BRAINWASH (COMPLETED)

By SarahFransiscaaaa

15.7K 2.1K 205

Maira Zanitha Gunardi memutuskan meninggalkan Mama, Nenek dan Kakeknya di Surabaya, demi melanjutkan kuliah d... More

FIRST OF ALL
1. PAST LIFE
2. MEYAKINKAN DIRI
3. CARRY ALL THE WEAKNESS
4. KEBAHAGIAAN SEMU
5. FACING DESTINY
6. DEADLOCKED
7. WONDERSTRUCK
8. TITAH MAMA
9. ARGUED
10. UNPREDICTABLE
11. MEMANCING AMARAH
12. KEMENANGAN PALSU
13. BREAKING HEART
14. PERFECT LIFE
15. REVENGE
16. MENCURI PERHATIAN
17. LIER
18. HATERS
19. HOPE
20. A NEW DAY
21. MILD WAY
22. MOOD BREAKER
23. MY DAY
25. KEEP SPIRIT
26. MISI SELESAI
27. HOPELESS
28. SEHANGAT ARUNIKA
29. ANGKAT KOPER
30. SURPRISE
31. TITIK BALIK
32. ENDED UP (END)

24. TITAH ERLANGGA

346 56 5
By SarahFransiscaaaa

Oleh : WulandariImaniar

Seharian berada di pantai seperti kemarin, membuatku lebih semangat menjalani rutinitas kampus. Otak terasa lebih segar dan badan terasa lebih bugar tapi sebenarnya kaki lumayan pegal-pegal karena berjalan ke bukit Pengilon. Semalam saja bukan body lotion yang kuoleskan pada kaki, melainkan balsam dengan aroma lavender yang menenangkan. Sama seperti kemarin, hari ini pun aku masih menjadi anak yang manis. Aku menurut saja saat Papa memintaku berangkat ke kampus bersama Mama Ambar. Selama perjalanan, aku juga berusaha ceria dan lebih banyak tersenyum. Jika dengan Mama Ambar dan Evalia saja aku bisa bersikap baik, seharusnya aku juga bisa bersikap baik kepada Erlangga yang selama ini selalu membantuku. Masak hanya karena masalah kemarin hubungan kami jadi buruk.

Aku berjalan menuju Perpustakaan, tempat favorit Erlangga menunggu jam kuliah dimulai. Benar saja, kulihat Erlangga sedang memasukkan tas ke dalam loker. Aku segera berlari dan memanggilnya. Erlangga terkesiap, lalu menyambutku dengan senyum lebarnya.

“Hai, Ngga! Ada yang mau aku omongin,” ucapku to the point.

Erlangga urung memasukkan ransel pada loker, dia mengajak Maira berjalan ke kelas sambil berbincang.

“Aku minta maaf. Gara-gara aku, kamu jadi dapat hukuman dan diketawain sama teman-teman sekelas,” ucapku menyesal.

“Oh itu, haha. Santai aja, Mai.” Erlangga menepuk pelan puncak kepalaku. “Aku lihat kemarin kamu ada di live Instagram Evalia. Kamu kelihatan bahagia banget, tulus banget senyum kamu. Emm, Kayaknya kalian harus sering jalan-jalan begitu biar saling memahami gitu.”

“Aku tuh malu, tahu, sebenarnya. Tiba-tiba aja Evalia ngarahin ponselnya ke aku. Lagian, sebenarnya aku ingin ke sana bareng Papa dan Mamaku. Bukan sama mereka.” Tiba-tiba suaraku bergetar karena rasa sakit dan tangis yang sku tahan.

“Cerita, Mai. Jangan dipendam sendiri. Enggak bagus buat dirimu. Emm, enggak harus cerita sama aku, boleh sama siapa aja yang bikin kamu nyaman.” Lagi-lagi Erlangga menepuk perlahan puncak kepalaku.

Sikap dan perkataannya itu membuatku merasa sangat diperhatikan. Tanpa berpikir puluhan kali segera saja kuceritakan bagaimana sebenarnya keadaan keluargaku.

“Sebenarnya Papa sudah ninggalin aku sejak umurku satu tahun. Papa pergi dan menikah dengan wanita yang sudah menghancurkan keluargaku. Papaku menikahi wanita pelakor itu karena sudah ada Evalia di dalam rahimnya.”

Aku diam sejenak, menikmati semilir angin dan meyakinkan diri bahwa keputusanku menceritakan kepada Erlangga merupakan keputusan yang tepat.

“Setelah Papa dan mamaku bercerai, Mama yang menanggung kebutuhanku. Ya memang sih, Papa tetap sering mengirim uang buatku, tapi kata Mama jumlahnya cuma cukup buat jajanku seminggu.”

“Papa tetap mengunjungiku juga tapi makin lama makin jarang. Terutama waktu Evalia sudah lahir.” Aku menghela napas panjang sejenak. “Belum lagi perlakuan Papa yang enggak adil ke aku dan Evalia. Papa selalu belain Evalia, mengutamakan Evalia, dan enggak memahami perasaanku.”

Secara spontan, mulut ini lancar bercerita tentang kenangan masa kecil saat dicurangi Evalia sedangkan Papa malah membelanya. Juga kenangan-kenangan buruk lainnya yang tanpa sadar sudah menyesakkan dada hingga memaksa mata mengeluarkan bulir-bulir bening. Erlangga memang menanggapi ceritaku dengan diam, tapi tangannya sesekali mengusap punggung yang menenangkan.

“Makanya enggak salah dong kalau aku berusaha merebut kembali papaku. Sikapku ke Evalia dan Mama Ambar itu juga karena perlakuan buruk mereka padaku dulu.” Aku terus berbicara meski sudah berada di depan kelas.

Beberapa teman sudah masuk kelas, aku dan Erlangga pun mengikuti. Kami memilih kursi baris keempat tanpa berdebat. Karena biasanya kami suit dulu untuk menentukan duduk di baris keempat, tempat favorit Erlangga atau duduk di baris kedua andalanku. Bukan tanpa alasan aku langsung memilih kursi pada baris keempat. Aku memilih duduk di sini karena samping kiri kanan dan belakang sebagian besar cowok-cowok yang enggak peduli dengan perbincangan orang lain. Berbeda dengan lokasi duduk di barisan depan yang sering didominasi cewek-cewek. Kebanyakan dari mereka kepo, ada yang menguping dan ada juga yang terang-terangan ikut dalam obrolan. Nyebelin banget, kan?

“Aku jadi bingung nih kasih saran apa,” celetuk Erlangga sesaat aku mengakhiri cerita.

“Kamu mau berbagi telinga aja aku udah terima kasih banget loh, Ngga,” sahutku jujur.

“Aduh, ya jangan dong! Kalau telinga kananku kamu ambil, mau diganti apa? Batang pohon?”

“Iya, lumayan bisa dipakai buat nyantolin tas,” ujarku setuju, kami pun tertawa bersama.

“Banyakin istighfar kalau lagi marah, sedih, atau dapat perlakuan enggak enak. Selalu libatkan Allah, Mai. Terutama kalau mau ambil keputusan. Jangan gegabah, jangan sampai sikap atau pilihan yang kamu ambil cuma menguntungkan buat kamu tapi merugikan orang lain.”

“Semua orang punya hak bahagia. Kamu juga, tapi jangan sampai kebahagianmu itu bikin orang lain tersiksa. Kalau dulu kamu diperlakukan enggak baik sama orang, bukan berarti sekarang kamu balas berbuat buruk juga ke orang itu. Udah biarin aja, biar Allah yang membalas. Kamu cukup duduk manis dan tetap berbuat baik. Kalau kamu beruntung nih, Allah sendiri yang tunjukkin gimana hancurnya orang yang udah bikin kamu terluka.”

Kedua mataku berkaca-kaca mendengar perkataan Erlangga. Benar-benar enggak disangka kalau dia bisa bijak begini. Aku terdiam meresapi kembali tiap kata yang diucapkan cowok jangkung ini. Terlebih kerkataannya yang mengenai kebahagiaan. Kuulang dalam hati perkataan Erlangga itu. Jangan sampai kebahagiaanmu membuat orang lain tersiksa, begitu kan? Aku jadi berpikir arti kebahagiaan menurut Papa. Apa keberadaanku? Atau justru adanya Evalia dan Mama Ambar yang menjadi sumber kebahagiaan Papa?

***

Motor Erlangga sudah melaju menjauhi rumah. Segera kututup pintu pagar lalu menguncinya kembali. Aku kaget saat mendapati mobil Papa yang bersanding dengan city car Mama Ambar. Kok tumben Papa sudah pulang. Sambil berjalan cepat kumasuki rumah lalu berjalan menuju ruang tengah. Tempat favorit Papa saat di rumah. Kudapati Papa yang sedang berbincang di telepon. Dengan sabar aku menunggu Papa selesai menelepon. Setelah selesai, aku berjalan berjinjit lalu mengagetinya dari belakang.

“Door!” seruku agak berteriak

“Pintu!” sahut Papa tanpa rasa kaget sedikitpun.

“Kok enggak kaget sih, Pa?”

“Kan Papa sudah tahu kalau kamu pulang.”

“Papa tumben sudah pulang?” tanyaku lalu duduk di samping Papa.

“Nanti malam mau ke Bali,” jawab Papa sambil menaruh ponsel ke atas meja.

“Bali?!” tanyaku kaget. Maksud Papa kita semua ke Bali atau cuma Papa nih.

“Enggak usah ge-er, Papa enggak ajak kamu. Ada urusan kantor di sana.”

“Oh, aku kira ikut.” Aku pura-pura menyesal.

“Maira seneng ya ke pantai kemarin?”

“Kalau Papa?” kulempar pertanyaan kembali kepada Papa.

“Seneng. Seneng banget malah. Lain kali kita pergi lagi, ya.”

Binar  mata Papa cerah sekali saat mengatakannya. Efeknya membuat dadaku terasa sakit. Jangan-jangan benar, bukan keberadaanku yang Papa inginkan. Aku berpamitan sebelum ke kamar. Baru saja kuletakkan tas di atas meja belajar, tiba-tiba ponselku berdering. Ada foto Mama memenuhi layar.

“Halo, iya, Ma?”

“Kemarin ke mana saja? Susah sekali menelepon kamu,” protes Mama dari seberang.

“Memangnya pukul berapa Mama menelepon?”

“Gimana kelanjutan misi kita? Sudah sampai mana? Kamu dari pantai kan kemarin? Jadi begitu, ya. Giliran senang-senang kamu lupa sama Mama dan misi kita.”

Mama tahu soal pantai pasti dari melihat Instagram Evalia.

“Kamu jangan enak-enakan dan terlena dengan perlakuan mereka. Ingat Maira, mereka yang membuat hidup kita merana. Mereka yang membuatmu jauh dari Papa.”

Mama kembali berucap dengan nada marah. Aku hanya terdiam terlebih lagi saat Mama mengatakan bila seharusnya yang menikmati hari kemarin seharusnya kami berdua bersama Papa. Bukan Evalia dan Mama Ambar.

“Jangan goyah lagi, Mai. Fokus saja menghancurkan keluarga Papa.”

Aku menarik napas panjang, lalu duduk di sisi tempat tidur. Wajah bahagia Papa di ruang tengah tadi terlintas di pikiran, bersama perasaan bingung harus berbuat apa.






Continue Reading

You'll Also Like

25.7K 384 22
walker scobell imagines (the sturniolo triplets are your brothers though 🀭) these imagines are in your prospective, your also a famous actor
40.6K 3.7K 17
Hello readers! I am here with another work of mine. It will be short story as it is a part of writing contest held by saddahaqcontest. I have been al...
116K 3.7K 100
The perfect book of memes, oneshots and everything that has to do with Amaguji.
80.4K 3.4K 176
This story follows the early life of James also known by his street name Headshot or Shooter. James had an extremely rough childhood, one that turned...