New Life, New Hope, And New Spirit

1.2K 213 19
                                    

Aku menghentikan mobilku di tempat parkir khusus tamu. Tidak ingin mengulur-ulur waktu, aku bergegas keluar dari mobil dan berjalan menuju pos security yang terdapat di depan gerbang.

"Pak, ruangan kliniknya di mana?" tanyaku kepada satpam yang berjaga di sana.

"Ibu masuk aja terus, nanti di ujung koridor, Ibu belok kiri. Klinik kesehatan ada di dekat ruang guru."

Aku mengucapkan terima kasih lebih dulu dan berlarian kecil menyusuri koridor primary school itu yang juga merangkap sebagai daycare. Aku mengikuti petunjuk yang diberikan security, dan untung saja ruangan yang aku cari bisa aku temukan dengan mudah.

Setelah mengetuk pintunya lebih dulu, aku bergegas masuk dan menemukan orang yang berada di dalam pikirkanku sejak tadi, sedang tergolek di atas ranjang klinik yang kecil. Memar kebiruan di keningnya terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang putih.

Mulutnya melengkungkan senyum ketika melihat kedatanganku, seolah benjol di kepalanya tidak menimbulkan efek apa-apa.

"Mamanya Arshaka?"

Aku menoleh dan menemukan dokter klinik yang berada di ruangan itu bertanya kepadaku. Aku pun mengangguk. "Iya, saya mamanya Arshaka," jawabku. "Saya dapat kabar dari Miss Betty kalau Shaka jatuh dari tangga?"

"Betul, Mam. Shaka jatuh dari tangga yang mengarah ke rooftop."

Aku mengalihkan perhatian kepada anakku yang saat ini balas menatapku dengan ekspresi takut. "Maafin Shaka, Mama," ucapnya dengan kepala menunduk.

"Memangnya Shaka mau apa naik ke rooftop?"

"Shaka mau motret, Mama. Udah minta izin sama Miss Betty, tapi tangganya licin, jadi Shaka jatuh, deh."

Aku menghela napas panjang sambil menutup mata.

See? Tanpa harus melakukan tes DNA pun, sudah terlihat DNA siapa yang paling dominan dalam diri Arshaka. Anak ini benar-benar cerminan laki-laki yang menjadi ayah biologisnya, walaupun mereka tidak pernah saling mengenal satu sama lain.

Sejak aku memberikan hadiah kamera mini saat ulang tahunnya yang keempat, Arshaka tidak pernah bisa lepas dari kamera itu. Bahkan anak umur empat tahun itu sudah banyak mengerti tentang komposisi pencahayaan dan efek gerak dalam seni fotografi. Entah bagaimana caranya anakku mempelajari hal itu, padahal membaca saja belum bisa.

"Tadi saya sudah periksa lukanya, Mam. Hanya terdapat memar di luar dan tidak ada pendarahan dalam. Mam bisa bawa pulang Arshaka. Kalau nanti ada reaksi demam atau muntah-muntah, langsung dibawa ke rumah sakit saja ya, Mam."

Aku mengangguk. "Baik, Dok. Terima kasih banyak."

Setelah mendapat persetujuan dokter klinik untuk pulang, aku membantu Arshaka turun dari ranjang. "Bisa jalan sendiri atau mau Mama gendong?" tanyaku.

"Nggak mau digendong, aku kan udah gede," tolaknya.

Aku hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Rasanya aku masih belum bisa percaya anakku sudah sebesar ini. Aku tidak akan pernah lupa bagaimana perjuangan yang harus aku lewati ketika menjalani proses kehamilan hingga melahirkan Arshaka.

Entah sudah berapa banyak air mata yang aku keluarkan. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan menjalani masa kehamilan tanpa seorang suami. Namun, aku tahu semua ini adalah konsekuensi yang harus aku lewati. Dan ternyata semuanya terbayar lunas ketika pertama kalinya aku melihat wajah anakku setelah aku melahirkannya.

Begitu kulitku bersentuhan langsung dengan kulit halusnya, sungguh aku tidak bisa menahan haru. Aku menangis bahagia karena aku berhasil melewati semua kesulitan itu sendirian. Kendati pada momen itu tidak ada Atharva yang mendampingiku, tetapi, Mama selalu setia berada di sampingku. Monica dan Davina pun tidak ketinggalan. Mereka menemaniku dan terus memberikan support yang aku butuhkan selama masa kehamilan hingga proses persalinan. Sungguh beruntungnya aku memiliki mereka.

Mengapa Jatuh Cinta Harus Sesakit Ini?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang