- 05

1.2K 186 74
                                    

"BERANI-BERANINYA BANGSAT SEPERTI KAMU MENIPUKU!"

Arumugam mengerang sakit sambil meraba seluruh bagian lingkar oksipital kepalanya, meyakinkan diri bahwasanya kepalanya masih utuh. Lalu ia menengadah, "A-apa maksudmu?"

Aku menodong sekop itu ke arahnya, sehingga Arumugam menarik punggungnya menjauhi ujung sekop. Bunda—ibunya si Cendamad dan saudara-sadaranya—lekas menyentuh pundakku, berupaya meredakan kemurkaanku.

"Nak," Kata Bunda.

"You kembar dua, 'kan?" Aku mengajukan pertanyaannya dengan membentak.

Arumugam menghela napas, "Nona Superhero..."

"Apa? Hah? Darling, its (Nama). Say it (Nama)." Aku mengoreksi.

"Maaf." Arumugam menunduk. "Aku kembar tujuh."

Sekopku reflek jatuh.

-

"AAAAAAAAAAAAAA!" Aku berteriak kencang-kencang.

Brak!

Cendapia mendobrak pintu kamarku, lalu ia mencari keberadaanku. Ia panik. Aku ada di pojok unit kamar ini. Cendapia terburu-buru menghampiriku, lalu bertanya, "Kak? Kenapa?! Kakak kenapa? Ada penyusup? Kakak sakit?"

Tanganku gemetaran, jari telunjukku menunjuk ke arah cermin, "K-k-kenapa aku terlihat sangat cantik hari ini?!"

Kemudian tanganku meraih bingkai kanan dan kiri cermin itu, dan mencondongkan tubuhku ke depan. "Apa yang salah denganku hari ini? Aku tahu aku cantik, tapi mengapa hari ini aku terlihat berkali-kali lipat jauh lebih menarik?"

Cendapia menghunus napas geram, "Kak. Astaga. Kukira ada apa."

Aku tidak melirik Cendapia barang sedikut pun. Aku sibuk memandangi pantulan diriku di cermin itu. Aku memperagakan berbagai pose. Aku meninggikan daguku, menyatukkan alis, dan kubuat kerutan di dahi, lalu aku memiringkan wajah, mengindera wajahku dari sisi atas, bawah, kanan dan kiri. Kesimpulannya, aku tetap cantik. Aku mutlak cantik. Aish, cowok mana yang akan menolakku. Aku tertawa renyah sambil menyisir rambutku dengan tangan.

"Hari ini aku siap macul." Aku merenggangkan badan.

"Sarapan dulu, Kak." Ujar Cendapia.

Oh. Soal makanan lagi. Aku masih belum ingin menerima jenis makanan pribumi orang sini. Aku menguap. Aku berjalan keluar kamar sedangkan Cendapia membuntutiku di belakang. Tadinya aku ingin melengos keluar, tapi di pertengahan jalanku menuju ruang perapian, aku merasakan gemuruh di perutku. Aku kelaparan. Tapi menurutku, lapar tak begitu menyakitiku. Ada perihal lain. Ini masalah pencernaan paling umum yang dapat dialami seorang mahasiswa kepala batu pembantah orang tua; penyakit maag.

"Aduh." Aku meremas pakaianku di bagian perut. Aku menyesal aku terlalu banyak menunda sarapan selama setahun belakangan ini. Aku juga tak pandai mengelola stress. Jadinya aku punya problematika hidup semacam ini. Penyakit permanen.

"Kak (Nama), kamu kenapa?" Cendapia menampahku, mendudukkanku ke kursi rotan. "Ada yang sakit?"

"Ada." Kataku. "Asam lambungku baperan."

Aku menepuk perutku sekali.

"Apa itu artinya kamu lapar?" Cendapia menerjemahkan.

"Semacam itulah." Aku membuang muka. "Maag."

"Oh, begitu. Sebentar." Cendapia pergi ke belakang. Sementara aku sibuk mengelus-elus kepalaku. Aku pening. Waduh. Ini sih, gawat darurat. Kalau aku ada di bumi, maka aku akan masuk IGD sambil mengaduh-aduh, mendramatisir keadaan. Padahal rasanya enggak sakit-sakit amat. Hanya mual biasa.

Boboiboy x Reader | SuperheroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang