The Uncertainty of Strangers

1.8K 212 41
                                    

Aku menarik selimut lebih tinggi karena menggigil kedinginan. Aku menyadari jika aku tidak menggunakan apa pun di balik selimut yang membelit tubuhku saat ini. Begitupun Atharva yang sejak tadi masih mendekapku dari belakang dalam keadaan tertidur pulas.

Sebelum aku sempat bergerak untuk berganti posisi, aku mendengar ponsel Atharva yang tersimpan di nakas bergetar tanpa suara. Aku menyadari Atharva sudah terbangun. Dia bergerak pelan dengan sangat hati-hati. Sepertinya dia mengira aku masih tidur sehingga tidak ingin mengganggu tidurku.

"Ada apa, Mbak?" bisiknya. "Saya masih ada urusan. Mungkin malam ini saya nggak pulang."

Terjadi jeda panjang, dan dalam hati aku mulai panik karena ingin tahu siapa yang menelepon.

"Kok bisa gitu, Mbak?" Aku mendengar Atharva berdecak. "Ada-ada aja. Ya sudah, saya pulang sekarang."

Percakapan Atharva dengan seseorang yang tidak aku kenali itu, seolah menyadarkan aku betapa sedikit yang aku ketahui tentang dirinya sekarang. Atharva benar-benar menutup dirinya dariku, sehingga aku tidak tahu apa-apa tentangnya.

Yang aku tahu Atharva adalah anak pertama dengan satu orang adik laki-laki yang tinggal di Jepang dan bekerja di sana. Sementara orang tuanya yang sudah tua, memilih untuk menghabiskan masa tua di kampung halaman mereka di Pagar Alam.

Atharva tidak memiliki saudara perempuan yang dia panggil 'Mbak'. Apa mungkin itu ART yang bekerja di rumahnya dan mengabarkan telah terjadi sesuatu di rumahnya?

Aku masih pura-pura tidur ketika Atharva mengusap kepalaku dengan lembut. "Dier... bangun, Sayang," bisiknya di telingaku.

Aku pura-pura mengeliat dan membuka mataku perlahan.

"Aku pulang, ya," pamitnya.

"Aku kira kamu nginap di sini."

Dia tersenyum dan kembali mencium keningku yang dilanjutkan dengan kecupan di bibirku. "Besok, ya? Sekarang aku harus pulang karena ada panggilan mendesak."

Aku mengangguk sambil memperhatikan Atharva ketika sedang memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan kembali memakainya.

"Ayo, aku antar sampai lobi." Aku merangkak menuruni tempat tidur.

"Nggak usah. Kamu lanjut tidur aja. Ribet kalau harus pakai baju dulu."

Aku mengeluarkan kimono tidur dari dalam lemari dan memakainya. "Kalau gitu aku antar sampai pintu aja."

Atharva mengangguk. Dia menggandeng tanganku ketika kami melangkah keluar kamar dan melepaskannya saat dia harus memakai sepatunya. Setelah selesai, dia kembali menegakkan tubuhnya.

"Come here," pintanya.

Aku mendekat kepadanya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Dia membingkai wajahku dengan tangannya yang kekar. Kedua matanya menatapku untuk waktu
yang lama. Aku tidak yakin dengan penglihatanku, tapi, aku menangkap sebuah kesedihan tersirat di wajahnya.

"Besok kamu selesai kerja jam berapa?" tanyanya.

"Belum tahu. Kenapa memangnya?"

"Besok nggak usah bawa mobil, kamu pulang sama aku aja."

"Kamu mau jemput aku di kantor?"

Atharva mengangguk. "Hari Sabtu kamu nggak ada agenda ke mana-mana, kan?"

"Bisa diatur," jawabku.

"Kalau gitu kamu harus temani aku makan ketoprak Ciragil."

Aku tertawa pelan dan mengangguk. Setelahnya, aku mencium dadanya dan kembali memeluknya. Atharva balas memeluk erat tubuhku sambil sesekali menciumi puncak kepalaku.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Where stories live. Discover now