Still Loving Him ( Po / End)

By Evie_Edha

9.7K 770 207

Bukan tentang orang ketiga, bukan pula tentang pelakor dan pebinor yang menjadi acuan. Hanya kisah seorang wa... More

🐬Cuap-Cuap🐬
🐬My Story🐬
🐬Prolog🐬
🐬Part 1🐬
🐬 Part 02 🐬
🐬 PO 🐬
🐬 Part 3 🐬
🐬 Part 4 🐬
🐬 Part 5 🐬
🐬 Part 6 🐬
🐬 Part 7 🐬
🐬 Part 8 🐬
🐬 Part 9 🐬
🐬 Part 10 🐬
🐬 Part 11 🐬
🐬 Part 12 🐬
🐬 Part 13 🐬
🐬 Part 14 🐬
🐬 Part 15 🐬
Part 20
🐬 Part 22 🐬
🐬 Part 28 🐬
🐬 Part 30 🐬
🐬 Part 31 🐬
🐬 Part 32 🐬
🐬 Promo 🐬

🐬 Part 29 🐬

460 28 2
By Evie_Edha

Still Love Him

Part 29

🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬



Alvie memandangi bunga Anggrek biru kesukaannya, di jam sembilan malam ini, ia masih berada di toko bunganya. Padahal, tokonya sudah tutup sejak satu jam yang lalu. Dias yang memang masih menginap di rumah Rakka membuatnya malas untuk pulang ke apartement. Ia merasa sepi jika tidak ada ocehan putranya di rumah. Ya. Sepi. Sangat sepi. Sejak dua hari yang lalu ia merasakannya. Entah di rumah, atau pun di tokonya. Entah kenapa. Hanya saja ... ia merasakan sepi itu sejak—Diaz tak lagi datang ke tokonya. Ya, sejak perdebatan di bawah guyuran hujan dua hari lalu, keesokan harinya Diaz tidak datang ke tokonya. Pun dengan hari ini dan juga bunga yang biasanya Diaz kirim untuknya jika Diaz tidak bisa datang. Apa Ia merindukan laki-laki itu? Tidak. Ia tidak merindukannya. Ya, hanya penasaran saja.

Teh panas yang ia beli sebelumnya kini tidak lagi panas, uap yang sebelumnya mengepul pun kini sudah tidak ada. Ia raih cangkir berisi teh itu dan ia teguk isinya. Masih sedikit hangat. Cukup mampu untuk membasahi tenggorokannya, dan—cukup menghangatkan tenggorokannya dari cuaca dingin di hujan yang mengguyur bumi sejak magrib tadi. Ah, musim hujan. Suka sekali menurunkan airnya tanpa memberi tahu. Tanpa melihat waktu. Akhir-akhir ini memang sering turun hujan di kota ini. Jarum jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Alvie meraih kunci tokonya, bangkit dan berjalan keluar dari toko. Setelah memastikan semua kaca tertutup, Alvie pun mengunci toko dan segera memasuki mobilnya.

Hujan masih setia bertamu malam ini. Malahan, sepertinya jatuh airnya lebih deras. Alvie segera menjalankan mobilnya agar ia bisa cepat sampai di rumah, mengingat waktu yang memang sudah sangat larut. Ia ingin segera membenamkan tubuh lelahnya pada air hangat beraroma lavender kesukaannya, merilekskan tubuh dan menenangkan pikirannya dari segala aktifitas yang sudah ia lalui hari ini. Setelahnya, ia mungkin akan memasak mie instan kuah yang akan ia tambahkan beberapa sayuran, sosis, baso, irisan cabai, saos sambal dan ... bubuk cabai mungkin. Ah, menu makanan tadi terdengar menggiurkan di telinga dan bibirnya. Tidak sehat memang. Hanya saja, menu itu terasa sangat pas bila di makan di keadaan seperti ini. Penat, dingin karena hujan. Bahkan, Alvie sempat mendesis membayangkannya. Seolah ia bisa merasakan kuah mie instan yang terasa pedas. Mantap sekali.

Namun, semua bayangannya itu buyar seketika ketika mobilnya tiba-tiba saja berhenti. Alvie sempat merasa bingung, berulang kali ia mencoba untuk menyalakannya kembali. Akan tetapi, percuma. Tidak bisa. Mobilnya tetap tidak mau menyala. Satu kesimpulan bagi Alvie. Mobilnya, mogok kembali. Ah, baru saja beberapa waktu lalu mobilnya ini masuk bengkel, tetapi sekarang sudah ingin masuk bengkel lagi. Ingatkan Alvie untuk segera membeli mobil baru dan segera mengrongsokan mobil ini.

Alvie meraih ponselnya, bermaksud untuk menghubungi bengkel langganannya. Namun, hal itu percuma. Alvie berdecak kala ponselnya mati karena kehabisan baterai. "Bagaimana ini?" tanyanya pada dirinya sendiri yang tentu saja tidak akan mendapatkan jawaban. Ia mencoba melihat ke luar jendela mobil, berharap melihan seseorang yang bisa ia mintai pertolongan. Akan tetapi, nihil. Tidak ada seorang pun yang bisa ia lihat. Hanya beberapa mobil yang lewat. Memangnya kau berharap apa, Vie? Waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam. Jamnya untuk beristirahat, memangnya siapa yang akan berkeliaran berjalan kaki di jam seperti ini? Sebentar, sebelas malam? Memangnya berapa lama ia mengendarai mobil tadi? Bukankah ia mengendarainya dengan cepat? Sepertinya ... itu hanya halusinasinya saja yang ingin cepat sampai di apartement.

Alvie memilih turun dari mobil. Saat di luar, ia baru sadar jika hujan terasa lebih deras dari sebelumnya. Baru sebentar di luar mobil, tubuhnya pun sudah basah kuyup. Alvie mencoba membuka kap mobilnya, segala tatanan mesin menyambutnya. Bodoh! Kau mana mengerti soal mesin Alvie? Tidak tahu ingin melakukan apa, Alvie pun tidak punya pilihan. Ia berdiri sedikit maju ke arah jalan, lalu berusaha menghentikan mobil yang kebetulan lewat. Akan tetapi, beberapa waktu ia lewati, beberapa mobil ia coba hentikan. Namun, tidak ada satu mobil pun yang mau berhenti. Di bawah guyuran hujan, Alvie menghela napasnya. Ia mundur dan menyandarkan tubuhnya pada badan mobil, wajahnya mendongak, membiarkan tetesan hujan jatuh di wajahnya. Tidak takutkan kau akan sakit Alvie?

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil berhenti di belakang mobilnya. Keadaan yang gelap, dan hanya cahaya lampu dari mobil itu yang tersorot, membuatnya tidak bisa melihat mobil yang baru saja berhenti itu dengan jelas. Hingga ia mendengar suara pintu mobil itu terbuka dan tertutup kembali. Sempat ada rasa khawatir dalam dirinya, takut-takut jika nanti dia adalah orang jahat. Bagaimana tidak, sedari tadi ia mencoba memberhentikan mobil tidak ada satu pun yang berhenti. Sekarang, hadirlah satu mobil dengan suka rela tanpa dipinta berhenti di dekatnya.

"Alvie?" Hingga suara familiar membuatnya terkejut, ada rasa sedikit penyesalan kenapa orang ini yang harus datang sebagai penolongnya. Namun, rasa syukur lebih besar ia ucapkan karena ia tidak perlu ketakutan akan kejadian yang menimpanya. Tak lama, sosok yamg ia kenali hanya dari suaranya itu pun terlihat berdiri di depannya. Menggunakan kaos biru polosnya, laki-laki itu pun juga tidak memakai payung yang membuat tubuhnya turut tertimpa air hujan. "Alvie, kamu kenapa ada di sini?" tanyanya lagi.

Dalam keadaan canggung dan menggigil, Alvie menjawab terbata. "Mm ... mobilku mogok lagi?" Alvie dapat melihat raut terkejut dari laki-laki di hadapannya.

"Kalau begitu, ayo masuk dulu ke mobilku." Tidak ada jawaban dari Alvie, hanya ada bibir yang bergetar karena rasa dingin yang ia rasakan. Bahkan ia pun memeluk tubuhnya sendiri. "Tidak ada orang lagi di sini, Vie. Lebih baik aku antar kamu saja." Di saat yang bersamaan, hujan kembali turun lebih deras lagi. Kali ini, angin pun turut menyertainya. Membuat laki-laki itu menarik Alvie untuk masuk ke mobilnya.

Setelahnya, ia turut menyusul untuk masuk. Untuk sesaat, keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil. Hingga laki-laki itu meraih jaketnya di bagian tempat duduk kedua dan memberikannya pada Alvie. "Pakailah! Setidaknya cukup mengurangi hawa dinginnya."

Ada sedikit keraguan dari Alvie, namun tak ayal ia menerimanya. Tidak ada pilihan lagi. Belum lagi, suara hujan dan angin dari luar mobil terdengar semakin keras. "Terima kasih, Diz," ucap Alvie dengan senyuman.  Ya, laki-laki itu adalah Diaz. Yang sejak dua hari lalu tak ia lihat keberadaannya.

"Sudah menghubungi bengkel?" tanya Diaz yang mendapat gelengan dari Alvie. "Kenapa?"

"Ponselku mati." Diaz mengangguk.

"Kalau begitu, biar aku hubungi bengkel langgananku saja." Alvie mengangguk, karena ia juga tidak mempunyai pilihan lain. Terlihat Diaz yang tengah mengotak atik ponselnya. Sesaat kemudian, Diaz menoleh padanya. "Sebaiknya, kita jalan sekarang. Hujan semakin lebat." Lagi, tidak ada sahutan yang ia berikan, dan Diaz pun langsung menjalankan mobilnya.

Keheningan terjadi di dalam mobil, keduanya hanya saling lirik dan menyimpan pertanyaan yang sama di pikiran mereka. "Kamu dari mana? Kok jam segini masih di jalan?" Diaz yang sejak tadi merasa penasaran akhirnya mengutarakan pertanyaannya.

"Dari toko," jawab Alvie singkat.

Mata Diaz membulat, merasa terkejut dengan alasan Alvie. Ini sudah hampir tengah malam, dan Alvie baru pulang dari toko? "Dari toko?" tanya Diaz dengan nada yang jelas akan rasa terkejutnya, dan Alvie hanya mengangguk sekali. "Jam segini? Toko kamu sekarang tutupnya lebih malam?"

Alvie menoleh dan menggeleng. "Tidak, toko tutup seperti biasa. Hanya saja aku sedang malas pulang. Dias masih menginap di rumah Rakka." Diaz hanya mengangguk. Hening kembali. Tidak ada percakapan lagi. Suara hujan yang semakin deras di luar mobil pun tidak mampu menyaingi keadaan hening di antara keduanya.

"Kamu sendiri ... dari mana?" Alvie yang kali ini bertanya. Satu sudut bibir Diaz menarik seulas senyuman, tetapi hanya sekejap. Diaz tidak ingin Alvie melihatnya. Alvie tidak boleh tahu jika dia merasa bahagia karena pertanyaan Alvie. Bisa dikira berlebihan nanti dirinya.

"Aku dari Malang. Sejak kemarin lusa ada pemotretan di sana," jawab Diaz, tidak ada sahutan dari Alvie membuat Diaz melirik sekilas. "Sebenarnya besok baru pulang. Tapi karena pekerjaan sudah selesai, aku pulang duluan. Tidak tahunya aku malah terjebak hujan."

"Seharusnya kamu memang pulang besok saja biar tidak terjebak hujan." Alvie berucap tanpa menoleh pada Diaz.

"Kalau misalnya aku pulang besok, aku tidak akan bertemu kamu yang saat ini membutuhkan pertolongan." Tidak ada jawaban dari Alvie, hingga keheningan yang kembali terjadi.

Terpaan angin kencang mulai terasa, hujan semakin deras turunnya. "Vie, sepertinya kita tidak bisa langsung ke apartement kamu, hujan semakin deras," ucap Diaz yang mulai memelankan laju mobilnya. "Apartementku tidak jauh dari sini, sebaiknya kita berhenti dulu."

Tidak ada sahutan dari Alvie, Diaz meliriknya sebentar lalu merutuki ucapannya barusan. "Kalau kamu tidak—"

"Tidak masalah," ucap Alvie yang memotong ucapan Diaz. Di tempatnya, Diaz yang masih belum percaya akan ucapan Alvie tampak mengerjap beberapa kali. Mencoba mencerna agar apa yang baru saja ia dengar tidak lah salah. Sesaat kemudian, senyum terukir di wajahnya terbit kala ia sudah yakin dengan apa yang ia dengar.

Sedangkan Alvie, ia pun membenarkan ucapan Diaz. Mengendarai mobil di keadaan cuaca yang buruk seperti ini memang lah berbahaya. Belum lagi, keadaan keduanya yang dalam keadaan basah dan harus segera berganti pakaian dengan pakaian yang kering. Jika tidak, bisa-bisa mereka akan sakit. Hujan pun tidak bisa diprediksi akan sampai kapan turunnya.

Diaz memarkirkan mobilnya di basement apartemennya. Ia membantu Alvie untuk turun dari mobil. Keduanya menaiki lift dalam keadaan hening, Diaz yang merasa bingung harus memecah keheningan dengan apa, dan Alvie yang mencoba menahan sekuat tenaga tetap tenang di samping Diaz. Hingga saat lift sampai di lantai apartement milik Diaz, keduanya keluar tetap dengan keheningan.

Diaz membuka pintu apartementnya, aroma maskulin menyambut Alvie. Ia memasuki apartement dengan ragu. "Di sini kamarnya cuma ada dua. Satu kamar yang biasa aku gunakan, sedangkan yang satunya aku rubah dan aku pakai sebagai tempat kerjaku," jelas Diaz saat Alvie tampak mengamati apartemennya.

"Apartement kamu bagus, rapi." Alvie berucap dengan sedikit senyuman. Bagaimana pun, dia sudah ditolong oleh Diaz. Tidak mungkin, kan dia harus bersikap acuh pada laki-laki itu?

Mendengar ucapan Alvie, Diaz tersenyum. "Terima kasih," ucapnya dengan menggaruk belakang kepalanya. Ia tampak salah tingkah di depan Alvie. "Ah, iya. Kamu bisa menggunakan kamar mandi yang ada di kamarku. Biar aku yang di sebelah." Diaz berjalan ke arah kamarnya dan membuka pintunya, menampakkan keadaan kamarnya yang memang selalu tertata rapi. Tidak selalu, karena sebenarnya keadaan apartementnya rapi karena ia tidak berada di tempat. Yang otomatis akan ada seseorang yang datang memang Diaz tugaskan untuk membersihkannya.

"Mm ... nggak papa aku pakai kamar kamu? Atau aku di sebelah saja?" tanya Alvie memastikan. Kamar adalah tempat yang privasi bagi pemiliknya. Bagaimana mungkin Alvie akan memasuki kamar Diaz.

"Tidak, tidak. Pakai kamar mandi sini saja." Sekuat tenaga Diaz meminta Alvie untuk menggunakan kamar mandi di kamarnya. Bukan apa-apa, hanya saja—

"Ah. Baju kamu basah, ya? Sebentar." Diaz mengisyaratkan Alvie untuk mengikutinya, Diaz membuka lemari pakaiannya, ia tampak memilih baju dan celana. Tak lama, sepasang pakaian sudah ada di tangannya. "Adanya baju aku.  Nggak papa, ya? Aku tidak punya baju perempuan." Diaz memberikan pakaian yang ada di tangannya pada Alvie. Sebuah kemeja besar dan sebuah celana training yang Diaz ambilkan.

Alvie menerimanya. "Nggak papa. Wajar saja kalau tidak ada pakaian perempuan. Kalau ada, aku malah bingung. Mengingat kamu yang belum menikah," ucap Alvie dengan tawa kecil, tawa yang turut menular pada Diaz.

"Lalu ini ...," Diaz kembali membuka lemari pakaiannya, sebuah handuk yang kali ini Diaz raih. "Ini handuk untuk kamu mandi. Masih baru kok."

Alvie kembali menerimanya. "Terima kasih ya, Diz. Maaf aku merepotkan kamu."

"Tidak. Sama sekali tidak." Keduanya saling melempar senyum. "Kalau begitu, aku juga akan mandi di sebelah." Alvie mengangguk. Diaz meraih baju dan handuk yang akan ia pakai.

Diaz keluar dati kamarnya dan memasuki ruangan yang ia buat sebagai ruang kerjanya. Diaz menghela napas dalam saat ia sudah berada di dalam ruangan, ia memandangi deretan foto yang ia pajang dan baru saja cetak yang ada di ruangan ini. "Bagaimana aku akan membiarkan Alvie masuk ke sini," gerutunya. Ya, tidak mungkin. Bisa syok Alvie saat melihat deretan fotonya dan juga putranya berada di sini. Diaz menjadi berpikir, apakah ia mempunyai kelainan melakukan ini? Diaz menggeleng, saat ini yang harus ia lakukan adalah mandi. Agar ia bisa terhindar dari sakit.

🌷🌷🌷


Saat Diaz keluar, tampaknya Alvie belum selesai mandi. Diaz memaklumi, karena setahu info dari Yanwar, perempuan kalau mandi memang banyak ritual yang harus dilakukan. Diaz pun memilih membuat teh jahe hangat untuk menghangatkan tubuh keduanya yang baru saja terkena hujan. Diaz membawa teh jahe untuk Alvie, ia mengetuk pintu saat akan memasuki kamarnya sendiri. Mengingat ada Alvie di dalamnya. Takutnya, Alvie sedang mengganti pakaiannya.

"Masuk!" Seruan Alvie dari dalam membuat Diaz berani membuka pintu kamarnya. Diaz sempat terkejut saat mendapati Alvie yang sudah berganti pakaian menggunakan kemejanya. Bukan apa, Alvie hanya menggunakan kemeja yang diberikan Diaz tanpa memakai celana trainingnya. Memang iya, kemeja Diaz tampak besar di tubuh Alvie. Membuat tubuh itu terlihat seperti tenggelam. Terlihat lucu dan ... sexy. Diaz menggeleng, ia mengangkat gelas yang ada di tangannya menunjukkan pada Alvie. "Aku buatkan kamu teh jahe."

"Iya, letakkan saja di meja," ucap Alvie yang tampak masih sibuk dengan rambut basahnya yang sedang ia keringkan dengan handuk.

Saat Diaz sudah meletakkan tehnya di atas meja, Diaz kembali menatap Alvie. Niatnya hanya sebentar, tetapi melihat Alvie yang sepertinya kesakitan membuat Diaz menjadi penasaran. "Kamu kenapa, Vie?" tanya Diaz akhirnya.

"Ini. Handuknya nyangkut." Alvi tampak mencoba melepaskannya. Sangat susah. Diaz berjalan mendekat, mencoba untuk membantunya. Rupanya ada serat handuk yang menyangkut pada anting-anting Alvie.

"Sini aku bantu." Diaz mulai membantu Alvie melepaskan antingnya yang tersangkut dengan handuknya. Agak susah, tetapi Diaz dapat melakukannya. "Selesai." Tidak ada jawaban dari Alvie, membuat Diaz menoleh dan mendapati Alvie tengah memandangnya.

Diaz pun menjadi sama, terpaku pada wajahnya dan wajah Alvie yang ternyata berjarak sangat dekat. Tangan kanan Diaz yang masih memegang anting Alvie kini beralih menangkup separuh pipi Alvie. Saling terpaku akan pandangan mata yang menghunus, mengunci satu sama lain. Hingga entah sadar atau tidak kini Diaz mengikis jarak. Alvie menyadarinya, hanya saja entah kenapa ia tidak mencoba untuk menjauhkannya. Mendekat, semakin mendekat, deru napas hangat dapat mereka rasakan, membuat kedua pandangan mata mereka beralih pada bibir di hadapannya. Saat itulah, tak lama kedua bibir itu telah menyatu, berpaut, hanya menempel tidak lebih.

Sesaat kemudian, Diaz mulai memberikan kecupan lembut. Alvie hanya diam, tidak bergerak atau mengikuti tarian bibir Diaz. Hanya diam—menikmati. Ya, Alvie tidak munafik untuk mengatakan bahwa ia tidak menikmatinya. Satu tangan Diaz meraih pinggang Alvie, merapatkan tubuh keduanya. Ciuman Diaz mulai terasa menuntut, saat itulah Alvie mulai tersadar. Tangannya terangkat dan mengepal di depan dada Diaz. Menahannya mengisyaratkan Diaz untuk berhenti. "Diz," panggil Alvie dengan suara serak.

Berhasil, ciuman itu pun terhenti. Membuat Diaz memandang Alvie sayu. Akibat ciuman Diaz sebelumnya yang sedikit kasar, napas Alvie terlihat sedikit terengah. Diaz menjadi merasa bersalah. Ia menyatukan keningnya dan kening Alvie, kali ini kedua tangan Diaz lah yang menangkup wajah Alvie. "Maaf," ucap Diaz lirih. Entah setan dari mana datanganya, kali ini Diaz dengan berani mencium kening Alvie. Sebentar. Ya, hanya sebentar.

"Maaf," ucapnya lagi. "Sebaiknya kamu istirahat. Ini sudah larut." Diaz pun berputar, siap melangkah keluar dari kamar.

"Diz," panggil Alvie. Diaz yang dipanggil menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Alvie. "Ka—kamu mau tidur di mana?"

"Di luar. Di sofa."

"Apa ... tidak sebaiknya aku saja yang tidur di sofa? Ini, kan apartement kamu?" Alvie menautkan kedua tangannya. Merasa tidak enak kepada Diaz.

Diaz terkekeh. "Aku tidak mungkin setega itu sama kamu, Vi." Diaz menggeleng. Baru saja Alvie akan mengucapkan sesuatu, Diaz sudah memotongnya terlebih dahulu. "Sudah. Lebih baik kamu minum teh jahenya agar badan kamu hangat. Terus kamu tidur. Biar besok aku antar kamu pulang." Setelahnya, Diaz pun keluar dari kamarnya sendiri. Menyisakan Alvie yang menatap pintun tertutup itu dalam diam.

Alvie mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang, menggigiti ujung kukunya merasa bodoh dengan apa yang barusan ia lakukan bersama Diaz. Ia menoleh, menatap gelas berisi teh jahe buatan Diaz. Alvie memilih bangkit dan meminumnya. Rasa hangat menyapa tenggorokannya saat ia meminum sedikit teh itu. Enak, membuat Alvie  segera menghabiskannya. Benar, tubuhnya pun memang menjadi hangat. Akan tetapi, ia tidak merasa ngantuk. Ia mengedarkan pandangannya ke isi kamar Diaz, melihat-lihat apa saja isinya. Hingga sebuah rak buku kecil mencuri perhatiannya. Alvie mendekatinya, meraih satu buku yang menarik baginya dan membawa buku itu ke atas tempat tidur Diaz. Alvie bersandar di kepala ranjang dan memulai membaca buku itu.

Cukup lama Alvie bertahan pada buku di tangannya. Hingga rasa kantuk pun menyerangnya. Ia mengalihkan pandangannya pada jam dinding yang menunjuk angka satu. Sudah dini hari rupanya. Pantas saja ia mulai mengantuk. Ia pun meletakkan kembali buku itu pada tempatnya. Saat ia akan menyiapkam diri untuk tidur, ia mendengar suara petir menyambar. Rupanya, hujan masih turun sejak tadi. Melihat itu, Alvie teringat akan Diaz yang tertidur di sofa. Apa dia tidak kedinginan? Mendekati pintu, Alvie membukanya. Dia dapat melihat Diaz yang tertidur di sofa dengan tangan bersedekap. Seolah Diaz tengah memeluk dirinya sendiri. Pasti kedinginan.

Alvie segera meraih selimut dan membawanya kepada Diaz. Ia selimuti tubuh kekar yang sudah terlelap itu, Tidak masalah jika ia tidur tanpa selimut, karena ia merasa kamar Diaz menggunakan penghangat ruangan. Ia bisa rasakan saat ia keluar dari kamar. Ruangan ini, terasa lebih dingin di tubuhnya. Alvie menyempatkan sedikit waktu untuk menatap wajah terlelap Diaz. "Ganteng. Masih seperti dulu," gumam Alvie karena tidak ingin diketahui oleh Diaz. Setelahnya, Alvie segera pergi dari sana, menutup pintu kamar Diaz dan segera menyiapkan diri untuk tidur.

Tidak diketahui Alvie, mata Diaz terbuka saat pintu itu sudah tertutup sempurna. Diaz mengulas senyum saat menyadari ucapan Alvie beberapa waktu lalu. Memang, ia belum tidur sedari tadi. Jujur saja ia merasa kurang nyaman saat tidur di sofa, sehingga ia pura-pura tertidur ketika mendengar suara pintu terbuka. Apalagi, saat ia mendengar ucapan Alvie barusan. Sepertinya, malam ini ia akan bermimpi indah. Saat itulah, bayangan ia mencium Alvie tadi terbayang. Membuat Diaz memegang bibirnya sepontan. Ingin ia berteriak, tetapi itu tidak mungkin. Akhirnya, ia memilih berteriak tanpa suara. Masih memegang bibirnya, Diaz mulai melelapkan tubuhnya. Bersiap untuk bermimpi indah karena ada sosok bidadari si kamarnya.


🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬

M

asih pagi
2980 kata

Yok lah vote
Komen
Follow Ig dan WP
😊😊😊😊😊



🐬Salam🐬
🌷 EdhaStory🌷
💘💘💘💘💘

Continue Reading

You'll Also Like

15.5K 1K 75
#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat s...
6.5M 329K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
4.8M 46.1K 7
Arletta memergoki sepasang murid tengah bermesraan di Sekolah, yang ternyata adalah Sang Ketua OSIS, Elang Aldrich Altar. Gara-gara kejadian itu, Ela...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.βžβ–«not an...