Part 3

80.5K 2.9K 49
                                    

Part 3

Camelia POV

Aku berhenti melangkah saat terdengar suara Aryana memanggilku.

"Bu Camelia, ada titipan untuk, Ibu," kata Aryana sambil mengulurkan setangkai bunga mawar merah segar padaku.

Aku mengerut kening. "Dari siapa?" tanyaku heran. Setahuku, Andrew tidak pernah mengirim bunga ke kantorku selama dua bulan ini.

"Kurir yang mengantarnya. Si pengirim tidak memberitahukan identitasnya, Bu," kata Aryana.

Aku menyambut bunga mawar yang diulurkan oleh Aryana. Dengan lembut, aku membawa bunga tersebut kehidungku dan menghirup aroma wanginya yang khas.

"Okey, makasih, Ry," kataku lembut pada Aryana.

Aku melangkah menuju ruanganku dengan perasaan penasaran menyelimuti hati dan pikiran.

Siapa yang mengirim bunga untukku? Apa salah seorang karyawan kantor ini ada yang tertarik padaku? Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Ternyata aku sangat mudah ge-er. Belum tentu juga yang mengirimkan bunga naksir padaku.

Senyum masih menghiasi bibirku saat aku duduk di kursi dan mulai menyalakan laptop. Sebagai Ka. Bag, tugasku adalah mengoreksi ulang semua data-data yang di input oleh admin-admin di bawahku, jangan sampai ada transaksi yang mencurigakan yang bisa merugikan perusahaan. Terutama di bagian piutang. Ini bagian yang paling rawan dalam sebuah perusahaan dagang. Terkadang banyak sales dan admin yang menyalahgunakan wewenang mereka dan menilap uang perusahaan dengan membuat laporan palsu.

Tanpa sadar, aku melirik ke kanan dan melihat ruangan Daniel yang masih kosong. Aku menghela napas lega. Masih jelas di pelupuk mataku pertemuan tidak terduga kami di kafe malam minggu kemarin.

Begitu melangkah masuk ke kafe itu, perhatianku seolah tersedot untuk menoleh ke arah kanan, seperti ada magnet yang menarikku untuk menatap ke sana. Dadaku berdebar tatkala melihat sosok Daniel duduk dengan si wanita yang tangannya terlihat sedang mengelus paha pria itu. Seketika perasaan kurang senang menyerang hatiku.

Saat itu Daniel belum sadar akan kehadiranku di kafe itu, dan dengan bijak aku sengaja mengambil tempat duduk membelakanginya dan berpura-pura tidak melihatnya. Tapi selalu saja, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Wanita yang bersamanya sudah menghilang saat aku menoleh ke arah pria itu. Dan kesekian kalinya, dia selalu berhasil membuat dadaku berdebar saat mata kami beradu.

Aku kembali menatap bunga mawar yang tergeletak di samping laptop sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan meletakkan di atas meja kerja. Setelah itu, aku mulai bekerja.

Saat tanganku meraih laporan piutang, tiba-tiba interkom di ruanganku berdering. Aku segera meraihnya saat melihat line yang menyala adalah dari Daniel.

"Mel, ke ruanganku sekarang!"

Intercom terputus sebelum aku sempat menjawabnya. Aku menoleh ke arah ruangan Daniel. Dia terlihat baru tiba dan sedang membuka beberapa file laporan di atas mejanya.

Tanpa menunggu lama, aku segera menuju ruangannya lewat pintu penghubung antar ruangan.

"Iya, Pak?" tanyaku sambil berdiri sopan di depannya,

"Mana laporan pembukuan bulan lalu?" tanya Daniel sambil menatapku dalam-dalam.

Aku menahan napas. Aku benci dengan situasi ini. Tatapannya selalu membuat dadaku berdebar dan kakiku lemas tiba-tiba. Aku langsung meleleh setiap menatap wajah tampannya dari dekat seperti ini.

"Bukankah sudah saya serahkan pada Bapak beberapa waktu lalu?" tanyaku heran.

Aku sangat yakin sudah menyerahkan segunung laporan pembukuan bulan lalu padanya.

"Aku masih belum melihatnya hingga hari ini," katanya datar. Tidak bernada marah, tapi juga tidak ramah.

Aku mengerut kening. Aku sangat yakin sudah menyerahkan padanya. Seketika aku mengumpat kecil dalam hati. Aku baru ingat waktu itu dia terburu-buru keluar meninggalkanku yang sedang mengantarkan laporan. Tapi harusnya laporan itu masih ada di mejanya.

"Saya ingin laporan itu hari ini juga!" katanya tegas.

Aku mengangguk tanpa protes. Sebagai seorang Ka. Bag, tentu saja aku harus bersikap profesional.

Tanpa menunggu lama, aku meninggalkan ruangan Daniel dan kembali ke ruanganku. Aku menarik napas panjang. Mencetak kembali semua laporan yang sudah ter-input di laptop sangatlah mudah, tapi dalam kondisiku yang sedang dikejar deadline laporan bulan ini, membuatnya menjadi berat.

Sambil mendengar musik instrumen Kenny G, aku membuat beberapa jurnal dari transaksi perusahaan dan meng-input-nya ke laptop. Rasanya bisa kriting rambutku dikejar deadline seperti ini.

Seperti tidak berpihak padaku yang sedang sibuk, ponsel di mejaku berdering. Aku mendesah kesal.

"Emm... Sayang... aku sedang sibuk," ujarku begitu menyentuh tanda berwarna hijau di layar ponsel.

"Dikejar deadline?" tanya Andrew di ujung sana.

Aku mengangguk tanpa menjawab. "Drew, entar malam aku lembur deh kayaknya... kamu gak usah jemput, ya... aku pulang naik taksi aja," kataku sambil meraih lembar nota transaksi perusahaan.

"Lembur sampai jam berapa? Aku jemput aja. Bahaya kamu pulang malam-malam sendirian, Sayang."

Aku tersenyum kecil mendengar perhatian Andrew. Andrew memang pria yang sangat perhatian. Umurnya yang sudah menginjak kepala tiga, membuatnya bersikap dewasa dan selalu memanjakanku.

"Nanti kamu cape lho, Sayang, kamu kan udah kerja seharian..." kataku tersanjung dengan bibir masih melukis senyum.

"Demi kamu..."

Aku tertawa kecil mendengar rayuan gombal Andrew. "Ya sudah, Sayang. Aku kerja dulu, ya," kataku sambil tersenyum kecil seperti orang kasmaran tingkat akut.

"I love you..." bisiknya

"I love you too."

Aku menatap layar ponsel sambil masih mengukir senyum di bibir. Tidak salah aku memilih menerima cinta Andrew lima bulan lalu saat ia menyatakan cintanya padaku. Pria tampan dengan sikap perhatian dan baik seperti Andrew sudah sangat langka di zaman sekarang.

***
Bersambung...
Please vote dan komen

Evathink

Loving You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang