BAB 02

132 11 0
                                    

Adnan menurunkan tubuh, dia sedikit menjongkok kemudian meletakkan tangan ke bahu Banyu, postur memberikan semangat pada anak tersebut.

"Banyu, Bapak tahu itu berat, seperti Tanaya dulu kehilangan Ibunya, Bapak pula kehilangan istri Bapak, memang sakit, kamu dan Ibu kamu pasti amat terpukul, tapi kita bisa lalui semua itu, bersama, kita bisa menghadapinya sama-sama. Jika kamu perlu bantuan, bilang saja ke Bapak, oke?" Adnan menarik kedua tepian bibir ke atas, membentuk senyuman penuh kehangatan.

Banyu mengangguk paham.

"Aku ... mau minta bantuan Bapak." Adnan tersenyum manis.

"Bantuan apa, Banyu?"

"Pak Guru, mau jadi Papahku?"

Eh?

Adnan terkejut, ia terdiam nge-lag seakan ponsel yang hilang koneksi, beberapa kali berkedip sejenak akhirnya Adnan berpikir. Oh, mungkin maksud anak ini, 'papah' secara sosok.

Adnan tersenyum manis. "Boleh, kamu bisa anggap Bapak, ayah kamu, Bapak juga ayah kedua dari anak-anak karena Bapak seorang guru." Diusapnya puncak kepala Banyu lembut.

Namun siapa sangka, Banyu malah cemberut, nyaris ingin menangis membuat Adnan bingung. "Banyu, ada apa?"

Suara tawa terdengar di belakang Adnan, ternyata beberapa anak perempuan masuk ke kelas, termasuk Tayana sang putri. Banyu tampak menyeka tepian mata yang sempat dibasahi bulir air mata, tak ada orang yang sempat melihat hal tersebut.

"Pagi, Pak Adnan!" sapa mereka hangat.

Kecuali, sang anak. "Eh, Ayah, aku kira Ayah tadi udah ke kantor." Tayana berkata, dia tak melihat ayahnya dan mengira Adnan sudah pergi, ternyata malah masuk ke kelas, dan tampaknya tengah berbincang dengan ketua kelas mereka--Banyu.

Semuanya menatap ke Banyu, anak kecil itu membuang pandangan ke arah jendela, dan Adnan merasa dia tak harus membicarakan soal tadi di hadapan anak-anak lain.

"Banyu, nanti pas istirahat pertama, kamu datang ke kantor Bapak, oke?" pinta Adnan.

"Baik, Pak," jawab Banyu lirih, dia masih tak menatap Adnan.

"Memang kenapa, Yah?" tanya Tayana, menatap ayahnya heran.

"Gak papa, Sayang. Kalian semua siap-siap, atribut sekolah dipakai, bentar lagi upacara!" Adnan mengingatkan.

"Siap, Pak!"

"Bapak permisi dulu." Pria itu undur diri, meninggalkan anak-anak dalam tanda tanya di kepala.

Namun, menatap Banyu, si ketua kelas yang terkenal galak, Tayana dan teman-temannya tak mau bertanya ada apa.

"Mungkin dia dimarahin Ayah kamu karena suka omelin kamu," bisik temannya.

"Tapi aku gak pernah ngaduin dia--eh uh ...." Tayana sadar, dia baru saja bilang ke ayahnya kalau Banyu galak. "Ih, aku enggak sengaja, aku gak maksud ngadu."

"Hayoloh, Ketua Kelas pasti nanti bakal ...." Dia membuat gerakan menakut-nakuti. "Huuu, hayoloh!"

"Ih, kalian!" Mereka menatap ketua kelas lagi, masih tak mau memandang siapa pun, wajahnya pula jutek seperti biasanya.

Namun, apa itu?

Tanaya melihat, ada bulir air jatuh di tepian mata Banyu, yang sesegera mungkin diseka oleh sang empunya. Tanaya menatap teman-temannya, sepertinya tak ada yang sadar akan hal itu, dan sekali lagi Tanaya melihat Banyu.

Dia mungkin salah lihat, Banyu si galak bukan anak yang cengeng. Hanya karena dimarahi ayahnya, ya? Tapi, mustahil, ayahnya itu penyayang terutama pada anak-anak, dia tak pernah memarahi siapa pun.

Banyu pula kelihatan masih diam, apa ayahnya sungguh mengancam Banyu agar tidak nakal pada Tanaya? Makin mustahil! Wajah ayahnya tadi juga begitu hangat dan manis.

Jujur, Tanaya semakin penasaran.

Jadi, dia menunggu waktu yang tepat, waktu di mana katanya ... ayahnya dan Banyu akan melakukan pertemuan di kantor.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku?Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora