4. Tentang Agra

156 6 0
                                    

Remaja laki-laki itu melangkahkan kaki jenjangnya, melewati koridor rumah sakit yang sudah dihafalnya baru-baru ini. Kakinya berhenti tepat beberapa meter dari ruangan yang pintunya terbuka.

Otot lehernya menegang, tangannya mengepal sedikit gemetar.

Dengan rasa panik bukan kepalang, ia memasuki ruangan itu dan membeku mendapati dua perawat tengah merapikan brankar di sana.

"Ma-mama saya ... mana?" tanyanya dengan bibir bergetar.

"Ke-kenapa ...." Bahkan untuk bertanya saja dia sudah tidak mampu. Seluruh tubuhnya mendingin, pikirannya seketika membayangkan apa yang ia takutkan. "Mama saya ...."

"Susㅡ"

"Mas, tenang dulu ya."

"Mamanya Mas baik-baik saja, kondisinya bahkan lebih baik dari sebelumnya," ucap salah satu perawat itu dengan senyum tipis. "Beliau ada di taman belakang."

Setidaknya, hembusan napas lega keluar dari remaja itu.

Dengan buru-buru ia menyusul ke taman rumah sakit. Dan benar saja, di salah satu bangku taman duduk seorang wanita dengan pakaian pasien. Wanita itu menatap langit yang banyak tertutup awan.

"M-ma?" panggilnya.

Wanita itu menoleh. Tersenyum begitu tulus ke arah putranya.

"Mama kenapa di sini?"

"Memangnya kenapa? Mama pusing di kamar terus, bau obat-obatan."

Remaja itu menipiskan bibir. Mendekat ke arah perempuan yang sudah melahirkannya. Tanpa aba-aba, ia langsung memeluk sosok itu erat. Menenggelamkan wajah ke dalam ceruk leher, mencari ketenangan di sana.

"Agra tadi nyariin mama," lirihnya.

"Hm?"

"Agra takut ... mama kenapa-napa."

Bunga, mama Agra tersenyum tipis. Membalas pelukan putranya. "Mama baik-baik saja," katanya. Mengelus surai Agra memberikan rasa nyaman.

"Hari ini melelahkan, Ma," adu Agra. Cowok yang memakai celana abu SMA dan kaos hitam itu memejamkan matanya.

"Tapi anak Mama bisa melewatinya kan?" tanya Bunga.

Agra mengangguk membuat Bunga mengangkat kedua sudut bibirnya. "Anak Mama memang hebat."

Agra tak menjawab. Masih memejamkan matanya merasakan deru napas Bunga di dekat lehernya. Rasanya hangat, nyaman, dan menenangkan.

"Ma ... orang yang Agra sayang menghindar," kata cowok itu setelah membuang napasnya berat.

Memang, setelah kejadian ia mengungkapkan rasa di perpustakaan kemarin, Agra dan Raisa tidak menjadi lebih dekat tapi justru semakin berjarak.

Entah kenapa, Agra rasa gadis itu menghindarinya.

Bunga mengelus rambut Agra pelan. "Kalau Agra suka, Agra harus kejar. Kasih kepastian, jangan hanya bilang sayang tapi tak memberi status pasti."

Bunga mengurai pelukannya. Memegang pundak kedua pundak putranya memberi kekuatan. Dengan ragu-ragu, Agra yang menunduk mengangkat kepalanya. Menatap mamanya yang tersenyum dengan mata yang memancarkan sinar penuh harap.

"Agra enggak mau pacaran," kata cowok itu pelan.

"Agra sayang dia, tapi Agra lebih sayang mama."

• • • •

"Agra," panggil Bunga.

Agra yang baru keluar dari toilet menoleh, buru-buru menghampiri mamanya. "Iya, Ma. Mama butuh apa? Biar Agra ambilin."

Agra, Rasa, dan Raisa (Novellet)Where stories live. Discover now