- 19

1.2K 198 45
                                    

Aku meringkuk di bawah selimut. Tengkurap. Tiarap, lebih tepatnya. Di kolong kasur. Aku tidak tidur di atas ranjang sebab aku mengalami kejadian aneh. Aku tidur jam dua belas malam, tepat ketika butiran mundu terakhir dalam ornamen hourglass di nakas peraduan ini turun ke tabung bawah. Lalu jam satu malamnya ketika aku bangun karena kebelet pipis, aku mendengar suara deritan dari tangga dan keletuk berirama langkah kaki yang ritmis dan konstan. Suara itu berhenti di depan pintu kamarku. Tidak ada apapun selama lima menit ke depan. Dan lalu, pintu kamarku berkerap-kerap. Kili-kili pintunya memang sudah tua, jadi suaranya lumayan berisik.

Seseorang masuk ke dalam kamarku tapi aku tidak berani melihat siapa itu. Aku lekas menggulingkan diri ke samping, dan bersembunyi di kolong kasur. Aku tidak suka creepypasta. Aku memerhatikan kaki milik siapa yang menyusup ke kamar gadis perawan suci seperti aku, namun aku aku tak mengenalinya. Dia bertelanjang kaki.

Apa itu setan?

Mulanya aku ingin kembali ke ranjang setelah aku menahan pipis di ujung uretra. Tapi tak lama kemudian, seseorang masuk lagi dengan sekenario serupa; dia naik dari tangga bawah, merangsek masuk ke kamar, mondar-mandir sebentar, lalu pulang dengan kecewa. Peristiwa itu berulang sebanyak tujuh kali dan invasi terakhir terjadi ketika serangan fajar mengudara di langit malam.

Aku memutuskan untuk menyudahi tidurku. Aku pergi ke meja dimana Gempa tengah menyiapkan makanan. Bangun tidur begini, aku langsung disuguhkan wajah Gempa, dan lantas saja, otakku disuguhkan ingatan dimana aku memukul kepalanya dengan sekop mentah-mentah.

Aku ini superhero yang bertanggung-jawab, jadi meskipun aku sedikit kurang ajar, aku juga tahu diri. Aku menelan cudah sekaligus menelan gengsi, dan bertanya padanya, "Kepalamu. Kepalamu masih sakit?"

Kata maaf begitu berat untuk kuucapkan, dan aku berakhir gagal dalam menyatakannya. Dan seperti itulah kira-kira bagaimana caraku mati-matian melawan gengsi, tapi tak berhasil.

Gempa tersentak setelah kutanya begitu, namun dia malah memperlihatkan senyum alih-alih marah. Gempa berjongkok di samping kursi makanku, "Masih sakit. Makanya, elus, dong. Supaya sembuh."

Kenapa keadaan justru berbalik? Aku kini percaya, roda kehidupan itu berputar. Aku sama sekali tak berselera menjadi urakan dan serampangan anymore, hari ini aku kehabisan energi untuk mendrama-drama—Tapi Gempa, dia sukarela mendorong dirinya untuk dekat denganku. Apa dia betulan menyukai aku?

"Kenapa? Oh. Tidak suka menyentuh rambut orang, ya? Jijik, ya? Ya sudah." Aku melamun begitu lama untuk memikirkan cara kerja alam semesta, hingga Gempa menuduhku demikian. Aku mencegahnya berdiri, dan aku mengusap rambutnya yang halus dan ternutrsi itu. Gempa tampak menikmatinya sambil agak terkejut.

Setelah puas kuturuti pintanya, Gempa duduk di kursi di sebelahku. Dia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebonkah cincin. Aku mengenali cincin itu, tapi, entahlah. Cincinnya berbingkai putih. Dan mata cincinnya berupa batu garnet yang mengandung angkasa; ada tujuh distingsi rona warna di dalamnya. Gempa mengenakan cincin serupa dan oke, itulah alasan aku de javu. Sebab cincin itu ada dimana-mana. Di tangannya Solar, Duri, Ice, Blaze, Gempa, Taufan dan Halilintar juga. Nyatanya cincinnya ada sepasang.

"Waktu kita menikah dulu," Gempa menjeda, "Kamu jatuh pingsan karena mabuk. Cincinmu jatuh menggelinding ke muara sungai."

Dia menarik tanganku. Dan memasangkannya di jari manisku. Aku meninggikan satu alis.

"Berapa lama aku mesti mengenakan ini?" Tanyaku, serius, sambil memperhatikan desain batu garnet yang terkungkung oleh sulur emas putih itu. Ini betul-betul indah.

"Selamanya, (Nama)." Gempa menjelaskan. "Seumur hidup."

Bagaimana cara mengatakannya pada Gempa? "Aku ... kadang aku suka merasa gatal kalau aku memakai perhiasan cincin terlalu lama. Cincin selalu meninggalkan ruam merah di kulitku."

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now