Prologue

6.4K 510 370
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

dedicated for Zakiah, who always pinch (sorry, Zak :p) and support me at junior high school.  

***

Boston, 13 Juni 2018

Di sebuah kamar di salah satu rumah bertingkat kecil kota Boston, seorang remaja termenung di depan jendela kamarnya. Ia melihat kamar berlapis cat biru dengan hamparan buku dan coretan-coretan di sekitarnya. Lalu mengambil pensil yang tergeletak di lantai kamarnya. Ia menyelipkan pensil di sela telinga sambil menyibakkan rambut coklatnya. Kemudian melipat tangannya di jendela sambil memandang pemandangan di luar.

Pemandangan itu adalah kota Boston. Dengan seluruh lampu biru dan kuning yang silih ganti menyala dan meredup, menyala-nyala dengan lembut dan tenang. Pohon-pohon berbayangan biru gelap karena malam di musim panas. Sesekali, kapal berlabuh melewati sungai yang ada di sekitarnya. Suasana disana hening dan sunyi, benar-benar damai.

Ya, sebenarnya remaja yang sedang termenung di jendela itu, Robert Runner, tidak tinggal di pusat kota Boston, melainkan di pinggiran kotanya yang dilewati oleh sungai. Baru lima tahun ia tinggal di Boston sejak ia pindah dari Philadelphia. Ayahnya, yang seorang ilmuwan kimia, pindah ke sana atas tawaran kerja barunya.

Namun, dengan suasana yang damai dan menenangkan ini, membuat ia merasa sudah ada di rumahnya sendiri. Setiap malam, Robert selalu membuka jendela kamarnya. Memandangi gemerlap kota Boston yang indah, juga memberinya banyak ide baru untuk penelitian kecil-kecilannya. Tak ada yang bisa mengganggunya di sini.

Hari- hari seperti inilah yang ia inginkan.

"Robert!"

Seorang perempuan memekik dari lantai bawah. Robert memutar bola matanya. Astaga, jangan lagi, batinnya. Ia mengenal pasti suara itu, dan itu adalah ibunya. Ia segera beranjak dari duduknya dan mengambil baju kemeja biru tua, melapisi kaus oranyenya. Ia menyisir rambut hitam berantakannya dengan tangan secara terburu-buru, lalu berlari menuruni tangga rumahnya.

Saat Robert menuruni tangga dan meluncur di pegangan terakhir tangga itu, ia melihat sekeliling ruang tamunya. Sunyi. Tidak ada siapapun. Hanya ada perapian tanpa api yang menyala, dengan jejeran rak buku yang melapisi ruangan. Komputer ayahnya masih menyala, dan dapur terlihat sangat gelap. Ia menggaruk kepalanya.

"Ayah? Ibu?" panggil Robert ke sepenjuru ruangan.

Tepat dari belakangnya, sesosok lelaki dan perempuan datang menghampirinya. Membawa kue tart bluberi kecil dengan lilin kecilnya yang berpendar dalam kegelapan. Dari bayangan tersebut, segaris senyuman mengembang di bibir mereka berdua. Mereka terkekeh dan menepuk pundak Robert. Robert berbalik dan terkejut. Ia tersentak dan mundur beberapa langkah ke belakang.

"Selamat ulang tahun, Robert Runner!" seru kedua orang itu.

Robert menghela nafasnya sambil tertawa. Kedua orang itu, yang tidak lain adalah orangtuanya sendiri, telah membuat jantungnya hampir copot. Ia tertawa terbahak-bahak melihat kedua orang tuanya. Lalu memeluk ibunya dengan erat. Ibu Robert, dengan rambut hitamnya yang tergerai serta senyumannya yang menawan, tertawa geli.

The RunawaysWhere stories live. Discover now