Konsekuensi Mencintaimu

By Lucykezia_

384 54 14

Sudah berulang kali kukatakan aku mencintaimu untuk yang kesekian kali sederas hujan. Rasa itu seharusnya tid... More

P r O l O g
KM- 2 🦋
KM - 3 🦋

KM - 1🦋

112 14 8
By Lucykezia_

Kita adalah dua orang dengan hati yang berbeda. Aku yang terpikat, dan kamu yang memikat tapi tak ikut terikat.

🦋🦋🦋

Bindara pulang setelah dijemput lebih dulu oleh Ayahnya, Samuel. Sebelum sampai di rumah, mereka sempat singgah ke toko penjual kue cubit. Meski harganya terbilang cukup di kantong, tetap saja menurut Bindara kue cubit tak kalah enak dengan kue lainnya.

Bindara lebih suka dengan makanan yang sederhana, murah, tapi soal rasa tak mengecewakan.

Bindara melihat Bundanya yang tengah menyapu halaman depan, sementara Hanzel—Adiknya dengan semangatnya menghabiskan semangkuk piring berisi nasi dengan lauk yang tersedia.

"Binda pulang," ucap Binda sembari menyalimi tangan Bunda.

Bunda tersenyum. "Binda, nanti ada les, ya?" tanya Bundaku, Bunda dengan nama yang cantik. Sartika.

"Iya, Bunda. Kenapa? Bunda mau aku temankan beli donat?" tanya Bindara langsung teringat akan makanan favorit Sartika. Donat rasa strawberry dengan toping seres warna-warni di atasnya.

Sartika mengulun senyumnya. "Iya, sebelum kamu pergi les. Temankan Bunda, ya? Nanti Bunda yang antar kamu," ucap Sartika lalu meletakan sapu yang sedari tadi ia pegang.

"Siap, Bunda!" Bindara menghormat pada Sartika kemudian ditanggapi oleh kekehan geli oleh keduanya.

🦋🦋🦋


Bindara mengganti bajunya dengan pakaian rumah. Karena terlalu panas cuaca dini hari, ia berniat menghidupkan AC yang tersedia sejak lama di dalam kamarnya dengan warna serba hijau.

Menurutnya, warna hijau justru memberi kesan semakin hidup. Bindara sendiri, sangat menyukai warna hijau. Warna yang menurutnya pribadi warna paling alami. Warna yang membuatnya semangat dan tidak menyakitkan mata tiap kali ia memasuki kamar bernuansa ini.

Bindara menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Rasanya, tolakan dari Saganta tadi selalu saja terulang dalam benak.

Ia memejamkan mata, namun belum sampai semenit, notifikasi di ponselnya harus bergetar mengganggunya yang tengah membayangkan wajah Saganta.

Ia melihat notifikasinya. Ternyata dari Kalsa, sahabat lama yang masih berteman dengannya hingga kini. Juga tak lupa, Kalsa adalah teman sebangku Bindara.

Kalsa:

Binda!

Gawat!

Bindara merengut, menyatukan alisnya spontan saat penyakit menghebohkan Kalsa kambuh lagi. Selalu saja temannya itu seperti ini.

Kenapa, Kal?

Gue lupa kalau besok kita ulangan!  Malah gue lupa nyatet materinya.

Bindara menggeleng. Langsung mengerti akan maksud Kalsa, Bindara sengaja menangkap foto buku latihan miliknya tak luput dari kisi-kisi soal yang diberikan oleh guru mereka selepas bel istirahat tadi siang.

Ia menekan tombol send. Tak sampai lima detik, Kalsa membalasnya.

Makasih, Binda.

Bindara kembali menutup wajahnya dengan bantal  setelah selesai berurusan dengan Kalsa. Berulang kali Bindara mencoba untuk membiarkan Saganta begitu saja, tapi tetap saja tidak bisa.

Mencintai Saganta memang sulit, terlebih cowok itu yang tidak merespons kehadirannya dengan baik.

Sesulit ini konsekuensi Bindara dalam mencintai Saganta.

🦋🦋🦋


Seperti pada perbincangan sebelumnya, setelah selesai mandi tanpa berdandan, Bindara memilih baju untuk ia gunakan pergi les.

"Bunda, ayo pergi. Binda temanin beli donatnya." Binda mengunci kamarnya dari luar.

Sartika yang juga telah siap kini meletakan buku yang sebelumnya ia baca ke atas meja. Buku paduan memasak yang tak bosan untuk Sartika pelajari. Sartika hobi sekali mencari resep-resep baru dan iseng mencobanya beberapa kali. Untung saja lebih banyak berhasilnya dari pada gagalnya.

Hanzel menatap Bindara. "Kak Binda! Kak Bunda mau pergi les?" tanya Hanzel.

"Iya, kenapa? Mau ngejekin Kakak lagi dari luar jendela kayak kemarin?"

Hanzel tersenyum jahil. Tiba-tiba ia tertawa, teringat akan tingkah jahilnya sendiri yang dengan usilnya mengetuk-ngetuk jendela ruangan tempat les Bindara hingga ditegur oleh guru les.

Hanzel sudah berumur tiga belas tahun, tapi kadang tingkahnya masih saja seperti anak umur tiga tahun. Dasar, ABG. Anak Baru Gede.

"Hanzel, jangan keluar rumah, ya. Mama mau pergi sama Kak Binda. Baik-baik, ya, Sayang! Mama nggak akan lama, kok." Sartika menyusul Bindara yang sudah jalan ke arah mobil lebih dulu.

"Okey, Bubunda!"

🦋🦋🦋


Bindara turun dari mobil bersamaan dengan Sartika yang menutup pintu mobil. Mereka langsung membeli donat kesukaan Sartika. Bindara menemani Sartika hingga masuk ke dalam toko penjual banyak macam donat tersebut.

Tak sengaja, Bindara melihat Saganta sedang berjalan seorang diri. Dengan Airpods hitam di kedua telinga, gelang hitam miliknya, dan topi yang menghalang panas matahari.

"Bunda, tunggu di sini, ya." Bindara segera berjalan ke arah Saganta.

Tepat di sana, cowok itu yang hanya diam di pinggir jalan dengan menyenderkan kepalanya ke tembok di samping toko tersebut, Bindara berdiri di samping Saganta.

Bindara berjalan mendekati Saganta, tepat di sampingnya, Bindara memanggil Saganta pelan.

Alih-alih mendengar, Saganta malah seakan tidak mendapatkan kehadiran seseorang di dekatnya. Bindara terpaksa harus memanggil Saganta lebih keras lagi. Saat Saganta membuka salah satu Airpods nya, ia menyesal.

"Kenapa lo lagi?" Saganta berdecak.

"Kamu lagi apa di sini? Mau beli donat juga?" tanya Bindara.

"Gue di sini karena langitnya bagus." Saganta menoleh. "Bin, bukannya udah gue peringatkan buat jangan dekatin gue lagi? Apa lo nggak dengar dan penuturan gue kemarin kurang jelas?" Saganta mematikan sambungan musik dari ponselnya.

"Sa, tolong jangan begini." Bindara meremang.

"Gue bilang jangan dekatin gue, Bin. Atau lo harus siap dengan semua konsekuensinya,"

"Aku siap, Saganta."

Saganta menatapnya serius, bukannya semakin menjauh, Bindara malah semakin mendekat padanya.

"Kita dua kutub magnet yang sejenis, Binda. Yang jika didekatkan akan saling tolak menolak," tutur Saganta nadanya tidak terdengar main-main.

"Kamu salah, Saganta. Kita adalah dua orang dengan hati yang berbeda. Aku yang terpikat, dan kamu yang memikat tapi tak ikut terikat."

🦋🦋🦋


Setelah menemani Sartika membeli sekotak donat, Bindara kini menginjakan kakinya di depan bangunan les miliknya.

Untung saja ia tak terlambat, Bindara segera berlari menuju ruangan yang dipenuhi dengan remaja yang juga seumuran dengannya.

🦋🦋🦋


Setelah satu dua jam berlalu, hari sudah semakin sore. Bindara melihat arlojinya dan segera memesan drive ojek online dengan aplikasi yang sudah tersedua di fitur ponselnya.

Untung saja jaman sudah semakin canggih apalagi seputar hal teknologi. Jika tidak ada ojek online, sudah pasti ia akan merepotkan Samuel atau Sartika.

Bindara mendongak, langit sudah semakin gelap. Abu-abu sudah mendominasi permainan awan kali ini. Ternyata selama ia mengikuti bimbingan belajar tadi, cuaca memang semakin mendung.

Tidak lama menunggu, akhirnya ojek online datang membuat Bindara dengan sigap menaiki motor maticnya.

***
Hujan mengguyur kota Bandung ketika sore sudah menjelang malam. Binda tidak lagi mandi karena hari sudah terlanjut gelap, ia sudah pasti tidak diizinkan mandi terlalu malam.

Bisa sakit tulang kamu nanti. Begitulah kata Sartika tiap kali Bindara mandi terlalu malam.

Selanjutnya, jadwal malam hari untuk Bindara jadi ini adalah membahas materi yang akan dipelajari di ulangan harian esok. Sartika bertamu ke kamar Bindara. Bunda penuh perhatian itu membuatkan Bindara teh hangat dengan perasan jeruk kasturi yang menambah rasa asam.

"Belajar boleh, tapi jangan lupa jaga kesehatan juga. Isi tenaga, karena sukses butuh usaha." Sartika meletakan segelas teh hangat di atas meja belajar Bindara.

Bindara tersenyum manis. "Terima kasih, Bunda. Bundanya Binda memang selalu bisa mengerti Binda," ucap Bindara.

"Ya iya, dong! Ntar kalau Ibu Sumiati penjual mi sop yang bisa ngertiin kamu. Patut dicurigai, itu!"

Binda terkekeh kecil kemudian menyeruput secangkir teh manis yang masih hangat.

🦋🦋🦋


Saganta sibuk mencermati soal matematika yang tertera jelas di atas lembar kertas.

Saganta merupakan sosok orang yang sulit melupakan hal-hal menyakitkan dalam hidupnya. Termasuk pada hal yang membawanya sampai kepada perubahan di masa SMA.

"Sa, lo besok ikut kegiatan bersih-bersih lingkungan sekolah? Jam empat sore," tanya Nara, sekretaris kelas.

"Enggak."

"Kenapa? Jangan sampai lo kena marah sama wali kelas. Ntar lo yang kena imbasnya," ucap Nara.

"Semua orang juga tahu gue nggak suka keramaian, Nar," jawab Saganta jelas.

"Nggak usah sekolah kalau gitu, Sa," kata Nara. Ia cukup kesal dengan ucapan Saganta.

"Gue sekolah buat masa depan gue. Bukan buat orang-orang terdekat." balas Saganta mengisi kembali jawaban dari soal yang sempat teralihkan.


Continue Reading

You'll Also Like

345K 26.6K 23
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

3.7M 217K 27
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
639K 60K 45
𝐖𝐀𝐑𝐍𝐈𝐍𝐆 𝟏𝟖+ [ 𝗞𝘆𝗹𝗲𝗿 𝗦𝗲𝗿𝗶𝗲𝘀 𝟯 ] D'arcy, nama Tengahnya yang berarti kegelapan melambangkan kehidupannya. Tidak ada siapapun yang...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

311K 15.9K 46
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...