, terlalu kecil.

"Bibi sana aja duduk, aku mau di sini sendirian, ngegambar." Ulfah mengangguk patuh, dia menuju sofa yang tersedia di sana, dan memperhatikan Banyu yang menggambar dari jauh. Menjaga dirinya agar tak terlelap, terus memperhatikan, dan menikmati roti serta air mineral yang dia simpan.

"Aden, mau makan sesuatu?" Hanya gelengan, Banyu tak menjawab.

Dan tampaknya, nyonya besar tak kembali ....

Banyu terus menggambar, hingga beberapa jam, anak itu ketiduran karena lelah. Ulfah menghampirinya, dan melihat hasil gambaran Banyu.

Yang ternyata, gambar bersambung, bahkan disertai tulisan tiap ilustrasinya. Ulfah melongo, tetapi dia tak kaget, Banyu memang terkenal anak yang jenius sedari kecil.

Gambar pertama ... adalah gambar seorang anak kecil, dan sepasang orang tua di sana.

"Mamah, Papah, dan aku, suka main bareng."

Lalu, gambar pria pulang kerja yang disambut wanita serta anak kecil.

"Meski Papah sibuk kerja, kami selalu main sama-sama."

Dan, pesta ulang tahun anak itu.

"Pas aku ulang tahun ke empat, Papah pulang duluan buat kasih suprise, meski Papah salah ngasih kue malah angka 3, aku kan udah gede."

Berikutnya ... gambar wanita menangis di telepon.

"Aku liat Mamah nangis, tapi aku gak tau kenapa."

Di rumah sakit, di mana pria terbaring dengan anak serta wanitanya juga menangis.

"Jantung Papah katanya sakit, aku berdoa ke Tuhan biar jantung Papah enggak sakit lagi."

Lalu, beralih ke tempat ... peristirahatan terakhir.

"Tapi ternyata Papah enggak kuat, Papah pergi, Mamah bilang Tuhan sayang Papah makanya Papah pergi, tapi aku sama Mamah sedih."

Sungguh, apa benar anak enam tahun bisa melakukan ini?

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku?Where stories live. Discover now