Devil's Cry - Taeyong ft Jiso...

By pandraxion

1.8K 333 21

Takdir menolak mempersatukan mereka, dipertemukan untuk kembali berpisah, apa sebuah tekad mampu untuk mengub... More

Sebuah Kisah
Tugas pertama
Kesepian
Mimpi
Ketidaksengajaan
Tidak seharusnya
Aku seperti ini
Perbatasan

Alasan

198 38 1
By pandraxion

Sudah satu bulan sejak kali terakhir dia bertemu dengan Taeyong, selama itu Jisoo terus memperhatikan penyebab Taeyong menjadi serapuh itu.

Lee Taeyong, seorang pria yang memiliki istri dan satu anak perempuan berusia dua tahun. Jika dilihat dari luar, orang-orang akan berpikir kalau Taeyong dan istrinya adalah pasutri yang saling mencintai.

Namun, fakta berbanding terbalik dengan apa yang terlihat. Lee Taeyong, seorang pria yang memutuskan menikah muda ditinggal pergi oleh istri dan anaknya. Alasannya? Karena ketenaran Taeyong sebagai pianis yang mulai menurun, stasiun televisi tidak mengundangnya lagi, begitupun dengan teather musikal. Semua penolakan itu diterima karena penyakit  Hemoptisis yang dideritanya.

Manusia memang begitu, ketika tenar maka orang-orang akan berbondong-bondong mendekatinya lalu ketika jatuh, mereka bersikap seolah tidak mengenal sosok yang dulu mereka puja.

Jisoo memperhatikan lagi keseharian Taeyong, tinggal sendirian didalam rumah besar tanpa ada yang menemani, hanya rasa sepi yang setia bersama pria itu.

"Kau memperhatikannya lagi?." Ten muncul entah darimana, apa pria itu penguntit?.

Jisoo mencoba sabar meski kesabaran bukan hal wajar bagi kaum mereka.

"Sudah berapa manusia yang kau ajak ke neraka?." Tanya Jisoo mengalihkan topik pembicaraan mereka.

"Sebentar, mungkin lima atau enam manusia." Jawab Ten sambil menghitung dengan jemarinya.

"Cukup bagus untuk pemula sepertimu."

"Aku ini bukan tipe pemilih, aku cukup berkeliaran dijalananan dan aura keputusasaan itu berkumpul disana. Kenapa harus mencari yang sulit jika ada yang mudah." Jelas Ten yang tampak membanggakan dirinya.

"Kau mengejekku?."

"Ah-tidak, mana berani." Ten kembali terbang meninggalkan Jisoo, sepertinya hobi Ten hanyalah menganggu Jisoo.

Jisoo mengepakkan sayapnya dan kembali menapakkan kakinya didalam kediaman Taeyong. Kali ini ia tampak sedang membuka album-album lama miliknya, Jisoo penasaran dan sedikit mengintip kegiatan Taeyong.

"Oh, jadi itu mantan istrinya, sangat tidak cocok denganmu." Jisoo bergumam ketika Taeyong sibuk mengusap foto-foto didalam album pernikahannya menggunakan jemarinya.

Taeyong menolehkan pandangannya berkhayal kalau dia mendengar bisikan mengenai mantan istrinya itu. Jisoo yang sadar akan kepekaan Taeyong segera menutup bibirnya gunakan jemari.

"Harusnya aku tidak bersuara sekeras itu." gumam Jisoo yang lantas duduk dihadapan Taeyong, mungkin sudah menjadi kebiasaan bahwa kaum iblis tidak akan lari meskipun bisikannya terdengar oleh manusia.

"Ternyata kau masih mencintai mantan istrimu itu ya, pria yang sangat setia." Jisoo bukannya memuji namun ia mencaci akan kesetiaan Taeyong dalam hal percintaan, sudah dikhianati masih saja berharap bisa kembali.

"Jian, ayah rindu padamu."

ohh.. salah menerka, ternyata yang dirindukan adalah anak perempuannya, namun siapa peduli toh anak dan istrinya sudah mencampakkan pria ini. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai Jisoo bisa membawa pria ini masuk kedalam jurang keputusasaan, bermain sebentar dengannya bukanlah hal buruk.

Taeyong kini menutup album foto yang sedikit berdebu itu, sekilas Jisoo melihat pria itu menyeka air mata yang menggenang dipelupuk matanya. Tidak ada rasa ibu, Jisoo lantas sangat menikmati ketika kaum manusia merasa frustasi seperti sekarang ini. Dan lihatlah sekarang, Taeyong malah memeluk erat album berdebu itu, apa debu itu tidak menganggu kesehatan paru-parunya? tapi kenapa dia peduli? semakin parah sakitnya malah semakin mudah dia menyeret Taeyong untuk ikut bersamanya.

Jisoo melayang diatas udara bergerak lembut mengikuti kemana arah tujuan Taeyong, ia turun ke lantai bawah menuju ruang tamu. Meskipun tertatih dengan tangan kiri memegang adanya dan tangan kanan menempel pada pengangan tangga dan dinding, pria itu masih berusaha melakukannya sendiri.

Jisoo yang melayang disebelah Taeyong meletakkan telunjuknya pada dagu, ada sesuatu yang terlintas didalam benak Jisoo, siapa yang merawat pria rapuh ini dirumah sebesar ini? tidak mungkin dia tak memiliki pelayan yang cukup untuk membantunya.

Jisoo pun terbang mendahului dan melakukan Tur mengelilingi rumah Taeyong, terdapat banyak ruangan disana tapi begitu Jisoo memasukinya dan memeriksa, tidak ada seorang pun disana. Jisoo juga memeriksa bagian dapur, mungkin saja para pelayan sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk Taeyong namun, tidak ada seorang pun disana selain sebuah piring kotor yang terletak didalam westafel.

"Jadi, dia tinggal seorang diri? menyedihkan sekali." racau Jisoo tak jelas dan ketika dia memutar tubuhnya, dia hampir saja menabrak Taeyong yang berdiri tepat didaun pintu dapur.

"Astaga mengagetkan saja."

Taeyong tertatih melangkah menuju kulkas, sepertinya dia sedang memeriksa bahan makanan. Jisoo mengintip dari balik punggung Taeyong dan dia tidak terkejut kalau isi kulkas Taeyong penuh dengan sayuran dan buahan, atau bisa dibilang makanan sehat.

"Isi kulkasmu saja penuh, kenapa rumahmu sangat sepi." Jisoo mengkritik meskipun tidak dapat didengar oleh Taeyong.

"Harusnya kau memelihara seorang pelayan agar tidak melakukan semuanya sendirian." kritik Jisoo lagi tapi tunggu dulu? kenapa dia peduli dengan keseharian pria ini, bukankah sudah bagus kalau dia hidup sendirian. Jisoo kau jangan sampai lengah, rasa kasihan tidak berlaku bagi kaum iblis seperti kita.

Jisoo menarik napas panjang lalu menghela berat, sebaiknya dia pergi dari sisi Taeyong untuk sementara sebelum rasa kasihan itu semakin menumpuk pada dirinya.

+++

Malam berikutnya, Jisoo hanya duduk memperhatikan dari atas dahan pohon oak yang tumbuh tepat disebelah rumah Taeyong. Jisoo meniup kuku-kukunya yang hitam dan panjang, sesekali dia juga mengeluarkan sihir dalam dosis kecil untuk sekedar berlatih agar ia tak lupa dengan kekuatan yang dimilikinya. 

lagi-lagi Ten muncul seperti biasanya dan duduk dengan santainya tepat disebelah Jisoo, Jari telunjuk Jisoo mengarah tepat diwajah Ten seolah ingin membakar wajah pria itu sampai berubah menjadi debu.

"Wow, santai Tuan putri." Ten mengangkat kedua tangannya dengan mata yang menjuling melihat pada telunjuk Jisoo yang sudah mengeluarkan api kecil.

"Bisakah kau berhenti mengangguku, Ten?." Jisoo memperingatkan namun Ten selalu bersikap seolah bukan masalah baginya, Ten hanya menjawab dengan seulas senyuman.

"Aku hanya ingin tahu perkembanganmu mengingat ini adalah tugas pertamamu."

"Kau bukan ayahku jadi tidak perlu memantauku, aku bisa melakukannya sendiri." jelas Jisoo, sebagai keturunan dari raja Iblis melakukan hal kecil seperti ini bukanlah hal sulit. Ayahnya sudah memberikannya tugas itu berarti kemampuannya sudah diakui oleh ayahnya sendiri.

"Tapi aku khawatir."

Jisoo menoleh menatap Ten dengan dahi yang mengkerut "Maksudmu?."

Ten tidak menjawab, dia menengadah menatap langit kelam dengan kaki yang bergoyang. Jisoo memperhatikan raut wajah Ten.

"Berhati-hatilah, ada kalanya  kita juga merasa iba melihat manusia itu sendiri."

"Kau bercanda?." Jisoo tertawa mendengar ucapan Ten, pola pikirnya tidak seperti kaum iblis saja, bagaimana bisa kaum mereka mengenal yang namanya rasa iba?.

"Jisoo aku serius."

"Hahaha, kau berucap seolah pernah mengalaminya sendiri."

"Aku sudah ribuan kali melakukan tugas ini dan aku melihat berbagai jenis manusia dan juga alasan kenapa mereka berputus asa lalu menyerah dari kehidupan berat yang mereka jalani." Ten menatap lurus pada kedua mata Jisoo yang bersinar merah.

Jisoo tertegun, sekilas dia mengingat kejadian dimana dia melihat Taeyong menangis karena merindukan anak perempuannya.

"Apa kau pernah merasa iba kepada mereka?." Jisoo bertanya dengan hati-hati tidak ingin Ten berasumsi lain atas pertanyaanya itu.

"Pernah, ada seorang anak yang merasa putus asa dan tidak pantas hidup didunia ini. Setelah kuamati selama sepekan ternyata alasann anak itu ingin bunuh diri karena lingkungan sekitarnya. Ia ingin hidup namun lingkungan dan orang disekelilingnya tidak mendukungnya untuk sembuh, aku ingin menghentikannya tapi ini sudah tugas kita sebagai perenggut jiwa-jiwa yang merasa putus asa." Ten menundukkan kepalanya ketika dia menceritkan hal itui, Jisoo masih tidak paham alur cerita dari kisah yang disebutkan oleh Ten.

Jisoo melihat kedua telapak tangannya, dia memang belum pernah menyeret jiwa manusia untuk ikut bersamanya namun, ia yakin kalau dia tidak akan merasa iba pada korban yang menjadi targetnya. Ia sudah bertekad demi reputasinya sebagai  putri dari raja iblis yang begitu dimuliakan di Netherworld.

"Aku tidak akan membiarkan rasa iba menguasaiku karena kita kaum iblis tidak mengenal yang namanya belas kasih." Jisoo sudah mengepakkan sayapnya, kedua kakinya mengambang diatas udara. Ten yang melihat keteguhan Hati Jisoo hanya berharap semoga saja dia bisa melalui ujian itu, dia khawatir di hari ketika Jisoo memilih pianis itu sebagai korban pertamanya.

☆☆☆☆☆


Continue Reading

You'll Also Like

620K 18.7K 75
Hiraeth - A homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost pla...
167K 5.8K 42
❝ if I knew that i'd end up with you then I would've been pretended we were together. ❞ She stares at me, all the air in my lungs stuck in my throat...
1.1M 20.1K 44
What if Aaron Warner's sunshine daughter fell for Kenji Kishimoto's grumpy son? - This fanfic takes place almost 20 years after Believe me. Aaron and...
1.1M 38.2K 63
𝐒𝐓𝐀𝐑𝐆𝐈𝐑𝐋 ──── ❝i just wanna see you shine, 'cause i know you are a stargirl!❞ 𝐈𝐍 𝐖𝐇𝐈𝐂𝐇 jude bellingham finally manages to shoot...