BAB 01

437 21 2
                                    

"Ayah, sepi banget, ya. Keknya kelasku belum dibuka, deh." Seorang anak perempuan berseragam merah putih--khas sekolah dasar, menyurusi koridor seraya bergandengan dengan pria yang dia panggil ayah.

"Hm keknya iya." Ayahnya menanggapi, sejenak dia menatap jam tangan di lengan kiri. "Padahal bentar lagi upacara dimulai, lho, ini."

"Hari Senin, abis seneng-seneng liburan, jadi pada kecapean terus ngorok! Ngook!" Sang anak bercanda, dia memperagakan gerakan tidur dengan dengkuran yang membuat ayahnya tertawa.

"Duh, duh, pinter banget Anak Ayah, ya!" Dengan gemas, dia menangkup pipi putrinya yang ikut tertawa.

Keduanya kembali berjalan dengan wajah berseri hingga sampai di depan ruangan yang di bagian atasnya bertanda 1B.

"Eh, tuh pintunya kebuka. Ada teman kamu di dalem, tuh!" Sang anak melongok melihat ke dalam, nyatanya ada seorang anak laki-laki yang tengah duduk di pojokan seorang diri dengan wajah terlihat mendung murung. Ayahnya juga ikut melihat.

"Baru Ketua Kelas yang datang, oh iya aku baru inget dia yang megang kunci, Yah." Putrinya memberitahu.

"Ya udah, kamu temani dia--"

"Gak mau, ah. Ketua Kelas itu galak, lagian dia cowok, Ayah. Kan Ayah selalu bilang gak boleh deket-deket sama cowok! Aku nungguin di luar aja, deh, sampe temen yang lain dateng." Sang anak menuju ke sisi samping pintu, ada kursi panjang untuk duduk di sana, segera dia mendaratkan bokongnya.

"Yah ...." Ia tak bisa mengelak, meski jujur saja agak kasihan dengan anak laki-laki, si ketua kelas, yang sendirian di dalam dengan wajah sendunya. Entah kenapa, ada perasaan mengganjal soal hal tersebut.

Pria itu kembali menatap ke dalam, tepat ke anak tersebut, dan siapa sangka sang anak menyadari ditatap hingga menatap balik. Ia agak kikuk karenanya.

"Banyu, selamat pagi!" sapanya hangat.

"Eh mm Pak Adnan." Dia menyapa balik, tetapi sapaannya terkesan ... tak bersemangat.

Ada apa dengan anak tersebut?

Adnan, perlahan melangkah masuk, entah kenapa dia merasa harus berbicara daripada sekadar menyapa. "Banyu, kenapa kamu kelihatan sedih?" tanyanya, langsung to the point.

Banyu menggeleng. "Enggak, kok, Pak. Aku enggak apa-apa."

Ada yang dia sembunyikan ....

"Aku cuma pusing aja, Pak." Eh, tidak disembunyikan?

"Pusing? Kamu mau ke UKS?" Adnan bertanya khawatir.

Banyu menggeleng lagi. "Aku pusingnya gak sakit kepala sakit kepalaan, Pak. Cuman aku pusing."

Adnan sedikit bingung, tetapi agaknya paham, mungkin ada yang anak enam tahunan ini pikirkan hingga merasa 'pusing' secara kiasan?

"Terus ada apa?" Tampaknya Banyu berniat memberitahunya.

Mata Banyu menatap dalam mata Adnan, pria dewasa itu bisa merasakan tatapan polosnya seakan menerawang Adnan dengan begitu teliti, begitu lugu.

"Pak Adnan sama kayak Mama aku, kan?"

Sama? Sama dari segi apa, Adnan menatap bingung. Yang Adnan tahu, ibunda Banyu single parent dan pekerja kantoran, dia sering melihat Banyu diantarjemput mobil oleh wanita berpakaian rapi, yang merupakan sang ibu.

Tunggu ... sama kayak mama soal ....

"Tanaya bilang, dia cuman tinggal sama Bapak, kan? Katanya, ibu dia udah ada di surga, terus Papah aku juga udah di surga." Benar, mereka sama-sama single parent, tetapi apa poin yang ingin Banyu katakan soal hal tersebut?

"Banyu, apa kamu sedih karena enggak punya Ayah, Nak?" Adnan bersimpati, dan siapa sangka Banyu mengangguk, ini mirip situasi dulu kala Tanaya--putrinya--kehilangan ibu tercinta.

Istrinya.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Pak Guru, Mau Jadi Papahku?Where stories live. Discover now