9. Kepergian

98 5 1
                                    

Pagi ini, suasana Jakarta tak sepanas biasanya. Sejak tadi, angin bertiup kencang dan awan-awan sudah menggumpal berwarna hitam.

Agra berlari, menyebrangi lapangan untuk sampai di lorong utama arah menuju kelasnya.

Sampai lorong, Agra mengernyit heran. Semua pasang mata kini mengarah kepadanya, siswi yang biasanya menyapa kini hanya melirik sebentar ketika berpapasan.

Agra memandang siswi itu. Hingga ketika dia bertemu dengan temannya dan berbisik sesuatu, dengan sesekali melirik kearahnya, Agra tersadar ... ada yang salah dengan hari ini.

Agra menunduk, mengecek apakah pakaiannya ada yang salah. Ia terdiam saat tak menemukan apapun yang aneh.

"Woi, Gra!"

Sampai ketika panggilan dari belakang menyadarkan.

Bahu Agra dirangkul oleh cowok yang menjadi teman sebangkunya, cowok itu melangkah di samping kiri Agra dan teman yang satunya lagi berada di samping kanan.

Kini Agra berada di tengah-tengah, dan mereka pun melangkah bersama-sama ke kelas.

"Eh main lah nanti sore kita," ajak teman Agra membuat Agra mengulum bibir ke dalam.

"Aku enggak bisa," jawab Agra.

Teman Agra yang satunya menyeletuk. "Anjir, bangkrut kamu, Gra? Tiap di ajak main enggak mau?"

"Haha ya kali, sultan bisa miskin," kata teman yang satunya.

Namun, Agra hanya mampu terdiam.

Mereka bertiga menaiki tangga bersama. Melangkah di koridor lantai dua, sampai akhirnya mereka sampai di kelas.

Anehnya, pagi ini.

Kelas Agra lebih ramai dari biasanya.

Saat memasuki kelas, tubuh Agra benar-benar membeku. Tangannya mendingin tiba-tiba melihat ada banyak kertas tertempel di papan tulis. Kertas yang memperlihatkan artikel tentang perusahaan milik papanya juga foto-fotonya ketika bekerja paruh waktu.

Ketika bekerja di kafe.

Ketika menjual buku-bukunya.

Ketika Agra mengantar makanan.

Dan tak hanya itu, ada fotonya yang bersama Shinta.

Rangkulan di pundak Agra terlepas. Dan bisik-bisik itu mulai terdengar.

"Anjir! Ternyata emang bangkrut!"

"Woilah, udah miskin sekarang."

"Lah anjir? Sejak kapan Agra deket sama Shinta?"

"Eh jangan-jangan dia deketin Shinta cuma karena uang? Secara kan dia udah bangkrut. Mana kerja serabutan gitu."

"Bisa jadi!"

Agra melangkah mundur perlahan. Tak berani menatap teman-temannya. Cowok itu buru-buru berbalik, tersentak ketika tiba-tiba Raisa sudah berdiri di depannya.

Agra mendorong tubuh Raisa pelan. Segera berlari keluar kelas dengan tubuh yang gemetar.

Sesuatu yang ia jaga selama ini, sesutu yang ia simpan rapat-rapat itu, hari ini telah terbongkar.

Dan Agra tidak tau harus bersembunyi kemana.

• • • •

"Sa," panggil Shinta.

Raisa tak menggubris, dia tetap menarik semua gambar yang tertempel pada papan tulis, meski kini dirinya telah menjadi tontonan anak-anak kelas.

"Aku bakal nyari tau siapa yang nempelin ini semua, Shin." Raisa berkata penuh tekad.

Agra, Rasa, dan Raisa (Novellet)On viuen les histories. Descobreix ara