Göteborg

26 6 1
                                    

Tulip berpikir keluarga Sjöberg terlalu baik untuk ukuran gadis seperti dirinya. Seperti weekend kemarin, Nyonya Wilma tiba-tiba memaksa Tulip menemaninya ke butik. Bukan hanya menemani, Tulip pun dibelikan dress panjang berwarna plum. Jangan tanya harganya, Tulip bahkan tidak kuat menatap pakaian itu saking mahalnya. Perlakuan khusus itu kadang membuat Si Kembar cemburu, tapi Tulip bisa mengendalikan mereka. Salah satunya dengan sulap!

Dari ayah asuhnya, diketahui bahwa dulu Nyonya Wilma menginginkan anak perempuan. Tapi bukan berarti Nyonya Wilma tidak menyayangi Viggo dan Viggi.

“Entah kenapa aku merasa bahagia ketika melihat Tulip,” ucap Nyonya Wilma pada suaminya.

Sekarang, ibu asuhnya itu ingin Tulip mengendarai mobil saat Tulip hendak berangkat kursus. Tulip memang lebih sering naik sepeda ke tempat kursusnya agar irit ongkos. Ia juga senang mengitari kota dengan sepeda keranjang pemberian Tuan Louis itu. Tapi kali ini Nyonya Wilma memaksa.

“Aku takut merusakkan barang yang bukan milikku.” Tulip memberi alasan. Ia menatap Volvo silver di depannya. Mobil berjenis city car itu sering digunakan Nyonya Wilma ke kantornya. “Benda ini, aku tidak yakin bisa membelinya.” Tulip mengusap mobil tersebut penuh sayang. “I like you, Silver.”

Nyonya Wilma tertawa, “Pantas saja kamu senang setiap kali memandikan Si Silver.”

Tulip menoleh cepat pada Nyonya Wilma. “Jangan paksa aku lagi, Mom. Aku tidak ingin melukainya secuil pun.”

“Tidak.” Nyonya Wilma menggeleng dengan posisi tangan terlipat di dada. “Kamu harus belajar menyetir.”

“Mom...” rengek Tulip.
“Itu harga mati.”
“Ayolah, Mom. Please, jangan paksa aku.”

No, no, no, ... belajar nyetir.” Nyonya Wilma membuka pintu mobil dan memaksa Tulip masuk ke bangku kemudi.

“Ini baru aku cuci, Mom!” pekik Tulip setengah berontak.
Ternyata Nyonya Wilma serius dan tidak mau tahu. Setelah menutup pintu mobil, ia berjalan memutar sambil mendendangkan lagu ‘This is our life’-nya Bosson. Setelah itu ia masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Tulip.
“Aku akan terlambat ke tempat kursus,” ujar Tulip yang memasang muka sendu.

“Tidak akan. Kamu coba menyetir sepanjang 100 meter saja, nanti setelahnya Mom yang akan menyetir.” Nyonya Wilma menjawab sambil mengencangkan sabuk pengaman. “Di daerah ini juga sepi, jadi jangan takut,” tambahnya.

Tulip menarik nafas berat. “Kumohon bantuannya,” kata Tulip akhirnya. Ia memasang sabuk pengaman. Setelah itu Nyonya Wilma menyuruhnya menyalakan mesin. Saat mesin sudah menyala, Tulip bertambah tegang. Nyonya Wilma memberi instruksi lagi sampai mobil benar-benar berjalan. Sangat pelan, sampai kalah dengan orang yang berjalan di samping mobil itu. Tulip sangat gugup tapi Nyonya Wilma terus memberi semangat.

*


Aku merasa tidak enak hati karena harus membuat Joseph menunggu lebih dari 30 menit. Aku membelikan cappucino kesukaannya sebagai bentuk permintaan maafku. Perlu 250 meter yang harus kita tempuh untuk sampai ke Stockholm Central Station. Kami berjalan kaki ke sana sambil berbincang tentang rencana di tempat tujuan kami nanti.

“Rei, Rei, Rei!!!”

Teriakan itu datang ketika kami baru menjejakkan kaki di pelataran stasiun.

“Sepertinya ada yang memanggil saya.”

Aku menoleh ke sekeliling.

Joseph ikut mencari sumber suara tersebut. Lama-kelamaan suara itu semakin terdengar kencang. Oh tidak! Gadis itu!

“Bukankah dia itu senior kita?” tanya Joseph ketika melihat Nalla berlari ke arah kami. Aku hanya mengangguk dan berekspresi dingin.

“Rei!” Nalla menyapaku di tengah kesulitannya mengatur nafas.

“Tumben kita ketemu di luar,” balasku.

Gadis asal Depok itu tersenyum simpul. Dahiku mengernyit. “Kamu mau ke Gothenburg, kan?” tanyanya.

Aku mencium ketidakberesan. Pasti David yang sudah memberitahunya. “Iya, terus kenapa?”

“Aku juga mau ke sana bareng kamu!”

“Astaga! Apa dia nggak punya teman sampai mau ikut segala?”

Joseph menyikutku karena tidak mengerti pembicaraanku dengan Nalla. Aku hanya bisa memintanya menunggu, lalu menatap gadis berjaket hitam itu, “Kita kan beda tingkatan, Nalla. Aku ke Gothenburg bukan buat liburan.”

“Tenang aja. Aku nggak akan ganggu kegiatan kalian. Aku justru akan dengan sukarela bantuin kamu.”

“Tidakkkkk!!!”

Joseph menyikutku lagi. aku menoleh padanya. Joseph menunjukan jam tangannya, “Kita akan terlambat.”

Oh my God!” pekikku. Aku menatap Nalla, “Terserah. Terserah kamu mau ikut atau nggak!” Setelah berkata seperti itu aku mengajak Joseph masuk ke dalam stasiun. Kudengar teriakan senang dari gadis itu, tak lama dia berhasil menyejajariku sambil berkicau aneh. Kepalaku pusing mendengarnya.

“Nanti aku mau tukar kursi denganmu, boleh, ya? Please, please, please...” itu permintaan Nalla pada Joseph. Kepalaku semakin terasa berat.

*

Untuk sampai ke Gotheburg waktu yang si ular besi ini tempuh kira-kira 3-4 jam, tapi dengan hadirnya gadis ceriwis itu di dekatku membuat waktu serasa melambat. Joseph tak bisa kumintai tolong karena dia berada di gerbong lain. Aku kasihan padanya, tapi aku juga kasihan pada diriku sendiri.

“Kenapa kamu milih ke Gothenburg?” tanya Nalla setelah dia mencoba menarik perhatianku dengan cerita-ceritanya.

“Karena pengen,” jawabku singkat. Pandanganku dialihkan ke jendela. Pemandangan di luar sana meski hujan membuat mataku segar, dibanding melihat ke arah gadis itu.

“Gothenburg itu emang keren tempatnya. Aku pernah sekali ke sana bareng  Kak Ine.” Nalla mulai cerita lagi. “Di sana ada gedung opera yang belum aku datangi. Nanti kita ke sana, ya?”

“Saya nggak janji.”

Nalla menghela nafas. “Nggak apa-apa. Sebutin aja tempat yang pengen kamu datangi, aku pasti temenin.”

“Oh, Tuhan.”

Aku jarang merespon gadis itu ketika dia terus berceloteh. Sebagai gantinya, aku mencoba berkomunikasi dengan Joseph. Aku rasa dia juga kesepian. Caraku itu nampaknya ampuh. Seperempat jam kemudian aku tidak mendengar Nalla bicara. Tapi kemudian, aku merasa pundakku berat. Aku menoleh kaku ke kanan.

“Tidakkkkkk!!!”

Bagaimana ini? Kepala gadis itu menyender di pundakku. Aku tidak suka ini. Aku sudah berjanji tidak akan membiarkan seorang gadis pun menyenderkan kepalanya di pundak ini. Hanya Tulip yang berhak melakukannya!
Apa aku berdiri saja? Berpura-pura ke toilet. Tapi gadis itu akan jatuh. Aku tidak mau menyakiti fisiknya. Paman di depanku juga pasti akan menilaiku sebagai pria jahat.

Kulirik jam tangan. Dua jam lagi sampai. Tolong percepat waktu untukku, Tuhan.

*

Tulip kaget ketika baru keluar dari tempat kursus, ibu asuhnya berdiri dekat Si Silver sambil melambai ceria. Beberapa teman kursus Tulip berpamitan. Ada yang pergi ke arah yang sama, ada pula yang melipir ke arah lain.

Setelah semua kawannya berpencar, Tulip bergegas mendekati Nyonya Wilma. “Mom menjemputku atau sengaja tidak pulang tadi?”

“Yang kedua!” jawab Nyonya Wilma.

Tulip menepuk kening, kemudian menatap sayu ibu asuhnya, “Apa kita akan pergi ke satu tempat?”

Nyonya Wilma menggeleng dengan seringai mencurigakan. “Kamu harus belajar menyetir lagi!”

“Oh tidak, Mom... tanganku saja masih kaku. Tadi waktu menulis tanganku masih gemetar.”

“Tidak ada alasan!” potong Nyonya Wilma yang langsung menyambar tangan Tulip dan membawanya ke pintu kemudi. Ia membukakan pintu untuk gadis itu dan memaksanya duduk. Tulip pasrah, apalagi ketika Nyonya Wilma bilang Tulip akan menyetir sampai rumah!

“Pasti malam baru sampai,” celetuk Tulip yang baru menginjak gas.

“Tidak apa-apa. Itu justru menyenangkan bisa bersamamu sepanjang jalan. Mom punya topik cerita yang bagus!”

Tulip menghela nafas yang langsung ditertawai Nyonya Wilma. “Bagaimana dengan Viggi dan Viggo? Mereka akan kesal padaku, Mom.”

“Mom akan menyuap mereka dengan macaron satu toples besar!”

“Wowww! Aku juga mau!”

“Kamu bisa berbagi dengan mereka, hahaha...”

Senyum Tulip hadir, dan ia tiba-tiba merasa rileks. Dalam hatinya, Nyonya Wilma pantas dijuluki wanita terlembut di dunia. Ia juga berpikir akan memasak rendang untuknya.

*

Sedikit gugup dan kesal, Rei membangunkan Nalla dengan mengguncang pelan pundak gadis itu. “Hey, kita udah nyampe.”

Nalla melenguh sambil menggeliatkan kepalanya, tak mau lepas dari pundak Rei. Rei makin dongkol. Terpaksa jalur kasar dilakukannya. Rei berdiri cepat hingga membuat tubuh Nalla jatuh dengan kepala mendarat di kursi yang diduduki Rei tadi. Sambil mengaduh, Nalla membuka mata dan mengusap kepala.

“Cepet bangun! Kita bisa dibawa sampai ke Denmark nanti!” kata Rei tajam.

Nalla merengut lalu buru-buru berdiri dan mengambil barang bawaannya. Rei sendiri sudah berjalan menuju pintu kereta yang berada tak jauh dari posisinya.

“Tunggu, Reiii... tunggu!!!”

Rei tak menggubris teriakan Nalla dan membiarkan gadis itu kerepotan dengan barang bawaannya.

Di luar, Joseph sudah menunggu. Rei memberi kode agar segera pergi dan tak usah memedulikan Nalla. Hebatnya, dalam waktu beberapa detik gadis itu sudah sejajar dengan mereka sambil bertanya, “Kita mau ke mana sekarang?”

Rei maupun Joseph tak memberitahu. Nalla akhirnya hanya mengikuti dan mengurangi kicauannya. Saat naik taksi, Rei merasa Nalla ada gunanya juga karena akan berbagi biaya taksi.

“Ohhh... jadi kalian mau ke hostel dulu,” Nalla manggut-manggut ketika baru sampai di depan sebuah hostel.

“Kamu tidak mungkin tinggal di hostel kecil sumpek seperti ini, kan?” tebak Rei sambil tersenyum sinis.

“Kalau tidak salah di sekitar sini ada hotel. Kamu bisa menginap di sana,” tambah Joseph seolah mengiyakan perkataan Rei.

Tenang, Nalla menggeleng dengan senyum mengembang. “Kalian jangan mengkhawatirkanku. Aku tidak apa-apa menginap di sini. Tinggal di dalam goa pun aku tidak masalah, asal bersama kalian.”

Pernyataan Nalla barusan membuat Rei tercengang.
“Oh, baguslah kalau begitu,” timpal Joseph. Ia menepuk pundak Rei membuat cowok itu tersadar. “Ayo, kita harus menyimpan barang-barang kita.”

Rei tidak mengangguk, tapi langsung melangkah ke dalam hostel. Joseph mengikuti. Nalla tersenyum penuh kemenangan.

“Selamat beristirahatttt!” seru Nalla pada Rei usai check in.

“Huh, dia berisik sekali,” gumam Rei.
“Tapi dia manis,” balas Joseph dengan bisikan.

Rei menjeling tajam ke arah Joseph. Joseph langsung mengunci mulutnya.

*

BRUKK! Tulip maupun Rei menjatuhkan diri di tempat tidur masing-masing. Tanpa direncanakan, dalam waktu berdekatan mereka menghela nafas sambil menatap langit-langit kamar. Wajah lelah terpancar jelas. Sejenak mereka menutup mata dan terlintas bayangan orang yang paling ingin mereka temui. Tulip membayangkan sosok Rei, sementara Rei membayangkan sosok Tulip.

Berlatar Taman Nyaman, Tulip yang mengenakan dress warna peach berhadapan dengan Rei yang begitu tampan dengan setelan jas putih. Mereka beradu pandang dan senyuman. Tiba-tiba, Rei mengambil kedua tangan Tulip dan menggenggamnya. Senyuman manis terkembang di wajah Tulip. “Aku rindu kamu,” bisik Rei lembut. []

Tulip (Saknar Dig)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang