Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu. Ini tentang Yoru. Lelaki nakal yang hidup sebatang kara. Ah, tidak. Itu terlalu berlebihan. Sebenarnya ia masih punya keluarga, namun tak ada yang peduli terhadapnya. Hanya diberikan tempat tinggal dan makanan. Tanpa diselipkan kasih sayang. Kamar tidurnya pun berada di bangunan lain. Di mana sebelumnya dijadikan kandang sapi. Sebelum hewan-hewan ternak itu dijual semua karena kebutuhan ekonomi yang sangat merosot kala itu. Tidak se-kejam itu. Sebab bekas kandang itu sudah direnovasi menjadi rumah yang hanya terdiri dari dua ruangan, yakni kamar tidur dan kamar mandi. Terlepas dari nasib malang Yoru. Itu bukanlah tampa sebab. Seperti yang aku jelaskan di awal. Yoru, si lelaki nakal. Nakal sekali. Jika saja bukan keluarga, mungkin Yoru sudah dibiarkan hidup liar sebagai seorang gelandangan. Akan tetapi, aku punya cerita menarik bersama lelaki nakal itu. Sekali pun tak terhitung berapa kali ia membuatku menangis. Ia adalah salah satu alasanku memahami makna hidup. Sekali lagi tentang angin. Kini lantai berdebu bekas telapak kaki Yoru hilang sudah.