- 03

1.5K 195 41
                                    

Berikan aku seribu satu alasan untuk tidak marah.

Aku baru saja membereskan jejaring mafia yang berkomplot dengan bajingan berstatus buronan TAPOPS. Ini prestasi besar. Aku berpura-pura sebagai pembeli power sphera untuk mengakses respon mereka di pasar gelap. Dalam lelangnya, aku menawar dengan harga paling rendah, kemudian ketika kompetitor lain bersedia meroketkan jumlah nol lebih banyak, aku lantas membalasnya sengit—aku mengangkat papan triplek itu, memamerkan nominal angka empat digit. Semua penonton di tribun sekaligus si host lelang melongo; mereka mempertanyakan kewarasanku dalam berniaga. Aku bisa membayar lebih mempergunakan dana pribadi dengan kartu debit berlogo mastercard punyanya papa, tapi aku hanya memersimpel misi ini sesuai protokol. Auction is now closed, dan aku pemenang tunggalnya, power sphera yang tercuri itu resmi menjadi milikku setelah aku menandatangani sertifikat balik nama. Walaupun ini panggung sandiwara, aku tetap membayar mereka cash, menyodorkan sepeti uang kartal bersegel bank swasta milik ibunya si Adudu.

Kemudian aku menonjok si pembawa acara, tukang kabel di bawah gelanggang, dan beberapa tim sekuriti. Mereka tangkas, tapi aku lebih cekatan karena teknologi dari power spheraku dan pengalaman tinggiku. Aku memicu kebakaran disana, dan mengevakuasi power sphera curian lain di tengah kobaran api. Api menggerogoti mimbar dan empat struktur pilar silinder dengan pilaster klasik penyangga di ballroom, mengusir pengunjung lelang hingga mereka terbirit-birit menyelamatkan diri ke pintu darurat berkeran fire sprinkler yang bagian glass bulbnya sudah aku rusak.

Alhasil aku berhasil lagi dalam misi ini. Aku bahkan tak memerlukan transformasi penuh dalam penggunaan power spheraku. Dan aku menguap lima kali. Aku mengantuk. Aku jenuh. Aku butuh tantangan lain. Aku haus pengakuan, aku ingin dipuji lebih banyak. Aku tahu aku hebat, aku diakui—hidupku sempurna. Tapi terasa menjemukan akhir-akhir ini.

Aku pulang ke markas TAPOPS dalam keadaan energi penuh setelah mengganti baju; aku mengenakan pakaian kemiliteran kami, setelan seremonial yang digunakan olehku, Kaizo, Laksamana Tarung, dan Kokoci berupa seragam tentara dengan lencana-lencana emas dan bet pundak yang menunjukkan setinggi apa jabatan kami. Punyaku memiliki lima bordiran polihedron bintang dalam merepresentasikan jabatan laksamana, dan lima lencana silver di dada, enam brevet militer, dan ensinye yang dipeniti ke kain bajuku sebagai pernak-pernik. Aku kesini berniat melaporkan kesukesan misi mudah ini dan menyombongkan diri sebanyak-banyaknya—padahal Kokoci bilang, aku akan kesusahan, makanya ia menyarankanku berhati-hati. Ah, omong kosong.

Kokoci mengucapkan selamat, "Benarkah? Oh. Selamat."

Kemudian Laksamana Tarung muncul dengan kopi robusta panasnya. Ia menyahut, "Selamat, ya."

"Hebat juga kamu." Kokoci berkomentar, sambil meninjau repositori mengenai power sphera mana saja yang aku selamatkan di tablet pipihnya. "Kamu memang penerus Boboiboy yang layak."

Semula, aku mengembangkan hidung, terbang tinggi bersama pujian-pujian itu. Tapi ketika Kokoci memulai pidatonya—yang aku tahu kemana ini akan menuju, senyumku surut. Ekspresi sumringaku berubah drastis menjadi muram dan gondok. Rahang bawahku menekan gigi geraham atasku, memblokade mulutku agar tidak melepehkan sumpah-serapah.

"Dulu Voltra pernah menangani misi hampir serupa." Kata Kokoci lagi. "Dia menyelesaikannya dalam kurun waktu setengah hari saja."

Dalam sejarah karirku, Kokoci tidak berhenti menyebut-nyebut nama Voltra, kalau tidak salah Beliung, Crystal, Nova, Blizzard, Rimba, dan Gamma. Aku sampai hapal nama-nama itu padahal aku tidak kenal siapa mereka! Kokoci bilang mereka pendahuluku di TAPOPS. Mereka aslinya satu orang—inangnya, namanya Boboiboy. Aku tak begitu mengerti mengapa Kokoci mendeskripsikan kekuatan elemental milik Boboiboy secara perseorangan. Seolah mereka individu yang berbeda. Yang kutahu, menurutku itu tidak perlu.

Boboiboy x Reader | SuperheroWhere stories live. Discover now