Blow My Mind (PoV Atharva)

1.3K 186 9
                                    

Gue bersandar di ambang pintu kamar dengan kamera di tangan gue. Nggak tahu kenapa gue paling senang memotret Diera waktu dia tidur. Dia bahkan nggak tahu kalau gue sering melakukan hal ini setiap kami tidur bersama. Diera terlalu sempurna, sehingga gue ingin menangkap momen apa pun yang kami miliki setiap detiknya.

Gue duduk di tepi ranjang untuk mengambil gambar lebih dekat. Dan dilihat dari jarak dekat seperti ini, terutama dalam keadaan wajahnya yang bersih dari makeup, kecantikannya tampak lebih jelas. Diera punya mata yang bulat sempurna dengan bulu mata lentik alami, hidungnya proposional, serta bibirnya yang merekah. Di mata gue, dia nggak ada cela sedikitpun. Semuanya sempurna.

Terutama sifatnya.

Sebesar apa pun kesalahan yang gue lakukan, Diera nggak pernah menghakimi gue. Dia selalu mengerti keadaan gue. Sejak kecil dia selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan, tapi, hal itu nggak membuatnya menjadi orang yang egois.

Selama tiga tahun ini gue terjebak dengan keadaan dan menolak merasakan apa pun karena terlalu fokus merawat Shenina. Gue berusaha mati-matian menerima kenyataan yang gue alami. Gue memaksakan diri untuk menjadi suami yang bertanggungjawab. Dan setelah gue bertemu lagi dengan Diera, gue tahu kalau saat itu juga dia telah berhasil membebaskan gue dari kerangkeng yang selama tiga tahun ini mengurung gue.

Sial. Gue nggak menyangka kalau gue bisa merasa sentimentil seperti ini hanya karena seorang perempuan. Tapi, kalau perempuan yang bikin gue seperti ini adalah Diera, gue nggak keberatan.

Gue berjalan ke ranjang dan duduk di tepinya. Gue mengenalnya sejak sepuluh tahun lalu, dan itu waktu yang cukup lama untuk menyadari dia bukan tipe orang yang nggak suka bangun pagi, apalagi pada hari libur seperti ini.

Gue membungkuk dan menciumi wajahnya. “Bangun, tukang tidur,” bisik gue di samping telinganya.

Diera mengerang. Dahinya mengernyit karena dia nggak suka kalau tidurnya terganggu. Karena itu gue menyelinap masuk ke dalam selimut dan kembali memeluknya. Detik berikutnya, erangannya berubah menjadi rintihan pelan ketika tangan gue menyusup masuk ke dalam piama tidur yang dia pakai. Gue membelai tubuhnya yang hangat dan lembut, lalu naik ke payudaranya.

"Athar," keluhnya dengan desahan tertahan saat kedua tangan gue meremas payudaranya yang pas dalam genggaman gue sambil sesekali mencubit puncak merah mudanya. "Kamu curang. Aku nggak pernah ganggu kamu tidur."

Gue terkekeh."Maaf aku gangguin tidur kamu, tapi kamu harus bangun, Sayang."

"Memangnya jam berapa sekarang?"

"Jam tiga," jawab gue.

"Jam tiga dini hari?"

Gue hanya mengangguk.

"Ngapain kamu bangunin aku tengah malam gini?" serunya sambil menatap gue dengan tampang kesal.

Lagi-lagi gue nggak bisa menahan tawa melihat ekspresi wajahnya sekarang. "Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Nanti juga kamu tahu." Gue menepuk bokongnya yang seksi. "Sekarang buruan bangun. Nanti lanjut tidur lagi di mobil."

"Nyebelin banget, sih!" gerutunya sambil beranjak dari tempat tidur dengan tampang cemberut.

Selama menunggu Diera di kamar mandi, gue menyeduh kopi dan memasukan ke dalam tumbler tahan panas. Setelah itu gue memanaskan pizza sisa semalam yang gue temukan di dalam kulkas untuk bekal di perjalanan jika tiba-tiba kami kelaparan.

Tepat ketika microwave berbunyi, Diera keluar dari kamar dengan menenteng bantal dan selimut tipis. Dia bahkan masih kelihatan menawan walaupun hanya menggunakan sweater punya gue yang kebesaran di badannya, dan dipadukan dengan celana yoga.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Where stories live. Discover now