- 17

1.2K 202 106
                                    

"Memangnya kamu punya cara agar mereka-mereka ini terstimulasi jadi tahap tiga?" Kaizo berbisik, ia bahkan menunduk untuk menjangkau telingaku.

"Aku tak tahu! Jangan tanya aku!" Aku menyilang tangan sambil mencak-mencak. Aku tidak mengerti caranya dan tidak juga mau tahu!

Aku dan Kaizo lantas membalikkan badan, mewajahi tujuh orang yang telah kami suruh berbaris rapi seperti anak paskibra dan menautkan tangan di belakang punggungnya.

"Kadet!" Aku mengkomando sembari bolak-balik di garda depan. "Ada aturan-aturan yang kalian mesti patuhi di kelasku."

"Hah?" Ice menurunkan bahunya.

"Pertama, jangan bilang 'Hah'." Aku mendekati Ice dan memuntahkan kalimat perintah itu semilimeter dari daun telingannya. Setelah puas menjadikan Ice bergidik ngeri, aku kembali mondar-mandir. "Kedua,"

"—Kedua," aku menunjuk Gempa, lalu Halilintar. "Kalian jangan fushion! Gentar itu narsisnya bikin muntah!"

Gempa menunjuk diri sendiri, "A-aku?"

"Bukan. Bapakmu." Aku terkekeh. "IYA, KAMU!"

Kaizo menghampirimu. "Apa rencanamu, sih?"

"Mereka mesti dididik oleh laksamana profesional nan berjam terbang tinggi dan beretos kerja sangat baik seperti aku," Aku tertawa kecil.

"Nah, ketiga." Aku melirik Solar, lalu menepuk pundaknya. "Kamu ... kacamatamu mirip produk limited edition brand high end favoritku. Aku tak sempat menghadiri fashion week mereka pada acara Semaine de la mode de Paris di Carroisel du Louvre. Boleh kupinjam tidak? Nanti aku kembalikan kalau kamu mau melawan Nebula. Lagi pula buat apa kamu mengenakan kacamata tukang las itu saat bertarung?"

Solar menelan ludah, "A-aku kan menghasilkan nuklir. Ini untuk melindungi diri."

Namun Solar lekas melepas kacamatanya, dan dia menyerahkannya padaku. Benda ini sudah kuincar dari lama. Baik. Aku akan menumpang selfie dengan kacamata visor ini lalu mengembalikannya segera. Aku menenggerkan kecamatanya di kepala, lalu berlanjut mengospek mereka.

"Keempat, Solar, Duri, dan Ice dilatih oleh Kapten Kaizo." Aku menerangkan. "Sisanya oleh Kaizo juga."

"Lalu pekerjaanmu apa?" Blaze bertanya spontan.

"Aku bantu-bantu." Kataku, tak ingin kalah. "Bantu doa."

Dan aku menyebutkan seratus lima belas syarat lainnya sebelum mereka memulai berlatih dengan Kaizo.

-

Aku meneguk air kelapa. Buah tropis selalu enak, cocok di lidah orientalku. Aku menikmati minuman spektakuler ini langsung dari cangkang buahnya, sambil menonton bagaimana Kaizo menyiksa mantan mayat yang terkonfirmasi mati itu.

Kaizo mengkritik masa otot Boboiboy; begini katanya, Boboiboy itu terlau lama hiatus dari pekerjaannya sebagai superhero. Makanya Kaizo menyusun menu latihan berupa dril biasa. Solar disuruh mengeluarkan fusi kecil-kecilan untuk membolongi sebongkah gunung es di atas muara sungai beraliran tangensial. Aku tak begitu mengerti dan sejujurnya kurang peduli seperti apa Kaizo merangkai kurikulum pembelajarnnya. Ah, sesuka hati dia, lah. Yang penting aku bisa menggosok punggungku dengan air kembang sambil merendam diri di jacuzzi—perigi alami yang terbentuk dari curahan air terjun di sisi tebing—sambil menyenandungkan lagu Cinta Satu Malam tanpa didengar siapapun.

Sebetulnya tubuh Boboiboy memiliki ingatan akan kemahirannya. Seperti contohnya, ketika Blaze mengajakku berduel, dia mampu meretakkan tulang sikuku. Tapi dia tetap butuh diingatkan. Biarlah si Kaizo itu yang menanganinya. Aku hanya perlu mengevaluasi mereka.

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now