Aksara Dan Suara

By khanifahda

1.5M 163K 6.7K

Bukan waktu yang singkat bagi Grahita Sembrani Pramonoadmodjo untuk menghapus bayang-bayang penghianatan cint... More

Jaladri
Rawi
Griya
Ludira
Sakwari
Samira
Udaka
Darani
Nirada
Wibana
Lenggana
Asta
Peningal
Brawala
Pakara
Pralapa
Kawur
Kaningaya
Samapta
Persudi
Kanin
Adanu
Lawya
Purwa
Mara
Hastu
Sangsaya
Weling
Kaharsayan
Samagata
Wiyoga
Asti
Balakosa
Smara
Mandrakanta
Darba
Soma
Adicandra
Sakanti
Balun
Adyuta
Abhipraya
Syandana
Gama
Jantaka
Nisita
Palar
Byuha
Locana
Nayottama
Agata
Gandring
Radinka
Ilir
Adhikari
Dayita
Adyatma
Wasana
'Naditya'
'Cundamani'
'Woro-Woro'

Mahatma

20.2K 2.4K 79
By khanifahda

"Bagaimana bisa aku nggak tahu jika mama sudah meninggal. Oh ya Tuhan. Anak macam apa aku ini?"

Terus saja perempuan berusia 45 tahunan itu menangis dengan gumaman penyesalan tiada henti. Sementara Grahita hanya terdiam duduk di samping mbok Yati.

"Maaf Mbak Cella, mbok sudah menghubungi Mbak, tetapi Mbak tidak bisa dihubungi. Mbok baru ingat kata ibuk dulu, Mbak pergi ke Afrika dan sulit dihubungi. Akhirnya mbok menyerah menghubungi Mbak untuk sementara waktu."

Perempuan cantik dengan rambut coklat itu hanya bisa menangis meratapi kepergian sang mama tanpa dirinya tahu. Bahkan setelah beberapa bulan, ia baru tahu. Mungkin jika ia tak ke Indonesia, ia tak akan tahu jika perempuan yang telah melahirkannya itu meninggal. Ia juga tak menyalahkan mbok Yati. Ia saja yang terlalu sibuk hingga lupa menghubungi sang mama.

"Aku berdosa banget, Mbok. Bahkan aku telah berjanji bakal pulang setelah bertahun-tahun tidak pulang. Anak macam apa aku ini?"

Kembali Marcella menangis tertunduk di samping kanan mbok Yati yang mengelus pelan punggung perempuan tersebut. Perempuan itu hanya mampu memberikan dukungan semampunya.

"Ibuk sudah bahagia di sana Mbak Cella. Ibuk sudah ketemu bapak di sana. Ibuk juga bilang rindu sama cinta sejatinya. Semua sudah takdir. Mbak Cella jangan berlarut sedihnya. Ibuk juga berpesan kalau dia pulang, artinya dia sudah bahagia, dia bakal ketemu sumber kekuatannya dulu,"

Kembali mbok Yati memberikan kata-kata penyejuk kepada Marcella yang menangis tersedu. Mbok Yati yang sudah berpuluh tahun mengabdi di keluarga oma sehingga perempuan itu tahu seluk beluknya. Memang benar, cinta seorang Shinta Soejanto untuk William Van Dirk bagaikan kisah cinta yang tak lekang dimakan oleh zaman. Perbedaan budaya hingga pertentangan tak menyurutkan cinta mereka berdua. Justru ikatan itu semakin kuat hingga mereka menua. Cinta seorang perempuan cantik berdarah Betawi itu abadi untuk sang suami, William Van Dirk yang benar-benar asli berdarah Belanda. Bahkan cinta mereka dibawa hingga ke liang lahat.

Sedangkan Grahita hanya bisa diam. Berada di kondisi seperti ini membuatnya rindu dengan sang oma. Ia rindu, ia rindu ucapan meneduhkan dari perempuan senja yang masih cantik itu.

Lalu Grahita mengangkat wajahnya. Ia melihat seorang laki-laki berdarah Turki-Serbia itu sedang menenangkan sang istri, Marcella. Sergei bahkan terlihat sabar menghadapi istrinya yang sempat histeris tadi.

Grahita memilih beranjak. Gadis itu memilih keluar ke teras dimana Gandhi berada. Laki-laki itu tak masuk dan masih menunggu Grahita di sana.

"Kamu balik dulu nggak apa-apa, Ndi. Terima kasih buat hari ini," ujar Grahita dengan suara pelan dan wajah yang bisa dikatakan tak baik-baik saja itu.

"Terus kamu balik ke rumah eyang gimana?" tanya Gandhi yang nampak tak yakin dengan gadis di depannya itu.

"Gampang nanti. Masih ada hal yang perlu aku selesaikan. Maaf ya," balas Grahita dengan senyum singkat untuk menyakinkan Gandhi.

Gandhi mengangguk dan tak bertanya lebih. Mungkin Grahita masih ada urusan yang harus diselesaikan. Peristiwa yang dilihat Gandhi tadi adalah urusan internal keluarga Grahita sehingga ia cukup melihat saja, tak perlu untuk tahu terlalu dalam lagi.

"Aku balik dulu ya? Jaga diri. Sampaikan salam buat yang lainnya,"

Grahita mengangguk dan Gandhi berjalan menuju mobilnya. Gadis itu menatap Gandhi hingga mobil laki-laki itu menjauh.

Grahita menghela nafasnya panjang. Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Niat hati ingin mengambil sejumlah sepatu dan baju, justru ia harus bertemu dengan sang mama. Entah takdir macam apa ini. Ia kira hidupnya akan berjalan sendiri-sendiri dari sang mama. Ia kira, pertemuannya 10 tahun yang lalu adalah pertemuan terakhir dengan Marcella. Grahita tak pernah berharap lebih untuk bertemu dengan sang mama secepatnya.

"Sudahlah Mbak Cella, ibu sudah tenang. Mbak istirahat dulu. Besok Mbak Cella bisa ke makam ibuk. Mbok mau masakin kalian. Kalian pasti lelah,"

Kalimat itulah yang Grahita dengar dari perempuan yang penuh kasih itu. Mbok Yati tersenyum padanya dan Grahita memilih masuk ke dalam kamarnya. Entah, ia rasanya belum siap untuk segalanya. Bahkan untuk sekedar menatap, rasanya begitu sulit.

Granita membuka gorden kamarnya. Mungkin ia harus bersih-bersih dan melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu sebelum ia kembali.

*****

Sehabis maghrib Grahita bersiap kembali ke rumah sang eyang. Entah mengapa ia seperti pengecut yang justru ingin kabur. Ia sudah bersiap dengan goodie bag, namun ada perasaan tak tenang di sana.

"Mbak Tata mau balik?" tanya mbok Yati ketika melihat Grahita keluar dari kamarnya dengan keadaan yang sudah rapi.

"Iya, Mbok," jawab gadis itu.

"Nggak sekalian nginep di sini aja, Mbak?"

"Buat apa, Mbok?"

Perempuan itu nampak menghela nafasnya. Lalu ia menghampiri gadis yang pernah ia rawat bersama dengan oma dulu.

"Mbak nggak pengen menyelesaikannya dulu? Mbok dapat pesan dari ibuk kalau seandainya nanti mbak Cella datang dan ibuk sudah nggak ada, kamu harus menyelesaikan semua masalah bersama mama Mbak dulu. Kata ibuk, cukup kalian saling menjauhnya. Ibuk membiarkan karena merasa kalian masih membutuhkan waktu yang tepat. Namun sekarang ini sudah saatnya ketika ibuk semakin menua bahkan ibuk sudah tiada,"

Grahita terdiam mendengar penuturan orang kepercayaan almarhumah omanya itu. Ia harus apa? Apakah ia harus kabur selamanya? Atau ia menghadapi sebuah kedilemaan yang menjelma sebagai boomerang baginya?

"Kalian butuh penyelesaian, bukan? Mencoba itu bukan hal yang buruk, Mbak Tata."

"Tapi Mbok?"

Perempuan itu kembali tersenyum, "Kamu belum mendengar semuanya dari mbak Cella 'kan?"

Grahita kembali terdiam dan berpikir. Ia bimbang, apakah ia menuruti egonya atau mematahkannya untuk sesuatu yang bahkan masih abu-abu? Lantas jika ia tak mematahkan ego itu, sampai kapan ia harus menunggu berdamai dengan masa lalunya?

Grahita perlahan mengangguk. Gadis itu kemudian mengambil gawainya dan langsung menghubungi sang opa jika dirinya menginap di rumah almarhumah omanya.

"Mbok mau pulang, mbok juga udah masak buat kalian, tapi maaf seadanya saja."

"Terima kasih banyak, Mbok."

Mbok Yati mengangguk, "Kalau begitu mbok pamit ya, assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam."

Grahita lalu memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya. Sementara ia belum melihat sang mama dan keluarganya. Hah, menyebut dengan keluarganya, membuat Grahita terkekeh miris.

Setelah meletakkan kembali tasnya di kamar, Grahita menuju meja makan. Setidaknya ia harus bersikap seperti biasanya.

Tak lama kemudian, datang sang mama beserta dengan suami dan dua anaknya. Mereka sangat canggung, bahkan Grahita menghindari kontak mata dengan mereka.

Mereka makan malam bersama, namun rasanya sangat dingin. Raga mereka ada di sana, tetapi jiwa mereka seakan tak ada di tempat tersebut.

"Ta?" panggil Marcella pelan dengan wajah sembab.

"Mama mau bicara sama kamu,"

"Penting, nak," pinta Marcella dengan penuh harapan.

Grahita lalu mengangkat wajahnya. Gadis itu menatap sorot sendu milik sang mama. Ah kapan terakhir ia memanggil mama ya?

Grahita ingin menolak, namun ia menangkap sorot mata penuh harapan milik mamanya. Sorot itu membuat Grahita harus merasakan sesak yang begitu dalam. Mengapa hidupnya harus dihadapkan dengan penyelesaian masalah di masa lalu?

Namun perlahan Grahita mengangguk, Marcella nampak tersenyum tipis di antara wajah sembabnya. Lalu sorot Grahita menatap Sergei, suami sang mama yang nampak tenang di samping sang istri. Grahita juga menatap Dimitri dan Hazal, saudara satu rahimnya. Dua remaja itu hanya diam, mereka seperti tak mau terlibat di sana.

Marcella lalu berdiri. Perempuan itu berjalan menuju kamar yang oma dulu tempati. Kini kamar itu ditempati oleh sang mama, sementara adik tiri Grahita menempati kamar tamu yang lebih kecil.

Grahita mengekori Marcella. Ia tak tahu mengapa sang mama mengajaknya masuk ke dalam kamar omanya.

Marcella duduk di samping ranjang. Lalu tangan perempuan cantik itu menepuk tempat di sebelahnya agar Grahita duduk di sana.

"Duduklah,"

Grahita mendekat dan duduk di sana. Namun gadis itu memberikan jarak.

Kedua perempuan berbeda generasi itu nampak membisu. Grahita lebih memilih diam, sedangkan Marcella nampak menghela nafasnya berkali-kali. Rasa sesak sehabis menangis masih tersisa hingga sekarang.

"Kamu pasti sangat marah, kecewa, dan benci sama mama," ucap Marcella pelan.

"Kamu pasti enggan untuk bertemu dengan mama. Kamu bahkan berharap kita tidak bertemu lagi,"

"Mama sangat paham bahkan mama malu untuk sekedar menatapmu, Nak. Tetapi mama bisa apa?"

"Seharusnya jika tidak bisa apa-apa, anggaplah tidak ada apa-apa," balas Grahita dingin.

Marcella menatap Grahita dengan pandangan sendunya. Sedangkan sang putri hanya menatap ke depan, lurus dan dingin.

Marcella lantas menunduk. Perlahan ia terisak pelan. Namun Grahita tetap bergeming.

"Nak, maaf, mamamu ini nggak bisa berkata-kata. Terlalu banyak luka yang kamu lalui. Terlalu banyak kesalahan yang mama perbuat, ya Allah,"

Marcella kembali menangis. Perempuan itu berusaha menguatkan dirinya. Ia harus kuat untuk menghadapi semua ini, termasuk putrinya.

Marcella lalu mengusap air matanya kasar, "Mama sampai lupa, bagaimana kabarmu?"

Grahita di tempatnya tersenyum miring. Namun ia enggan untuk menatap Marcella.

Tak kunjung mendapat respon sang putri, Marcella hanya bisa kembali mengeluarkan air matanya tanpa suara. Perempuan itu sangat paham dan tak menyalahkan Grahita. Semua ini memang salahnya.

"Aku teringat tentang sebuah kisah. Kisah dimana seorang bayi perempuan berusia 2 tahun yang harus menangis setiap malam karena merindukan ibundanya. Bayi itu hanya mengharap belas kasih, namun sayang, nasibnya mungkin begitu. Ia harus berdiri tegak layaknya karang di laut. Namun di waktu yang sama, ia telah hanyut digulung oleh ombak,"

Marcella tambah terisak di tempatnya. Rasanya bertambah sakit dan sakit. Mengapa ia seolah tak tahu kisah itu?

Grahita menatap ke arah sang mama dengan pandangan dinginnya, "Sang bayi itu, hanya berharap ia mendapat kasih sayang orang tuanya, bukan ego semata."

"Maaf," lirih Marcella kembali. Ia kembali terisak. Marcella bahkan melupakan lelah yang sudah menyiksanya.

"Maaf, Ta, maaf. Kisah kami begitu rumit hingga kamu menjadi korbannya," ucap Marcella.

"Pelik? Peliknya macam apa?" tanya Grahita seakan mempertanyakan semuanya dengan lantang.

"Bahkan kalian nggak ada yang peduli! Sekalipun jika saya sekarat, 'kan?" Grahita menatap sang mama dengan mata memerah.

"Pelik macam apa yang membuat seorang ibu tega meninggalkan anaknya? Pelik macam apa yang membuat seorang ayah mengabaikan anaknya dan memilih bersenang-senang dengan wanita lain? Pelik macam apa, Ma?!"

Grahita menekankan setiap kata di kalimatnya tanpa meninggikan suaranya. Ini terlalu sesak bila ia lepas semuanya secara spontan.

"Dari dulu saya hanya mengharap angin saja! Berharap kalian datang dengan wajah bahagia. Namun nampaknya hanya duka yang datang. Bahkan saya seperti yatim piatu."

Grahita memejamkan matanya dan air matanya mengalir begitu saja. Rasanya sakit ya Tuhan. Begitu batinnya menjerit.

"Maaf, Nak, maaf."

Kini Marcella mendekat dan mengambil tangan Grahita untuk digenggam. Perempuan itu menyesal sekali. Bahkan Marcella tak segan untuk menunduk di depan sang putri.

"Mengapa mama menunduk? Angkat wajah mama dan tatap saya, Ma," ujar Grahita tegas. Ia tak suka dengan cara seperti ini.

Perlahan  Marcella mengangkat wajahnya. Ia bertemu dengan Manik coklat Grahita yang menatap tajam ke arahnya. Namun ia tahu, tatapan itu adalah tatapan luka terdalam Grahita. Rasanya sangat menyakitkan.

"Jika Tuhan mengijinkan saya membenci dan balas dendam kepada orang tua saya, maka saya akan lakukan. Tetapi Tuhan sudah menginginkan hal lain. Seburuk-buruknya kalian, saya harus memaafkannya. Sulit? Sangat! Bahkan saya menganggap ini tak adil! Bagaimana bisa kalian yang berbuat tetapi saya yang harus merasakan?! Itu tidak adil bukan?"

"Tetapi saya sadar, jika Tuhan menyelamatkan saya dari jurang dosa yang amat dalam. Tuhan  masih baik 'kan sama saya? Bahkan saya harus memaafkan kalian sebagai orang yang membuat saya seperti ini."

Grahita mengusap air matanya kasar. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap sang mama.

"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa saya harus membenci kalian? Padahal kalian yang menjadi perantara saya berada di dunia ini. Menyedihkan sekali," lirih Grahita.

Grahita menatap sang dengan pandangan tegasnya. Namun bulir air matanya mengalir deras di pipi cantiknya. Ia kira hari seperti ini akan datang terlambat, namun rencana Tuhan siapa sangka?

"Saya bisa apa? Saya hanya makhluk Tuhan yang lemah," lirih Grahita. Ia tak kuasa untuk sekedar dendam kepada sang mama.

Marcella lalu memeluk sang putri dari samping dan kembali menangis. Dua perempuan itu banjir air mata malam ini.

"Kau boleh memaki mamamu ini, Nak, silahkan," ujar Marcella yang masih memeluk sang putri.

Grahita hanya menangis tanpa membalas pelukan mamanya. Gadis itu hanya menangis dalam keterpatungannya.

"Lebih baik mama beristirahat," ujar Grahita tanpa ekspresi. Marcella langsung melepaskan pelukannya dan menggeleng keras.

"Tidak! Mama ingin mengatakan sesuatu, mengatakan sesuatu yang belum kamu ketahui. Bahkan hal ini mungkin akan menyakitkan bagimu, dan-- mama,"

Grahita tersenyum tipis, ia menggeleng pelan. Ia tak mau mendengar apapun lagi. Walaupun ia tak begitu tahu mendetail alasan dibalik semua ini. Bahkan sang oma pun enggan bercerita. Perempuan lemah lembut itu tak mau membuat Grahita kecil dan remaja merasa tersakiti dalam lagi. Bagi oma, biarlah Grahita tahu dimasa mendatang nanti tentang bagaimana masa lalunya. Entah dari sisi Marcella atau pun Sadewa sendiri.

Grahita hanya paham jika ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya tanpa alasan yang jelas. Ia hanya hidup bersama dengan oma dan opanya. Bahkan keluarga Pramonoadmodjo juga tak banyak ikut campur di masa kecilnya dulu. Yang ia tahu, Grahita cukup menyedihkan ketika harus merasakan kehampaan tanpa figur orang tua. Ia hanya didik oleh oma opanya dengan penuh kasih sayang. Tetapi tetap saja, ada perasaan kurang dan sakit di sana. Ia masih ada orang tua lengkap, namun ia bagaikan anak yatim piatu. Justru ia mendapatkan kasih sayang dari orang lain.

"Nggak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas," balas Grahita pelan. Ia kelu untuk mendengar kisahnya sendiri.

.
.
.

Mahatma : Berjiwa Besar

Lama nggak nulis note,
Apa kabar kalian semua?

Semoga tetap menikmati cerita ini ya?

Yang mau kritik saran boleh nih, biar ada gambaran perbaikan buat ke depannya, merci🙇‍♀

Continue Reading

You'll Also Like

864K 75.1K 56
Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menjabat sebagai staff bidang Advokasi di Him...
1.1M 54.4K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
4.3M 477K 49
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
169K 10.1K 54
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...