Pikiranku

29 5 0
                                    

Sudah beberapa hari ini Rei nampak tak bersemangat dan kurang konsentrasi. Tidak memerhatikan dosen yang sedang memberi materi kuliah, suka melamun, porsi makan yang berkurang, bertambah pendiam, dan sering tidak mengacuhkan perkataan banyak orang.

Banyak yang memaklumi, termasuk ibu dan kakak Rei sendiri. Mereka berpikir bahwa pemuda tampan itu masih berduka atas kepergian Sang Ayah. Namun, yang mengganjal pikiran Rei sebenarnya adalah Tulip. Sayangnya, tingkah Rei yang berubah itu membuat Bu Jena khawatir. Ia tidak ingin anak kesayangannya berlarut-larut dalam kesedihan. Setelah berdiskusi dengan David, Bu Jena akan membawa Rei ke rumah sakit.

"Rei baik-baik aja, Mah." ucap Rei menolak permintaan Sang Bunda.

"Ini cuma cek kesehatan biasa, Sayang," tipu Bu Jena.

Rei tidak berkutik. Apalagi David bersekongkol dengan ikut memberi argumen.

*

Perkembangan Tulip begitu pesat. Wati juga mengakuinya meski tidak secara lisan. Tulip sangat rajin menghapal kosakata bahasa Inggris. Bahkan ia lulus dengan nilai bagus dalam TOEFL. Tak lupa, bahasa Swedia pun dipelajari.

"Sambil nunggu keluarga asuh, dipertajam lagi bahasa Inggris dan Swedianya," kata Mika usai mendaftarkan Tulip ke agensi au pair Swedia. Paspor dan visa akan dibuat setelah Tulip mendapat keluarga asuh. Begitu pula pengisian form residence permit dan work permit.

Tidak ingin terlalu mengandalkan agensinya--karena pencarian keluarga asuh terbilang lama--, sudah beberapa hari ini, Tulip berselancar mencari-cari keluarga asuh. Surprise, ternyata banyak yang mencari au pair di Swedia, lebih tepatnya mencari penjaga anak. Pesan Mika, cari keluarga yang jumlah anggotanya sedikit.

Di beberapa situs au pair juga tidak hanya keluarga asli keturunan Swedia, tapi banyak imigran yang menetap di Swedia yang menginginkan au pair. Mika menyarankan agar Tulip mencari keluarga yang berdarah Swedia untuk mempermudah belajar bahasa Swedia. Tapi, itu bukan tujuan utama. Bukan itu tujuannya ke Swedia. Bukan belajar bahasa Swedia. Bukan mencari keluarga asuh keturunan Swedia. Bukan untuk mengenali budaya Swedia. Bukan menjadi true au pair.

Agensinya pernah memberi profil beberapa keluarga yang sayangnya tidak menarik hati. Ada orangtua dengan dua bayi kembar dan satu anak berusia 6 tahun, ada keluarga dari Iran, ada keluarga yang mengharuskan au pair bisa mengendarai mobil, dan terakhir, ada yang semua anggota keluarganya bertubuh gempal meski hanya 3 orang dalam rumah.

"Nolak mulu, nanti nggak jadi-jadi loh ke Swedia-nya," nasihat Mika ketika Tulip curhat usai membaca e-mail dari agensinya.

"Aku ngebayanginnya tuh aku mesti ke pasar dengan belanjaan banyak. Makan daging atau snack tiap hari, terus disuruh main kuda-kudaan sama anaknya yang bongsor itu. Aku nggak mau tersiksa," ungkap Tulip.

"Mereka akan dihukum kalo nyiksa au pair. Au pair itu bukan pembantu, Sayang. Keluarga yang mempunyai au pair harus memperlakukan au pair seperti bagian dari keluarga mereka. Hukum di Eropa itu sangat ketat, jadi kamu jangan khawatir."

"Aku nunggu e-mail dari agensiku lagi deh, sambil tetep kerja di sini."

*

"Lihat! Berat badanmu berkurang!" Bu Jena nampak heboh. Telunjuknya mengarah ke timbangan.
"Mamah berlebihan," gumam Rei.
"Dia juga kekurangan darah," kata Dokter Marco yang seakan tahu apa yang tengah diributkan pasangan ibu dan anak itu.
"Dengar! Dokter mengatakan kamu kekurangan darah!" kali ini Bu Jena berkata dengan bahasa Inggris.
"Saya hanya harus makan banyak dan minum vitamin kan, Dok?" tanya Rei.
"Pemeriksaan belum selesai," perkataan Dokter Marco tidak menjawab pertanyaan Rei, justru membuat pemuda itu mengernyitkan dahi. "Ibumu memintaku untuk memeriksa kejiwaanmu."
"Apa?!" Rei tersentak. Ia menatap cepat ibunya, "Aku tidak gila, Mah!"
"Bukan seperti itu. Saya juga seorang psikolog. Kamu nanti akan..." Dokter Marco menyela.
"Tidak, Dokter! Tidak usah!" tolak Rei. "Saya baik-baik saja. Saya hanya kehilangan berat badan dan kekurangan darah," sambungnya.

*

Wajah Tulip bersinar. Bukan karena terkena efek lampu flash dari ponselnya Wati. Bukan pula sedang main hantu-hantuan pakai senter. Ini karena e-mail dari agensinya yang baru didapat. Memang sih, setting brightness dari laptop Wati juga memengaruhi wajah gadis kuncup itu yang nampak lebih bersinar. Ditambah minyak di sekitar wajahnya. Maklum, baru pulang kerja, belum mandi.

Tulip menarik nafas panjang sambil senyum. "Nah, ini dia!" serunya.

"Apa? Kenapa?" tanya Wati yang seketika menghentikan aktifitas selfie.

Masih senyum, Tulip menoleh.

"Hostfam?" tebak Wati yang langsung diangguki Tulip. "Gimana? Kamu udah klop?!"

"Klop bangeeettt, Sista."

Wati tepuk tangan kecil-kecilan. "Aaaa... Finally..." []

Tulip (Saknar Dig)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang