THE CHOICE✔

By msvante

521K 77.1K 27.9K

[COMPLETED] 'Tidak boleh ada ponsel saat jam belajar. Terlebih kau masih dalam kelas detensiku, Nona.' ©️msva... More

Prologue
Part 1. Club
Part 2. Angel
Part 3. Ssaem
Part 4. Punishment
Part 5. Quiet
Part 6. Speak
Part 7. Accept
Part 8. Day One
Part 9. Talking with You
Part 10. Bad Day
Part 11. Bad Night
Part 12. Welcome to Jeju
Part 13. Day One Jeju
Part 14. Day Two Jeju
Part 15. Last Day Jeju
Part 16. One Bad Day
Part 17. Complicated
Part 18. What are You Doing
Part 19. Comeback
Part 20. Evacuate
Part 21. Class
Part 22. Strange Days
Part 23. Hoobae
Part 24. Dinner
Part 25. Mrs. Oh
Part 26. Shirt
Part 27. Night
Part 28. After
Part 29. Papa
Part 30. Until When
Part 31. Cute
Part 32. Family
Part 33. Home
Part 34. Breakfast
Part 36. Lose
Part 37. Jealous
Part 38. Fall
Part 39. Door
Part 40. Chaos
Part 41. Yuri
Part 42. Gone
Part 43. Negotiation
Part 44. In the Car
Part 45. Her
Part 46. Parasyte
Part 47. Fed Up (Muak)
Part 48. Talk
Part 49. Let Go
Part 50. Mama
Part 51. congratulations
Part 52. Criminals
Part 53. the choice
Part 54. kehidupan masing-masing
Part 55. Swiss
Part 53. The Truth
Part 54. Ending
Epilogue
Epilogue II
Epilogue III

Part 35. Coffee

8.8K 1.3K 607
By msvante

Jam menunjukkan pukul tiga lebih empat puluh enam menit—dini hari ketika suara nyaring dari ponsel gadis itu berbunyi. Sepertinya lupa untuk mengubah ke mode silent sebelum nyenyak ke peraduan di bawah purnama.

Sementara di belahan benua lain, seorang pria mengenakan piyama berpegang pada terali besi balkon hotel, berhadapan langsung dengan menara Eiffel yang menjulang tinggi dihiasi kelap kelip lampu, tengah mengusak rambutnya frustasi.

Tak biasanya ia diabaikan.

Gadisnya bukanlah seorang yang mudah merajuk atau mempermasalahkan hal kecil. Tak mungkin pula marah tanpa alasan. Memorinya mencoba menilik dan mundur beberapa waktu ke belakang. Dirasa tak ada yang salah—tak ada yang kurang.

Jika ia pergi tanpa pamit, itu hal yang biasa. Jika ia tak bisa memberi kabar berhari-hari, itu hal yang biasa. Jika ia hanya sesekali bisa bersapa, itu hal yang biasa. Jika ia tiba-tiba muncul setelah kembali, itu hal yang biasa.

Sekarang ia sedang punya waktu dan tak peduli perbedaan waktu, biasanya gadis itu akan selalu menyambut dirinya. Tempatnya untuk pulang sekalipun ia melangkah begitu jauh, selalu.

Park Jimin masih berusaha menerka sambil menduga-duga apa yang terjadi. Jarak yang jauh menjadi penyebab utama tangan tak bisa segera bertaut, bibir tak bisa bertanya.

Mumpung ia ada waktu, mumpung ia bisa memberi kabar karena bagaimanapun ia begitu rindu. Nyaris tak bisa menahan lagi, jemarinya lantas mencari nama yang ia kira bisa membantu.

Kim Taehyung.

Sekali ia menekan tombol hijau di layar ponsel dan merasa lega ketika terdengar dering menandakan panggilannya masuk. Detik berlalu namun tak kunjung ada jawaban. Sebenarnya wajar mengingat perbedaan waktu Paris dan Seoul berjarak delapan jam. Seoul delapan jam lebih cepat yang artinya sekarang masih dinihari dan sewajarnya semua orang sedang terlelap.

Tetapi Jimin mengabaikan itu. Rindunya kian menumpuk dan rasa cemas tak bisa ia abaikan begitu saja. Tak peduli pula jika sahabatnya akan marah karena diganggu, yang jelas ia hanya ingin mengetahui keadaan gadisnya dan meminta penjelasan akan panggilannya yang tidak mendapat respon, sejak ia mengirimkan pesan tadi siang.

Entah kali keberapa Jimin menekan tombol hijau sambil sesekali menoleh was was ke belakang—memastikan istrinya masih berada di kamar mandi.

"Taehyung—" Refleks bibirnya berteriak lebih lantang kala dirasa panggilannya akhirnya mendapat respon. Lega sekali seperti mendapat tetesan air di tengah gurun.

Tak ada suara kecuali nafas dan deheman serak yang ia yakin sekali sebab pria itu baru kembali dari alam bawah sadarnya. "Tae—ini aku, Jimin."

"Sialan! Aku tidak buta atau amnesia. Kau tidak tau sekarang di Seoul jam berapa? Dasar pengganggu!" Suara serak dan berat memenuhi alat canggih yang melekat di daun telinga. Wajar bersikap seperti cranky pada anak kecil karena tidurnya terganggu. Jimin mengerti.

"Iya, maaf mengganggu, Tae. Tapi—boleh minta tolong. Kekasihku—maksudku, Nara tidak membalas pesanku sejak siang. Biasanya dia tidak bersikap demikian. Apa dia sedang sibuk, atau ada masalah? Tolong, bro. Bantu aku, minta dia menghubungiku."

Tak ada respon dari sebelah kecuali suara nafas yang Jimin tahu sekali bahwa Taehyung mungkin entah merasa kesal—atau mengantuk—atau malas, tetapi meski tak enak hati, Jimin ingin mengesampingkan itu sekarang.

"Tae—"

"Kau tau betapa bajingannya dirimu, Park Jimin! Kau sedang bersama istrimu dan malah mencari perempuan lain. Berapa kali kukatakan, aku membantu membiarkannya untuk tinggal di tempatku bukan berarti aku mendukung kalian. Itu hanya atas nama kemanusiaan. Meski kau sahabatku tapi kuharap kau tau diri untuk hal ini. Aku tak ingin terlibat dalam masalah perselingkuhanmu. Urus sendiri!"

Seketika panggilan mati secara sepihak.

Jimin menahan emosi yang rasanya ingin meluap sebab pertolongan satu-satunya tak mau membantu. Tangannya terkepal sembari pikirkan cara lain untuk bisa mendapat kabar dari sang kekasih.

"Sayang?"

"Ya, Sayang."

"Sedang bertelepon, dengan siapa?"

"Taehyung."

"Ah, astaga. Bukankah di sana masih dini hari?" Raut tanya sang isteri kini terlihat jelas saat tubuh ramping itu mendekat dengan baju tidur satin berwarna peach dan handuk yang melilit di kepala. Melepaskan lilitan itu dan melempar handuknya sembarang ke sebuah sofa berwarna emas.

"I-iya. Sepertinya dia belum tidur karena bekerja. Kami bercakap sebentar."

Beruntung Jimin menggunakan alasan yang masuk diakal. Pun fakta seperti itu benar pernah terjadi.

"Hmm—masih tak berubah rupanya pria kaku yang satu itu. Kuharap dia segera mendapat jodoh." Yuri tersenyum, manis sekali sembari sekarang berdiri tepat di sebelah suaminya. Memaku pemandangan menara Eiffel yang katanya mampu memberikan sihir cinta dan seketika rasa yang berada di dalam dadanya membuncah.

Perasaan teriris menyempil di antara buncahan itu, menatap Jimin dari sisi samping dan tersenyum miris—lalu menutupi itu dengan tangan yang naik membelai pipi sang suami.

Benarkah Jimin tak akan pernah bisa menatapnya?

Benarkah Jimin tak akan pernah bisa berada terus di sisinya?

Yuri lantas membawa turun tangannya dari pipi Jimin. Bergerak lembut ke belakang—arah punggung, mendekatkan kepalanya ke dada pria Park itu sampai menempel. Mendengarkan debaran jantung dari sosok yang begitu ia puja. Hangat, rasanya begitu hangat.

Ia menyukai ketika mereka berada di Paris. Waktu Jimin sepenuhnya hanya untuknya, berada di sisinya nyaris sepanjang waktu. Sejak bangun tidur hingga akan terlelap kembali. Jimin tak pernah berada di luar jangkauannya.

Mereka nyaris tak pernah bertengkar, berbeda seperti di Seoul dimana mereka sering terlibat konflik meski hanya karena masalah yang begitu kecil. Tentu karena pada perjalanan kali ini gadis itu banyak menekan ego sendiri. Lebih kalem—jauh lebih kalem dan memberi perhatian yang begitu banyak pada Jimin. Menuruti hampir seluruh keinginan lelaki itu. Menanyakan seluruh hal yang bisa ia lakukan sampai hal terkecil bahkan memijit kakinya setelah mereka berdua kembali ke hotel.

Hal yang baru bagi pasangan itu.

Masih dalam posisi yang sama—dimana kepalanya menempel pada dada bidang Jimin, Yuri tersenyum tanpa Jimin bisa melihatnya.

Tadi malam, skenarionya berjalan begitu sempurna. Mereka sedang berhubungan suami istri setelah tipsy sehabis pulang menikmati anggur merah di sebuah bar di kota romantis itu. Dirinya sengaja menyalakan panggilan dari ponsel suaminya ke sebuah nomor asing yang sudah ia tahu jelas siapa pemiliknya. Persis saat Pria Park—suami kesayangannya itu tengah menghentak dan desahan mereka berdua bersahutan, lalu Jimin menyebutkan namanya dan begitu pula sebaliknya. Tentu malam yang begitu panas. Hatinya puas ketika panggilan dimatikan sepihak. Bahkan ia tak kesulitan untuk menghapus panggilan keluar sebab sang suami langsung pulas terlelap dengan tubuh telanjang sehabis menggagahinya.

Di sisi lain, ia teringat pada seseorang yang berhasil memecah fokusnya beberapa saat ke belakang. Kim Taehyung—pria yang ia cium tanpa sebab di malam sebelum kepergiannya ke Paris. Pipinya entah mengapa tiba-tiba panas mengingat kembali pernyataan bahwa pria itu menyukainya sekian lama.

Tetapi realita menyadarkan ketika suara dengkuran halus dan nafas yang panas menyapu pipinya. Park Jimin—pria yang ia sukai sejak masa sekolah dan kini sudah menjadi suaminya, lalu Kim Taehyung—pria yang cintanya bertepuk sebelah tangan sejak dulu dan menyimpan rasa hingga saat ini. Oh Tuhan, Yuri merasa bangga seperti pemeran utama dalam buku roman picisan. Hatinya menghangat, perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu. Meski sesaat setelah itu ada gangguan lain yang membuat nyeri di hatinya kembali mendera, seorang gadis yang berhasil mencuri cinta pria kesayangannya.

Diraihnya ponselnya yang bersebelahan dengan milik sang suami dari atas nakas, melirik sang suami yang tengah lelap dalam mimpi dan memberi kecupan singkat di atas bibir tebalnya. Lantas jemarinya mengetuk tanda hijau di layar yang memunculkan sebuah nama, Kim Taehyung.

***

Jangan tanya seperti apa kecanggungan yang terjadi sejak kedua sejoli itu tiba di apartment milik Kim Taehyung. Hal itu bermula sebab mereka terjebak dalam keheningan selama perjalanan dari rumah utama ke apartment.

Papa sama sekali tak protes atau terlihat keberatan ketika Taehyung meminta izin kembali lebih awal bahkan sebelum tamu sang papa pulang. Hara satu-satunya yang terlihat kecewa. Sementara papa mengangguk mengerti ketika Taehyung hanya menjelaskan singkat bahwa ia perlu menyelesaikan pekerjaan sebab keesokan harinya adalah hari senin dimana ia harus kembali produktif bekerja dan ada beberapa hal yang perlu ia kerjakan malam ini. Itu, fakta.

Saat ini, keduanya tengah sibuk memeriksa hasil kuis beberapa kelas yang Taehyung isi. Meski rasanya begitu canggung, Taehyung harus mengesampingkan itu sebab butuh bantuan asistennya itu sekarang. Sesekali ia akan memijit kepala, hidung atau mendecak kala mendapati jawaban yang ia koreksi terlalu jauh di bawah harapannya.

"Ssaem, aku ingin buat kopi. Mau dibuatkan sekalian?" Tanya gadis muda yang baru saja berdiri di hadapan Taehyung. Jika ditanyakan keadaan sebelumnya bagaimana, mereka duduk berhadapan di atas karpet ruang tamu dengan kertas-kertas yang menumpuk di atas meja.

Tak langsung menjawab sebab Taehyung perlu mempertimbangkan. Melirik jam yang tertera di layar smartphone-nya—pukul satu pagi lebih dua puluh menit, lantas berpindah pada tumpukan kertas. Mungkin gadis itu sama sadarnya dengan dirinya bahwa tak ada pilihan untuk bisa segera masuk ke alam mimpi meski keinginannya terlalu tinggi untuk itu sebab tubuh merasa lelah. Butuh bantuan agar tetap terjaga. Tak sadar dosen muda itu menghela nafas, mengangguk lalu berucap pelan, "Boleh. Dengan creamer."

Suara berat milik pemuda itu dibalas anggukan sebelum sang gadis menaikkan alisnya dan berbalik menuju dapur.

Sementara Taehyung kembali fokus dengan pekerjaannya, sesekali suara air yang tertuang ke dalam gelas mengusik telinganya. Harum dari kopi mulai menyeruak sedikit menggugah kinerja kepalanya. Semakin lama semakin menusuk kala langkah kaki berangsur mendekat dan gelas miliknya ditaruh di dekat tangannya.

Kepalanya agak mendongak kala mendapati gadis Jung itu tengah meneguk minumannya sendiri dengan hati-hati. Bekas keunguan yang berada di lehernya mendadak curi perhatian sampai Taehyung sadar dan alihkan pandangan. Wajahnya terasa sangat panas—seperti tengah malu, sampai ia mengambil gelas miliknya. Lupa jika suhu air di gelasnya masih di ambang batas normal, buru-buru ia menyeruput dan sesaat kemudian bersuara seperti sedang kesakitan dengan perubahan raut wajah dan lidah yang ia julur-julurkan.

"Ssaem, itu masih panas." Nara menjadi panik, agak merasa bersalah karena lupa, tak beritahukan terlebih dulu.

Wajah Taehyung kian tak terkontrol, ia benar-benar merasa kesakitan selama sesaat. Tetapi dengan sangat cepat mengubah itu menjadi serius kembali. "Tidak apa-apa. Ayo, kita kerjakan lagi." Seolah baru saja memang tak terjadi apa-apa.

Nara yang sebenarnya masih merasa turut andil menjadi penyebab pria itu kesakitan, akhirnya memilih patuh dan duduk kembali pada posisi sebelumnya. Ingin bertanya sebab khawatir namun urung. Toh ia tak akan bisa beri solusi apa-apa, seperti luka yang bisa diberi alkohol dan diberi obat.

Lantas ia memilih untuk kembali fokus pada agenda sebelumnya.

Mungkin ada sekitar satu jam lebih hanya diisi keheningan dan suara kertas sampai suara bariton dari yang lebih tua memecah. "Kita lanjutkan besok saja. Aku mengantuk." Finalnya, nyaris tak mampu lagi sebab kantuk begitu menyerang, kelopak matanya nyaris tak mampu lagi menahan dan ia berkali-kali berusaha membelalakkan mata. "Besok, kelasmu hanya ada siang 'kan? Jika kau datang lebih pagi dan mengerjakan di ruanganku dulu, bagaimana?"

Jangan lupa, keduanya juga belum memiliki tidur yang cukup malam sebelumnya.

Tak kunjung mendapat jawaban lantas Taehyung mengangkat wajah, memperbaiki kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Baru saja mengubah fokusnya sampai pegal di leher menyerang sebab terlalu lama menunduk. Sekaligus baru sadar jika gadis di hadapannya sudah menjatuhkan kepala ke atas meja. Wajahnya menyamping, tangan kanannya masih memegang pena. Nafasnya teratur.

Taehyung tak sadar menggigit bibir bawahnya, bingung sendiri dengan situasi. Maka— dengan agak ragu ia menyentuh bahu gadis itu, pelan. "Nona Jung—kau bisa pindah ke kamar. Kita lanjutkan besok saja."

Jemarinya menepuk pelan. Tetapi tak ada respon dan jawaban.

"Nona Jung—ayo pindah. Badanmu akan sakit jika tidur semalaman seperti itu."

Sebenarnya Taehyung agak bingung ingin ucapkan vokal apalagi. Tepukan yang tadinya pelan agak ia beri kekuatan sedikit, berharap gadis itu segera bangun. Namun, sama sekali tak ada tanda-tanda.

Sedikit putus asa ia bangkit, mengambil dua gelas milik mereka. Membawa itu ke wastafel dan langsung mencucinya—berharap pula suara keran yang ia nyalakan mampu membangunkan.

Namun sampai ia kembali, nihil. Posisi gadis itu masih sama, tak berubah sedikitpun. Tangannya memilih merapikan tumpukan kertas yang rencananya akan ia bawa besok. Tetapi sampai seluruh rangkaian beres-beresnya selesai, gadis itu tak juga bergeming.

Taehyung menghela nafas. Dirinya juga lelah dan ingin istirahat. Ingin masuk ke dalam kamarnya sendiri dan tak peduli, rasanya begitu jahat. Apalagi besok ia masih harus dibantu.

Ada ide yang tiba-tiba muncul di benaknya. Menghasilkan pergulatan di dalam akal pikirannya sendiri meski pada akhirnya pihak pemenang membuat Taehyung berjalan mendekat, menghela nafas—lagi, sedikit ragu sekaligus takut menyentuh bahu Nara. Menepuk sekali lagi untuk meyakinkan dan memang tak ada reaksi apapun.

Tangannya mengangkat kepala Nara perlahan, yang tadinya terletak di atas meja ia taruh ke atas lengannya sendiri. Rambutnya tersampir nyaris menutupi wajah meski sedikit pipinya berbekas karena pinggiran kertas terlihat. Tangan Taehyung yang lain menahan tubuh gadis itu di belakang. Memundurkan secara perlahan sampai terasa pas di lengannya sendiri, barulah pria itu yakin untuk mengangkat.

Bobotnya lumayan meski Taehyung masih sanggup menggendongnya tanpa ada kendala.

Berjalan pelan ia baru saja akan melewati pintu kamar gadis itu, sebelum kepala yang tadinya terkulai tiba-tiba mendongak. Kelopak mata yang dibuka paksa dan— "Ssaem, aku—"

"Diamlah, jangan bergerak. Kau berat."

Taehyung baru saja kepayahan membuka pintu dibantu dengan kakinya yang ikut mendorong.

Nara tak menyangkal kala ia begitu terkejut. Tubuhnya seperti melayang dan ia menjadi lebih sadar dari sebelumnya.

"Jangan berpikir macam-macam, anggap saja seperti digendong ayahmu waktu kecil dulu. Saat kau tertidur di depan televisi lalu terbangun di dalam kamarmu sendiri. Seperti sulap."

Tak ada respon selain gadis itu membuang tatapan dengan raut yang berubah lebih kelam dari sebelumnya. Taehyung mungkin tak menyadari itu.

"Tidak pernah."

"Apa, digendong seperti ini?"

Gadis itu tak menjawab. Namun ia mengangguk. Taehyung tak jua menurunkan padahal sudah di sebelah kasurnya sendiri.

Sekarang sudah diturunkan. Sangat hati-hati. Wajahnya dan wajah Taehyung begitu dekat. Membuat tubuhnya gugup meski ia berusaha menepis itu. Gila. Kemana kantuknya pergi?

Ia menunggu, tetapi Taehyung tak juga undur diri. Wajah dengan rahang tegas dan hidung tinggi itu berjarak tak lebih dari lima sentimeter tepat di depan wajahnya. Nafas yang hangat dari hidung pemuda itu sampai terasa. Kedua tangan dengan urat yang menonjol berada di sisi kiri dan kanan kepalanya.

"Mau bermain permainan lawan kata?" Suara Taehyung yang berat, pelan dan dekat begitu menggelitik.

"Kau bilang mengantuk, Ssaem."

Eh?

Taehyung memberi senyuman aneh, sementara gadis itu membuang pandangan ke arah lain. Pipinya tiba-tiba merah seperti kepiting rebus. Malu. Amat sangat malu.

"Jadi, pura-pura tidur ingin digendong, hm?"

"B-bukan, Ssaem. Aku pikir itu mimpi tapi terasa sangat nyata."

Mata gadis itu membulat—beri kesan inosen meski terlihat agak merah sebab baru bangun tidur.

Taehyung terkekeh. Tak mengerti pada diri sendiri yang tetap mempertahankan posisi meski rasanya cukup aneh. Wajah yang ada di hadapannya ini begitu menyita perhatiannya. Perlahan turun ke bawah, perhatikan detail yang sedikit banyak membuatnya masih penasaran akan tanda-tanda itu.

Entahlah, Taehyung bukan seseorang yang suka melakukan seks kasual. Bisa dihitung dengan jari berapa kali ia pernah melakukan hubungan seks selama hidup. Bersama gadis ini adalah yang paling banyak memberikannya kesempatan untuk mengetahui beberapa hal sembari mengikuti naluri kelelakiannya yang memang mendominasi.

Jemarinya turun, menyentuh lembut satu persatu tanda itu. "Jika kau tidak punya atau milikmu kurang, kau bisa pakai turtleneck milikku."

Pembicaraan Taehyung menjadi begitu random sementara gadis dibawahnya merasakan dadanya bergemuruh.

"Aku punya—" Tiba-tiba tanda-tandanya dikecup lembut, satu persatu—bagi yang terlihat, untuk Taehyung. "—turtleneck, Ssaem."

Taehyung baru tahu jika panggilan itu bisa menimbulkan efek lain pada tubuhnya. Seperti ketika ia untuk kedua kalinya mengungkung gadis itu, seperti sekarang. Sementara gadis di bawahnya nyaris kehabis nafas sebab berkali-kali menahan jika Taehyung melakukan sesuatu.

"Ingin kuberitahu satu hal?"

Gadis itu tak menjawab, dan Taehyung memang tak butuh jawaban.

"Kau, cantik. Kali ini, tidak bohong."

Tatapan Taehyung nampak berbeda dibandingkan sebelumnya. Rautnya nampak lebih ramah, sampai wajahnya turun dan beri kecupan kilat. Yang lebih muda terkejut, matanya membola. Seperti habis mendapat serangan tiba-tiba. Tersipu, tak bisa dikendalikan lagi gejolak di dalam dadanya.

Taehyung tersenyum menyadari itu. Lantas tangannya naik ke atas dahi sang gadis. Mengusapnya lembut, bersamaan dengan rambut. Berkali-kali. Gadis di bawahnya tak lagi menyangkal kala wajahnya penuh semburat merah.

"Sepertinya terlalu banyak hal di dalam sini." Tepuk Taehyung lembut dua kali di kening gadis Jung itu. "Sampai bingung untuk tentukan mana yang benar dan tidak."

Nara membisu. Tak mengerti kemana arah pembicaraan sang dosen sebelum jemari panjang pria itu turun dan membelai lembut pipinya.

"Konon katanya, gerakan tubuh lebih jujur daripada kata-kata yang keluar dari bibir."

Pipinya masih dibelai, lembut. Sialnya, gadis itu mulai merasa terbiasa dengan afeksi Taehyung sekaligus aroma khas tubuhnya yang tercium dari jarak dekat.

"Ssaem—"

"Hm?"

"Serendah apa aku di matamu, hingga berkali-kali melakukan ini padaku?"

Usapan Taehyung berhenti, menatap pada bulatan kelam tepat di manik sang gadis. Ada luka yang tersirat, rasanya dia tahu dan paham.

"Melakukan apa?"

"Ini, seperti sekarang."

Membasahi bibir seperti kebiasannya, Taehyung lekas bersuara. "Kenapa, merasa bersalah pada Jimin?"

Tak lekas menjawab namun ada keraguan yang nampak nyata. "Ini yang terakhir kali, Ssaem."

"Tidak mau."

"Aku akan kembali."

"Jimin akan marah."

"Aku tidak peduli."

"Aku akan marah."

Gadis itu memilih diam. Kali ini memberi tatapan yang lebih tajam dengan kening yang mengerut penuh tanya. Atau sebenarnya ingin menunjukkan ketidaksukaan? Semakin tak mengerti akan sikap dari pria Kim yang lebih tua darinya itu.

"Serius!" Taehyung kembali menekankan, seperti tak menghiraukan respon gadis itu.

"Kenapa marah?"

Taehyung tak menjawab, tubuhnya malah ia jatuhkan—menggeser paksa tubuh gadis itu.

"Ssaem—"

Taehyung sekali lagi abai. Malah menghadapkan tubuhnya sepenuhnya pada gadis di sebelahnya. Mengambil tubuh lebih kecil itu dengan semena-mena dan tak peduli perlawanan yang tak seberapa kekuatannya. Agaknya ada adegan dramatis sampai tubuh lebih kecil itu diam di dalam dekapan.

"Aku tidak akan berhenti, tidak mau. Kita akan seperti ini, setiap hari."

[]

Continue Reading

You'll Also Like

7.1K 851 40
Begini, Bukannya aku gak percaya cinta dan ending happily ever after. Aku percaya! Contohnya aku melihat sendiri temanku yang lambat jadi tambah beg...
23.3K 3.5K 31
Jika dilihat sekilas saja, tak ada yang mengira bahwa ada yang salah dengan Jeon Jungkook serta Jeon Jian. Kedua bersaudara tersebut terlihat sebagai...
65.1K 7.7K 34
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
10.7K 1.4K 4
🏅 [WINNER OF #ValentinesContest2020] Fanfiction ini khusus dibuat untuk mengikuti lomba #ValentinesContest2020 yang diselenggarakan @FanficIndonesia...