Berkunjung

61 5 0
                                    

Setelah tidak mendapatkan nomor ponsel Rei, Tulip akhirnya mendatangi pos satpam. Bukan untuk mengadu pada security kalau petugas Taman Nyaman, terutama yang berteman dengan Rei, tidak memberinya nomor handphone Rei. Tapi, di sana ada Pak Ishak yang katanya kenal dekat dengan salah satu pengawal di keluarga Rei.

“Aku punya utang sama dia, Pak. Rasanya tuh hati nggak tenang kalo belum bayar.” Itu adalah alasan Tulip supaya bisa dapat alamat rumahnya Rei. Alasan yang sama yang dilontarkan Tulip ketika ia meminta nomor handphone Rei. Kurang kreatif memang.

“Bentar ya, Pak Ishak catet dulu alamatnya.” Pak Ishak mengambil selembar kertas dari notebook di meja berikut pulpennya. Ia mengecek ponsel untuk melihat alamat rumah Rei yang sudah disimpannya untuk disalin.

“Oh, ya, ... apa Pak Ishak yang ngasih tahu pengawal-pengawalnya Rei kalo selama ini Rei kerja di sini?”

Bola mata Pak Ishak membidik Tulip, “Hahaha... iya, begitulah.”

Tulip manggut-manggut, “Kenapa Pak Ishak nggak ngasih tahu aku kalo Rei itu anak orang kaya? Hhh... aku tarik juga tuh kumisnyaaa!”

“Ini.” Pak Ishak memberi alamat rumah Rei yang sudah dicatatnya pada Tulip.

Tulip melihat sebentar kertas alamat itu, lalu bicara, “Terima kasih ya, Pak. Tapi, apa Pak Ishak punya nomor hapenya Rei?”

“Wah, nggak punya saya.”

“Nomor telepon rumahnya?”

“Itu pun saya nggak tahu. Temen Pak Ishak juga pasti nggak akan ngasih tahu, soalnya itu menyangkut privasi. Kamu tahu sendiri kan rumah yang akan kamu sambangi adalah rumah pemilik DM Grup.”

“Sip! Sekali lagi terima kasih ya, Pak!”

Pak Ishak mengangguk sekali. Tulip menyimpan baik-baik kertas berisi alamat rumah Rei lalu melangkah pergi tanpa lupa berpamitan.

*

Setelah berkunjung ke tempat kuliahku nanti, kami mampir ke salah satu kafe yang tak jauh dari kampus itu. Di hari kelima berada di negeri kecil ini, bayangan tentang Papah masih belum menghilang. Aku sangat mengkhawatirkannya.

Sebalnya, karena aku terus menghubungi Papah, Papah menyuruh Pak Hadi memutus sambungan telepon. Aku tahu hal itu dari e-mail yang dikirimkan Pak Hadi.

“Jangan memikirkan apa-apa. Fokus pada pendidikanmu. Kamu memang lama tinggal dengan Papahmu, tapi coba beradaptasi dengan keluarga Ibumu. Dengan David terutama, karena dia akan sangat membantumu,” kata Pak Hadi kemarin malam di surat elektroniknya.

Memang, aku masih belum merasa nyaman berada di lingkungan baru. Apalagi terhadap David yang tiga tahun lebih tua dariku. Satu lagi, yang membuatku ingin kabur, cuaca di sini sangat menyiksa.

“Kamu mau pesan apa?” tanya David saat kami sudah duduk.

“Kopi.”

“Saya pesenin toast skagen, ya? Kamu perlu isi energi setelah lama berkeliling kampus,” kata David yang tidak kutanggapi. Ia lantas berbincang pada pelayan kafe memakai bahasa Swedia. Mungkin sedang memesan. “Saya bisa dimarahi Mamah kalo nggak ngasih kamu makan.” David tertawa kecil. Sungguh pria yang manis.

Aku mengenal David ketika usiaku baru 4 tahun. Sebenarnya, aku tidak terlalu ingat, tapi David ingat betul pertemuan singkat kami waktu itu. Bahkan dia tahu aku benci susu sapi. Dari wajahnya memang terlihat jelas jika pria itu pintar mengingat. Lucunya, meskipun dia lebih tua dariku, tapi dia melarangku memanggilnya kakak.

Cerita mengenai David sangat panjang. Setelah Mamah menikah dengan Papah, dia tinggal bersama ayahnya di Yogyakarta. “Kenapa waktu itu kamu nggak mau tinggal bareng keluarga saya?” tanyaku tiga hari lalu ketika David mulai membicarakan profilnya.

Tulip (Saknar Dig)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang