23 || Catatan Saka

7.6K 1.5K 1K
                                    

Jangan lupa vote dan komen yang banyak yaa, Syukur-syukur tembus 1K kayak kemarin. O iya, aku mau minta maaf juga ya, harusnya kemarin aku up, tapi aku belum sempet cek chapternya karena nggak enak badan🙏😭, gantinya chapternya lebih aku panjangin dikit.
.
.
.

Di pagi yang tenang di kediaman Bratadikara, ruang makan terasa sunyi tanpa suara-suara bercakap-cakap atau suara berisik yang biasanya memenuhi udara. Naka dan Raka duduk dengan tenang di seberang meja bersama Bapak, menikmati sarapan dalam keheningan.

Di tengah-tengah suasana yang hening, pertanyaan tiba-tiba meluncur dari mulut Pak Brata, "Naka, Raka, mas kalian nggak pulang lagi?" Suaranya tenang. Namun, penuh perhatian, menciptakan getaran kecil di udara yang damai di sekitar mereka.

Naka dan Raka langsung terdiam, saling menatap satu sama lain, mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Bapak.

Akhirnya, setelah beberapa detik berpikir, Naka memutuskan untuk menjawab dengan hati-hati. “Ah,” katanya dengan enggan. “Anu, mas Saka nginep di rumah bang Ren, Pak.”

Pak Brata mengangguk mengerti. "Pantesan semalam pas Bapak periksa kamarnya kok kosong," ucapnya dengan nada ringan. Ekpresi wajahnya sedikit lega usai kekhawatirannya sudah terjawab.

Raka kemudian berinisiatif bertanya, "Bapak semalem pulang jam berapa, Pak?"

Usai melahap sisa nasi di piringnya, Pak Brata menjawab, "Jam sepuluh."

Dua adik Sakala itu kembali hening. Suara Saka menggema di pikiran mereka. "Mas tau bapak itu udah pusing sama kerjaan. Dia bahkan akhir-akhir ini pulang malem terus. Kasian kalo Mas nambahin beban pikiran buat bapak, Dek."

Tanpa Naka sadari, setetes air mata jatuh dari matanya. Pak Brata yang melihat hal itu segera bertanya dengan suara penuh perhatian, "Naka kenapa? Kok nangis?"

Naka terkejut saat menyadari air matanya, dengan cepat ia menghapusnya dengan punggung tangan. "Enggak. Naka nggak nangis, Pak. Masih ngantuk aja, jadi nguap terus sampe keluar air mata," jawab Naka.

"Masa sih?" tanya Pak Brata dengan wajah khawatir. "Nggak biasanya kamu jam segini masih ngantuk. Nggak lagi ada masalah di kampus, 'kan? Cerita aja, Le," lanjut Pak Brata, ingin memastikan bahwa anaknya tidak memiliki masalah yang membuatnya sedih.

Namun, Naka menggeleng dengan senyum di wajahnya. "Nggak ada masalah, Pak. Kuliah aman, kok," jawabnya mencoba menenangkan Bapak.

"Pak, kerjanya jangan terlalu diforsir, ya. Kita nggak mau Bapak sakit," kata Raka tiba-tiba. Suaranya mengundang perhatian dari Naka yang ada di sampingnya, dan juga Bapak Brata yang menoleh padanya dengan rasa haru campur bangga.

"Iya, Bapak paham kok. Akhir-akhir ini Bapak pulangnya kemaleman, ya? Maaf, ya," ucap Pak Brata dengan suara yang penuh pengertian dan penyesalan. Pria itu menepuk lembut pipi putra bungsunya.

Namun, Raka menggeleng dengan lembut. "Enggak, Pak. Jangan minta maaf,"

Diam-diam, sebersit senyum muncul di wajah Naka saat ia memandang sang adik dengan penuh kehangatan. Sepersekian detik kemudian, ia bangkit dari duduknya dan mengantar piringnya ke wastafel dengan ringan. Ia sempat berpesan pada Bapak Brata dan Raka yang masih duduk di meja makan sebelum pergi.

"Nanti piringnya taruh aja di wastafel, biar Naka yang cuci," ucapnya dengan lembut. "Naka mau mandi dulu," lanjutnya.

"Kelas pagi kamu, Le?" tanya Pak Brata.

"Iya, Pak."

"Mau ditunggu, Mas?" tanya Raka.

"Nggak perlu, nanti kalian kesiangan. Gue bawa motor Mas Saka aja kayak biasa. Ati-ati di jalan ya kalo berangkat."

Geng BratadikaraWhere stories live. Discover now