BAB 11

49 10 3
                                    

Kembali ke masa sekarang ....

Apa yang dibicarakan Adnan dan ibunda Banyu saat ditelepon? Tak banyak, selain meminta pertemuan di sebuah kafetaria sunyi selepas sekolah pulang. Tanaya ada ekstrakulikuler hari ini jadi Adnan ada waktu menunggu.

Pria itu memesan Americano yang pahit, menyesapnya sesekali dengan cermat, menunggu seseorang datang. Jujur saja, ini sudah sepuluh menit dari waktu yang ditentukan.

"Maaf menunggu lama," kata seseorang, Adnan menoleh, mendapati seorang wanita cantik, berpakaian modis, ada di hadapannya. Dia segera berdiri, tersenyum, penuh kesopanan.

"Tak apa, Bu Rachita, silakan duduk." Adnan mempersilakan.

"Terima kasih." Rachita, adalah ibunda Banyu, wanita itu duduk di seberang Adnan.

"Maaf saya memesan duluan, Bu. Apa Ibu--"

"Tidak, tidak usah, singkat saja." Rachita to the point, di mata Adnan sepertinya wanita ini wanita yang agak angkuh.

Namun, dia tetap berusaha sopan.

Sementara di mata Rachita, Adnan ... sama sekali tak mirip suaminya. Apa mirip yang dimaksud soal sifat saja? Sepertinya begitu.

"Bagaimana keadaan Banyu? Dia sudah sehat?"

"Belum, dia masih di rumah sakit."

Mata Adnan membulat sempurna. "Rumah sakit?"

"Benar, dan saya membutuhkan uluran tangan Bapak."

Adnan mengangguk. "Baik, saya dan anak-anak akan ke sana menjenguk Banyu, untuk menghiburnya."

"Bukan, tidak usah soal itu, Banyu hanya memerlukan kamu." Dia? Adnan agak heran. "Berapa gaji kamu sebagai guru?"

Lho? Adnan heran, kenapa bertanya demikian?

"Kenapa ... Ibu Rachita menanyakan hal tersebut?" Arah pembicaraan ini mulai tak nyaman.

"Saya akan memperkerjakan Pak Adnan, sebagai pengasuh anak saya, dan gajinya terserah, mau dua atau tiga kali lipat dari gaji Pak Adnan sebagai guru. Karena hanya Pak Adnan yang bisa menghibur putra saya."

Wajah ramah Adnan menghilang seketika, apa-apaan wanita di hadapannya ini?

"Bagaimana? Pak Adnan mau?"

"Bu Rachita ...." Adnan meremas Americanonya dengan hati-hati, tak mau merusak gelas sekali pakai yang dia pegang. "Saya menjadi guru bukan karena harta, saya memang bercita-cita demikian sedari kecil, dan saya suka anak-anak. Saya punya kewajiban, tak hanya sebagai guru, tapi ayah semua murid-murid saya, dan pasti ayah anak saya."

"Tapi, saya mohon, hanya Bapak yang bisa menolong saya. Banyu membutuhkan Bapak. Oke begini, tak hanya uang, fasilitas, dan Pak Adnan bisa mengajar Banyu serta anak Bapak juga. Saya akan jamin segalanya. Hanya Bapak yang Banyu butuhkan saat ini. Lihat!"

Rachita menyerahkan buku gambar buatan putranya pada Adnan, Adnan mengambilnya dan melihat isinya. Emosinya jadi campur aduk akan semua ungkapan tersebut, dan apa wanita di hadapannya tak mengerti barang sedikit pun?!

"Bu, mohon dengarkan saya baik-baik." Adnan berusaha mengatur kesabarannya, dia meletakkan buku gambar Banyu di tengah-tengah mereka. "Bukan saya yang dibutuhkan Banyu. Sama sekali bukan." Dia menatap tajam wanita itu. "Tapi Ibu, Ibu yang Banyu butuhkan."

"Apa Ibu tak memahami kata-kata di sini, curahan hati anak Ibu sendiri? Apa Ibu sama sekali tak bisa mengerti keinginan Banyu sesungguhnya?"

Wanita itu bingung, dan sepertinya memang, Rachita tak memahaminya.

"Dia ingin kasih sayang dari orang tua! Bukan saya! Dia hanya anak kecil yang melihat secercah kasih sayang yang diberikan orang lain, yang tidak lagi diberikan oleh orang tuanya! Dia menginginkannya, dia menginginkan kasih sayang itu! Bukan saya! Bu, buka mata Ibu, dan lihatlah Ibu sekarang! Kesibukan bekerja membuat Ibu lupa, ada sesuatu yang berharga, yang rapuh, yang perlu Ibu jaga mulai dari sekarang."

Adnan berdiri dari tempatnya, memandang Rachita yang diam tak berkutik. "Maaf jika lancang, Bu, tapi saya menolak tawaran Ibu. Permisi."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku?Where stories live. Discover now