Becoming A Dad (PoV Atharva)

1.5K 217 21
                                    

Gue cuma bisa diam dengan banyak pikiran berkecamuk selama memandangi anak laki-laki yang memanggil Diera 'Mama'. Nggak perlu memiliki otak jenius untuk bisa menebak siapa anak itu. Hanya dengan melihatnya sekilas, gue sangat yakin semua orang bisa menyadari kemiripan kami. Anak itu seperti jelmaan gue waktu kecil. Terutama rambutnya yang sedikit gondrong dan kriwil.

Gue masih belum bisa bicara apa-apa setelah anak itu keluar dari dalam kamar. Seketika rasa kesal, kecewa, merasa dibohongi, serta semua emosi negatif lainnya mulai berkumpul di dalam pikiran gue hingga menimbulkan satu reaksi kemarahan yang mendalam.

"How could you do this to me?" desis gue sambil berusaha keras menahan lonjakan emosi yang semakin sulit gue kendalikan. "I'm trying to make us work, Dier. Apa pun aku lakukan agar kita bisa bersama. Dan ternyata ini yang kamu mau? Apa aku memang nggak layak menjadi ayah dari anak kamu sampai kamu tega menjauhkan aku dengan darah dagingku sendiri?"

Diera terdiam di depan gue. Matanya memerah. Mungkin gue terlalu keras, tapi gue nggak peduli. Hati gue terlalu sakit menyadari apa yang sudah gue lewatkan selama lima tahun ini.

"Menjauhkan seorang anak dari ayahnya itu adalah sebuah kejahatan, Diera. Apa kamu nggak pernah berpikir jika semua anak punya hak yang sama untuk mendapatkan kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibunya?"

"Aku akui ini memang kesalahanku, Thar. Aku minta maaf. Saat itu emosiku benar-benar nggak stabil. Aku bingung, takut, sedih. Terutama setelah aku mendengar kabar kalau kamu memutuskan rujuk dengan istri kamu. Aku nggak berpikir panjang dan akhirnya memilih untuk menyembunyikan kehamilanku dari kamu karena aku pikir kamu sudah melanjutkan hidup dengan istri kamu."

Omong kosong macam apa lagi ini? Gue menatap Diera semakin tajam sambil geleng-geleng kepala.

"Untuk ukuran seorang perempuan cerdas dengan gelar master, kamu bertindak terlalu gegabah tanpa pikir panjang. Kamu tahu nomorku, dan kamu bisa menghubungi aku kapan aja untuk menanyakan alasan aku mencabut gugatan perceraian itu. Tapi kamu nggak melakukan itu. Kenapa? Karena yang kamu pikirkan cuma ego kamu aja. Kamu nggak memikirkan jika anak yang kamu lahirkan berhak mengenal ayahnya dan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya!"

Diera mulai terisak di hadapan gue. Sayangnya untuk saat ini air mata itu tidak berpengaruh apa pun. Rasa kecewa gue terlalu besar sampai gue nggak tahu gimana caranya untuk menghilangkan perasaan itu.

"Jadi karena itu kamu resign dari Simplify dan menjual apartemen lama kamu? Karena kamu memang berniat sembunyi dari aku?" Gue tatap dia selekat-lekatnya. "Aku benar-benar kecewa sama kamu, Dier. Aku nggak nyangka ternyata kamu orang yang egois!"

Perkataan gue dijawabnya dengan meninggikan suara. "Why are you blaming this on me? Aku sudah mengakui kesalahanku. Aku juga sudah minta maaf dengan tulus. Lalu apa lagi yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan aku?"

"Apa maaf kamu bisa mengembalikan waktu yang sudah hilang selama lima tahun ini?" balas gue, membuat Diera tergagap. "Apa maaf kamu bisa mengembalikan momen perkembangan anakku yang sudah aku lewatkan? Nggak bisa kan, Dier, because there’s no turning back. Kenyataannya penyesalan kamu nggak bisa mengubah apa pun!"

Gue menatap Diera lama, sedingin-dinginnya, lalu pergi dari kamar itu sambil membanting pintu. Gue tahu dia menangis di belakang gue, tapi gue nggak peduli. Seandainya aja gue bisa menangis seperti Diera, gue akan melakukan itu. Karena nyatanya sesak itu masih belum hilang walaupun gue sudah berhasil meluapkan kemarahan yang gue rasakan.

~~~~

Gue tertegun entah berapa lama di sofa ruang tunggu studio. Kenyataan yang baru aja terungkap membuat bahagia sekaligus patah hati. Gue bahagia karena ternyata gue sudah menjadi seorang ayah, tapi gue juga patah hati setiap kali memikirkan momen apa aja yang sudah gue lewatkan sejak anak gue lahir sampai sebesar ini.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Where stories live. Discover now