BAB 06

81 10 2
                                    

Kemarin ....

Banyu yang kabur dari Adnan sangat malu, karena ketahuan Tanaya, menangis sekaligus memohon Adnan jadi papahnya. Anak itu pula memilih tak masuk kelas, tidak dengan kondisinya yang tak bisa ditutupi ini, hingga ia memilih ke belakang sekolah, diam di dekat gudang yang sepi, meringkuk menangis senyaring-nyaringnya di sana.

Tak ada yang mendengarnya dari jauh sini, tak ada ....

Dan karena hal itu, tenaga Banyu benar-benar terkuras, hingga tanpa sadar, dia tertidur nyenyak.

Lalu, lama tertidur, Banyu pun bangun.

Meski tangisan sudah berhenti, Banyu bisa merasakan wajahnya bengkak, seakan disengat lebah. Terutama bagian matanya yang pastilah sembab. Anak itu dengan tertatih berdiri, kepalanya agak pusing, dengan susah payah dia melangkah ke sisi luar gudang.

Matahari yang jingga menandakan, ini sudah sore, pastilah anak-anak sudah pulang kecuali ada yang melakukan ekstrakulikuler atau urusan lain. Namun, tidak ada ekskul di hari Senin.

Akan tetapi, pertanyaan Banyu, kenapa ibunya tak mencarinya ....

Banyu mengeluarkan ponsel di saku, ponsel yang khusus hanya bisa menelepon dan mengirimi pesan agar tak menjadi adiktif. Ada notifikasi, tetapi nyatanya saat dibuka isinya adalah sang ibu, yang meminta Banyu minta bantuan untuk dijemput paman atau orang dipercaya karena dia sangat sibuk hari ini.

Satu hal yang Banyu tahu, dia diabaikan sang ibunda.

Banyu, terlalu lelah menangis, anak itu mulai melangkah gontai berjalan, memilih berjalan saja dengan sendu, menunduk, menerima nasibnya yang tak disayangi lagi. Sekelebat ingatan di masa lalu terbayang, di mana Banyu bercanda tawa ria dengan kedua orang tuanya.

Setahun lalu, hidupnya terasa sempurna.

Sekarang?

Banyu sampai di rumah saat malam hari, dan yang menyambut, adalah pembantunya.

"Den Banyu, Aden kenapa?" Dia terkejut melihat wajah Banyu, masih terlihat jelas wajah sembab itu. "Aden habis nangis? Aden berantem ya di sekolah? Bilang sama Bibi, siapa yang nakalin Aden?"

"Gak ada! Gak penting!" Banyu menunduk, dia berlari ke arah kamarnya, masuk dan menutup pintu begitu saja.

Pembantunya mengikuti, diketuknya pintu lembut. "Aden, maafin Bibi. Aden, ayo keluar yuk, kalau Aden gak mau cerita gak papa, Den Banyu sudah makan kan?"

Tak ada jawaban, wajah wanita muda itu khawatir.

"Aden ...." Dia terus berusaha membujuk.

"Pergi, aku mau sendiri!" Mendengar sahutan tersebut, dia menyendu. Akhir-akhir ini memang, suasana hati tuan muda rumah ini sangat buruk.

"Aden, Bibi bawain makanan kesukaan Aden, ya--"

"Gak usah." Semuanya terasa sulit.

Lama membujuk dan berujung penolakan bahkan suara kesal, rasanya bibi ingin mendobrak pintu, andai dia kuat, dia sangat khawatir dengan anak majikannya tersebut. Dia harus meminta bantuan, tetapi sepertinya harus tetap di bawah persetujuan Nyonya Besar.

Dengan itu, dia pun menghubungi ibunda Banyu.

"Nomor yang Anda tuju sedang sibuk."

Sayang, hanya itu jawabannya.

Haruskah dia memberitahukan Pak Satpam?

Benar, sepertinya harus!

"Den, Bibi mohon, keluar, yuk! Kita main, mau main apa? Atau mau makan Bibi suapi?" Sekali lagi, dia membujuk, barangkali Banyu berubah pikiran.

Namun anehnya, kali ini, tak ada sahutan.

Dia harus panggil satpam!

Eh, tapi tunggu!

Wanita muda itu baru ingat, ada kunci cadangan untuk kamar Banyu, benar juga kenapa dia harus repot-repot? Segera, dia mengambil itu dari ruang perpustakaan, syukurlah benar ingatannya ada kunci cadangan di sana.

Segera setelah itu, dia membuka pintu secara paksa.

Berhasil.

"Maafin Bibi, ya, Den, tapi Bibi khawatir--eh astaga, Aden!" Mata wanita itu membulat sempurna melihat keadaan Banyu, tergeletak tak berdaya di atas lantai marmer dengan keadaan pucat pasi, lemas, dan napas memburu. "Ya Tuhan, Den!"

Badannya juga sangat panas.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku?Where stories live. Discover now