24 || Ikatan Saudara

7K 1.4K 1K
                                    

Yuk bisa yuk tembus 1K lagi biar semangat lanjut✨
.
.

Naka memasuki ruang rawat tempat Saka beristirahat. Di dalam ruangan yang tenang itu, Naka bisa melihat Renjana duduk di samping brankar, setia mendampingi kakaknya yang tengah tertidur. Renjana terlihat penuh perhatian, matanya tak pernah lepas dari Saka.

Naka melangkah perlahan mendekati brankar tempat Saka berbaring. "Assalamu'alaikum," ucap Naka dengan lembut.

Renjana praktis tersentak mendengar salam Naka dan segera menoleh ke arahnya. "Eh, Wa'alaikumsalam, Naka. Kok gue nggak liat lo masuk?" tanyanya heran.

Naka tersenyum tipis seraya meletakkan tasnya di kursi kosong di sebelahnya. "Abang ngelamun kali," ujarnya santai.

"Ahh, mungkin iya." Renjana meraup wajahnya sendiri, diiringi suara pelan. "Gue sampe gak sadar sama sekitar," tambahnya sambil menggelengkan kepala.

Naka memperhatikan wajah Saka yang terlihat damai dalam tidurnya. Namun ada jejak kelelahan yang terpancar di matanya. Tanda tanya muncul begitu saja di benak Naka, menggugah rasa penasaran dalam dirinya. "Mas Saka kok kayak abis nangis, Bang?" desisnya pelan kepada Renjana yang duduk di dekatnya.

Mendengar pertanyaan Naka, Renjana sempat terdiam sesaat, matanya menyelusuri wajah damai Saka yang tertidur. "Dia tadi emang nangis, Na," jawabnya dengan suara pelan.

Secara otomatis Naka diserang rasa cemas. Ia langsung menoleh ke Renjana dengan ekspresi khawatir yang jelas tergambar di wajahnya. "Beneran? Dia beneran nangis di depan lo?" tanyanya cepat.

Renjana tersenyum tipis, tetapi ada rasa sedih yang terpancar dalam senyumnya. "Iya. Dia kangen ibuk katanya," ungkapnya.

Naka langsung hening beberapa saat, lalu dengan senyum tipis ia berkata, "jackpot banget."

"Maksud lo?" tanya Renjana. .

Seraya menatap sang kakak, Naka menjawab, "Bisa dibilang gue iri karena lo bisa liat Mas Saka nangis terlepas dari apa alesannya."

"Na?"

"Di depan keluarga, dia nyaris nggak pernah keliatan nangis tau, Bang. Bahkan, Bapak pernah sampe nanya ke kami berdua, Masmu punya air mata atau enggak, katanya."

"Saking jarangnya, ya, tapi jujur ini juga pertama kalinya gue liat dia nangis," gumam Renjana.

"Meninggalnya ibuk aja dia bener-bener nahan diri buat nggak nangis, Bang, padahal kalo gue perhatiin matanya udah merah. Dia malah sibuk nenangin orang lain."

Naka melanjutkan sembari menggenggam tangan sang kakak. "Hampir 70% yang keliatan dari Mas Saka itu palsu. Dia ceria, dia gila, dia kekanak-kanakan, itu semua topeng andalan dia buat nutupin perasaan dia yang sebenernya. Kalo dia udah pasrah nangis di depan orang, itu artinya dia udah secapek itu buat nahan diri."

"Sahabat gue sekuat itu ya di balik topeng gilanya. Ternyata gue aja yang kurang peka sama keadaan dia." Renjana tersenyum pahit.

"Bukan Abang yang nggak peka, tapi dia aja yang terlalu pandai ngelabui orang," sahut Naka.

✨✨✨

Di halte sekolah yang tenang dan sunyi, Raka duduk sendirian. Mata cokelatnya mengandung secercah kelembutan saat memandang kejauhan. Hembusan angin lembut mengibaskan rambutnya. Namun, kesunyian itu terputus ketika suara lembut memanggil namanya.

"Raka?"

Raka segera mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan sosok yang memanggilnya. Senyum tipis melintas di wajahnya saat ia mengenali Sherina yang berdiri di hadapannya.

Geng BratadikaraWhere stories live. Discover now