- 12

1K 181 95
                                    

"You baik banget deh," Kataku. "Ngajak ai ngedate gini. Tapi ... emangnya, mau kemana, sih?"

Glacier, seorang pria bermuka Arumugam—atau perlukah kusebut dia Boboiboy—dengan kekuatan pangkal berupa tanah dan es, mengajakku pergi dari pondok. Sebetulnya ini pelarian yang bagus dari pekerjaan membereskan lahan. Aku jadi mau-mau saja.

"Aku mau mengenalkan kamu ke Tuan Guru Gaharum." Ujar Glacier. "Semenjak aku dirawat disini pasca kecelakaan pesawat itu, dia yang pelan-pelan mengajariku bagaimana caranya melanjutkan hidup."

Tuan Guru Gaharum? Namanya tidak wajar di kamus kebahasaanku. Terserahlah. Ini exoplanet.

"Jadi kita kesana buat minta restu, ya?" Terkaku. "Kenapa kamu enggak bilang dari awal, Bubub Sayang. Aku kucel gini. Aku belum mandi. Aku cuma sisiran tipis-tipis! At least kalo kamu bilang, aku bakalan oles-oles cushion!"

"Tidak perlu." Glacier membimbingku ke sebidang tanah savana dengan pohon tua raksasa. Batang pohonnya berkabium, dan berserat seperti gingerbread khas natal. Rantingnya bercabang kemana-mana, daunnya menyirip dan membentuk kanopi rampak majemuk. Disisi-sisinya, tertanam pula jamur dengan tempurung warna-warni.

Glacier berhenti di celah pohon. Dia lalu berbalik ke arahku. Manik biru bercampur emas keperak-perakkannya berpendar seiring ia berlama-lama menatapku. Dia tampak ragu dalam mengkomandoi aku tindakan selanjutnya yang mesti kuperbuat.

"Bisakah kamu masuk sendiri? Dia ingin bicara empat mata denganmu." Tutur Glacier.

Aku maju ke depan, lalu aku membantu Glacier membetulkan mantel bulu biri-birinya yang miring. Dan aku menepuk pundaknya, "Tentu saja. Aku bakal bereskan ini."

Aku lalu melenggang pergi, aku mengentengkannya. Masalah restu? Itu sih kecil. Halah, siapa yang nggak pengen punya mantu kayak gue.

Aku masuk ke celah pohon. Akarnya menyeruak keluar tanah, menjadikan aku tertarik untuk mengelus permukaannya selagi aku melangkah masuk. Benar. Teksturnya basah dan alot, sesuai dugaan ekologiku. Aku sampai pada ruangan di tengah pohon kopong ini. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Kupikir Tuan Guru Gaharum ialah makhluk jamur seperti Cendawa bersaudara.

Hanya ada pohon serupa brokoli dengan ranting tua. Ranting-rantingnya bergemuruh, tanah-tanah yang menjadi media berakarnya seperti dilanda gempa bumi. Pohon brokoli itu bertumbuh ke atas, dan menampilkan kesemua wujudnya padaku; brokoli tolol ini hidup. Dia bernapas dan memiliki muka seperti seekor Dementor di Harry Potter.

Aku mundur selangkah, menghindari cipratan tanah yang berpotensi mengotori baju bagusku. Masalahnya ini mahal sekali, aku membelinya ketika storenya baru launching di Indonesia.

Bola mata brokoli itu berputar pada porosnya, dia memandangiku penuh sangsi.

"Jadi kamu perempuan yang Arumugam ceritakan itu!" Geramnya.

"Ya." Aku mengangguk penuh percaya diri. "Salam kenal."

"Aku punya syarat." Katanya. "Buah alpukat buah ceri, aku punya tiga syarat, baru aku restui."

"Syarat apa pula?!" Aku menggertakkan gigi.

"Berikan aku garam kristal, cili suci, dan sky coconut." Dia menyebutkannya pelan-pelan. Agar aku dapat menulisnya dengan benar di buku catatan harianku. Aku memasukkan pulpenku ke saku, lalu memandangi ketiga syarat dengan pertimbangan matematis.

"Mengapa aku harus mencarinya?" Aku memprotes. "Susah amat mau kawin."

"Arumugam itu cucu kesayangan aku. Aku menyuruh kamu mengumpulkan ketiga bahan itu untuk memasak tom yam sakti. Cucu kesayanganku harus memperoleh istri yang pandai memasak." Jelasnya.

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now