Ch 5; Feel Comfort

59 8 0
                                    

Jangan lupa setelah baca, vote dan komen ya!

.

.

.

"Dan –"

"Pergi lo!" Ardan dengan cepat melemparkan salah satu bantal dari ranjangnya ketika kakaknya –Rayan asal masuk saja ke kamarnya.

"Gue mau ngomong."

Ardan terdiam. Ia mengacuhkan kakaknya yang tetap masuk ke kamarnya dan duduk di meja belajar milik adiknya itu. Sementara atlet basket sekolah itu justru fokus mengutak-atik ponselnya.

"Lo habis berantem?"

Ardan tetap diam. Anak itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan matanya tidak melirik Rayan sama sekali.

Rayan Wardana, Mahasiswa semester 4 dari Fakultas Hukum. Anak pertama dari keluarga tersebut yang selalu membuat Ardan jengkel.

Tentu saja jengkel. Ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Mulai dari prestasi akademis, perilakunya yang selalu baik di sekolah atau kampus, dan paling penting, Rayan sangat penurut kepada kedua orang tuanya.

Iya. Ardan sadar diri karena dirinya tidak pintar. Tapi ia masih memiliki prestasi di bidang basket. Apalah arti mendapatkan piala, piagam dan mendali bagi ayahnya jika prestasi akademik Ardan buruk.

"Dan, kakak tahu kalau elo pasti jengkel ke ayah." Ucap Rayan dengan nada yang halus, "tapi jangan bertindak kasar seperti itu padanya."

"Ya, belain aja semuanya. Di keluarga ini emang gue yang salah."

Ardan merespon nasehat kakaknya dengan penuh kesal. Datang ke kamar bukannya nenangin adiknya sendiri, justru membela ayahnya yang sudah bertindak kejam padanya.

"Kakak tanya sekali lagi, lo habis berantem."

"Gue cerita juga gak ada yang percaya." Jawab sang adik dengan nada penuh sarkas.

"Kakak bakal percaya."

Ardan berdecak. Ia masih belum bercerita dan tetap memainkan ponselnya –berusaha semaksimal mungkin untuk mengacuhkan kakaknya.

Rayan sudah sangat paham watak adiknya. Anak ini keras dan tidak mau dinasehati. Anaknya terlalu bebas, sehingga jika dikekang akan memberontak.

Sejak kecil, Ardan memang sudah menunjukkan sikap aktifnya dan tidak mau diam. Ia sulit untuk fokus, sehingga lebih banyak bergerak ke sana ke mari.

Rayan sungguh rindu pada Ardan waktu umurnya masih 12 tahun. Anak itu begitu manis dan selalu mengikutinya. Tapi sejak bergabung ke klub basket di SMP, adiknya sudah banyak masalah.

"Dan..." Panggi Rayan. Ia menggeser kursinya agar dekat dengan sisi ranjang di mana adiknya sedang berbaring. "tidak ada yang melarang lo main basket kok. Tapi setidaknya ceritakan masalah yang menimpa lo."

Ardan beralih dari layar ponsel untuk menatap kakaknya, "udah gue bilang kalau gue bonyok karena dikeroyok. Ayah aja yang berpikir negatif terus sama gue."

Setelah mengatakan hal tersebut, Ardan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas karena Rayan tidak mendengarkannya.

"Kalian kalau berbicara itu dalam keadaan emosi, jadi tidak menemukan titik temunya."

"Ayah tuh yang emosian. Aku sih biasa aja." Ardan menjawabnya dengan nada cuek dan kesal mengingat sikap ayahnya ke dirinya.

"Sama aja kalian."

Ardan yang mendengar itu langsung memberi pelototan pada kakaknya yang justru membuat mahasiswa hukum itu tertawa terbahak.

"Dan....Ayah ada sakit jantung, lhoh. Lo masih inget, kan?"

The Tale Of Silent Heart (Comission)Where stories live. Discover now