Love Is A Gift and A Miracle...

By Refriloizu3

164 20 11

Lexi atau Rilay adalah seseorang yang membuatku mampu membuka mata akan keindahan dunia. Di saat semua orang... More

1 | 13 April
2 | Adegan Dewasa di Rooftop
3 | Alexis Birgitte Rilayone
4 | The Void
6 | Kiss The Rain
7 | Sebuah Alasan

5 | Kakak Tingkat

24 3 3
By Refriloizu3

Kuperhatikan terus menerus jalinan awan di langit yang cerah itu. Berbanding terbalik dengan mendung suasana yang merengkuhku selama dua minggu ini. Aku masih selalu berpikir tentang kematian. Sejak ia pergi, yang kuharapkan satu-satunya hanyalah sebuah kejadian yang mungkin merenggut nyawaku. Apapun itu selagi ragaku masih dapat terkubur dengan layak nantinya.

Meskipun aku sudah kembali kepada rutinitas yang harus kujalani, tetap saja lubang besar itu terlalu dalam untuk ditutupi. Setiap aspek di hidupku membuatku teringat akan Irina dan juga mantan kekasihku yang entah sekarang dimana.

Biasanya setiap pagi, aku, Irina, dan Mama selalu sarapan bersama. Minus Papa yang sering berangkat pagi sekali atau malah belum pulang karena harus ada di rumah sakit. Dia jarang bergabung di meja makan, dan sekalinya bergabung pun tak merubah banyak suasana pagi apalagi Papa adalah sosok yang pendiam. Tapi, sejak seminggu lalu rumah ini sepi. Tidak ada acara sarapan bersama dan rumpianku dengan para maid tentang betapa gaduhnya teriakan Mama di pagi hari. Tidak ada keberisikan acara memasak antara Irina dan Mama yang sudah mirip tv show Master Chef. Tidak ada lagi. Semuanya berubah total.

Mama selalu sarapan di kamar dengan makanannya diantarkan para maid. Aku sering tak bisa tidur, tidak pernah lagi mendengar gedoran di pintu kamar yang membuatku berdecak kesal karena tidurku terganggu. Aku jarang sarapan karena kehilangan nafsu makan secara drastis. Dan yang paling terasa adalah tak ada lagi yang mengucapkan kalimat tajam dan to the point padaku saat aku menangis sendirian di balkon.

Entah sudah berapa lama aku termenung hingga alarm hp-ku berbunyi. Mengingatkanku untuk pergi ke kampus karena ada kelas pagi ini.

Dengan langkah malas aku bangkit dan menyingkir dari balkon kamar. Menyambar tas dan sepatu kets putih kesayanganku lalu keluar kamar. Menuju halaman rumah dimana Pak Yosi sedang memanaskan mobil untuk mengantarkanku ke kampus. Aku mulai terbiasa tak berpamitan pada Mama yang masih tak ingin diganggu siapa pun. Apalagi wajahku yang sangat mirip Irina pasti akan membuat Mama terus-menerus ingat dengan kembaranku satu itu. Ujung-ujungnya dia akan menangis dan menyesalkan banyak hal yang bukan salahnya. Aku tak mau melihatnya dalam keadaan seperti itu. Mama masih sangat tertekan dan aku tidak ingin membebani hatinya lebih dari saat ini.

Aku memandang jalanan dengan pandangan sendu. Setiap inci kota ini mengingatkanku pada kekasihku. Sosok lain yang selalu menyediakan bahunya untukku bersandar dan menghiburku hingga aku tertawa karenanya. Ia dulu suka sekali mengajakku pergi jalan-jalan padahal aku bukan tipikal orang yang suka keluar rumah. Ia yang dulu membuatku bahagia hanya dengan kehadirannya di sampingku.

Aku menghela napas karena itu sudah menjadi kenangan di masa lalu. Rasa sakit hatiku muncul begitu saja mengulang adegan dimana ia berkhianat di depan mataku. Meski aku tak pernah mengerti alasannya karena aku terlanjur sakit hati sehingga memutuskannya di saat itu juga. Hubungan kami bahkan sangat baik. Kami tak bertengkar sebelumnya. Hanya saja, satu hari sebelum berakhirnya hubungan kami, dia terlihat tidak baik-baik saja. Entahlah. Aku lelah memikirkannya. Toh sekarang dia bukan siapa-siapaku lagi. Aku sedikit bersyukur bahwa kami tidak satu kampus sehingga aku tidak perlu khawatir akan sakit hati jika melihatnya berada di sekitarku.

Saat sampai aku langsung menuju ke ruang kelas di lantai dua. Ingin segera duduk dan menyibukkan diri dengan buku-buku ilmiah. Kelas sudah ramai dan seperti biasa, aku menjadi manusia yang invisible. Ada dan tidak adanya aku tak mempengaruhi keadaan kelas. Yeah, seperti yang sudah kubilang di awal bahwa teman-teman kelasku tidak ada yang betah berteman denganku. Entah karena sifat cuekku yang menyebalkan atau nada tajam yang terlalu jujur dari ucapanku kepada mereka. Jujur saja, aku seperti merasa tertular Irina karena sifat cueknya juga ada pada diriku selama bertahun-tahun.

Hanya seminggu lalu, setelah aku mengambil cuti lima hari, mereka bersikap dan memandangku dengan tatapan sendu. Mereka tahu bahwa saudaraku meninggal. Beberapa ada yang mengatakan belasungkawa dan kuterima dengan tidak biasa. Rasanya agak aneh. Sebenarnya mereka adalah orang-orang baik, hanya saja mungkin sikapku selama ini membuatku tak memiliki interaksi yang kuat dengan siapa pun orang di kelas ini. Aku gagal dan selalu gagal berbaur dengan benar. Bukannya aku menghindari sebuah pertemanan, hanya saja aku tidak memiliki keinginan lebih untuk mewujudkannya.

Kelas berlangsung cepat. Hari ini aku agak sibuk karena jadwal penuh di kampus. Apalagi setelah kelas terakhir selesai, aku harus menghadiri klub fotografi yang sudah kumasuki sejak semester pertama. Sejujurnya agak tidak enak dengan para anggota lainnya karena aku sudah terlalu sering absen. Jadi, kali ini aku akan datang dan meraba suasana di sana. Jika aku tidak lagi berminat akan apapun, aku akan memutuskan keluar.

***

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Sudah waktunya makan siang, tapi tugasku masih nanggung untuk diselesaikan. Akhirnya aku menunda lagi acara makanku karena toh aku tidak lapar meskipun tadi melewatkan sarapan juga. Setelah ini masih ada kelas dan aku sedang mengerjakan tugas di perpustakaan sambil menunggu jam selanjutnya.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Membuatku berbalik badan dan mendapati sepasang mata hijau yang tidak asing bagiku. Wajah cantiknya tidak lagi sepucat seperti terakhir kali aku melihatnya. Lengkap dengan senyuman cerianya, dia mengingatkanku akan kehangatan yang sama seperti yang kurasakan dua minggu lalu.

"Aria, kan? Astaga, aku kira siapa tadi." Suaranya yang bernada lembut itu menyadarkanku dari keterpanaan sementara.

Aku mengerjap beberapa kali, mengikuti pergerakannya yang duduk di sampingku. Aku masih lekat memandangnya dengan wajah terbengong. Antara terkejut, heran, dan senang melihat Rilay sudah ada di depanku. Ya, perempuan yang barusan menyapaku adalah Rilay. Seseorang yang tempo lalu berhasil menggagalkan aksi bunuh diriku di atap rumah sakit. Seseorang yang membuatku merasa sedikit lebih waras saat aku berada di titik paling rendah hidupku.

"Rilay,"

Ia tambah tersenyum. Aku sendiri sedang bertanya-tanya tentang apa yang sedang ia lakukan di sini. Pakaian kasualnya membuatku sedikit pangling. Dia lebih terlihat cantik dan seperti bersinar dengan aura hangatnya.

"Syukurlah kamu inget namaku." Ia terkekeh sendiri dan kubalas dengan senyum singkat.

"Kok bisa di sini?" Tanyaku penuh keheranan.

Ia tersenyum lagi sebelum menjawab, "aku emang kuliah di sini. Bukan di departemen ini sih, kebetulan mampir mau ketemu temen. Eh, pas ke sini liat kamu. Jadi kusamperin aja deh." Ujarnya kemudian.

"Oh gitu, aku ngga pernah liat kamu soalnya." Balasku dengan sedikit senyum.

"Hahahaha, kamu yang kurang bergaul. Aku terkenal loh di kampus, terutama di departemen Hukum. Dan just for your information, aku kakak tingkatmu." Ujarnya diakhiri dengan senyumnya yang ganjil. Tapi hanya sebentar sebelum ia tertawa keras dengan tiba-tiba. Mungkin karena melihat wajahku yang terbengong dan kaget secara bersamaan.

Bagaimana tidak? Kupikir Rilay adalah teman sebayaku karena dia yang memang tak bercerita apapun padaku. Tapi, kenapa Rilay bisa tahu bahwa aku adik tingkatnya? Aku masih dalam keherananku sebelum seseorang memukul kepala Rilay dengan gulungan kertas.

"Awww. Hish, sakit tau!" Protes Rilay pada seorang perempuan cantik dengan rambut panjang lurus dan terkesan sangat lembut. Kuperhatikan sebentar dan aku berhenti di matanya. Warnanya berbeda. Aku tidak tahu itu asli atau tidak, tapi itu membuatnya terlihat semakin menawan.

"Ketawamu ganggu orang, Lex. Sekedar ngingetin juga bahwa kamu ada di perpustakaan sekarang." Ujar perempuan itu lalu duduk di samping Rilay. Ia mengalihkan atensinya padaku.

"Oh hai! Aku Ruby, temennya si bobrok ini." Ia mengulurkan tangan dan langsung kusambut. Sedikit canggung karena baru menyadari jika perempuan ini adalah teman Rilay, berarti dia juga kakak tingkatku.

"Aku Aria." Jawabku singkat sambil sedikit memaksakan senyumanku. Masih tertaut pada warna matanya yang beda antara kanan dan kirinya.

"Aku baru tau kalo Lexi punya temen bule. Kamu ngampus di sini juga?" Tanyanya padaku. Ia mengabaikan muka masam Rilay. Sedangkan aku hanya mengangguk. Sebenarnya canggung dan bingung harus menjawab apa. Apalagi Ruby memanggil Rilay dengan panggilan lain yang setahuku juga merupakan panggilan kakak perempuan Rilay pada Rilay waktu di rumah sakit tempo lalu. (Ingat Kak Tara si dokter yang ketauan ciuman di atap? Nah itu.)

"Aku kenal Rilay belum lama ini, dan iya aku kuliah di sini." Jawabku sekenanya. Seperti biasa, tanpa senyum dan hanya mengatakan hal sebenarnya.

"Dia itu yang kuceritain minggu lalu. Aku ketemu Aria di rumah sakit. Pertama juga kukira bule, eh ternyata bahasa Indonya fasih. Tadi juga aku ngeliat dia baru keluar dari gedung B. Dia sejurusan sama kamu, cuma beda tingkat, dia adek kelas. Yaudah aku samperin aja. Tau-tau kamu dateng ngegeplak kepalaku. Kamu pikir aku apaan, hah?!" Rilay menjelaskan berujung sewot di akhir kalimatnya. Aku tersenyum kecil dan baru mengetahui kalau Rilay sangat pandai menyimpulkan sesuatu dan merangkainya sendiri.

"Serius kita sejurusan? Kok aku ngga pernah ngeliat kamu ya? Harusnya kamu keliatan dikit karena gimana pun muka bule-mu bener-bener jadi hal yang menonjol." Ruby berpindah tempat duduk menjadi di depanku dan Rilay. Tanpa tedeng aling-aling kini ia memperhatikanku. Seperti menilai telak wajahku yang memang minim akan nuansa lokal.

"Aku jarang aktif kegiatan kampus. Jadi, wajar aja kamu ngga pernah liat." Ujarku sekenanya. Dan ya, aku tidak memanggilnya dengan embel-embel "kak" karena meskipun dia kakak tingkatku, aku tidak merasa punya kewajiban atau keterikatan untuk memanggilnya dengan sebutan itu.

Beberapa detik kemudian lengang. Setelah kupikir Ruby akan tersinggung karena aku dengan enteng menganggapnya sama seperti teman sebaya, senyumnya terkembang jelas. Untuk ke sekian kalinya aku mengagumi wajah cantik Ruby dan matanya yang beda warna.

Entah mengapa muncul keheranan baru dalam diriku. Rilay dan Ruby memiliki wajah orang asia yang khas. Kentara sekali mereka adalah orang asli Indonesia dengan kecantikan unggul. Tapi, mata mereka yang berwarna kurang wajar untuk ukuran orang Indonesia membuatku mau tidak mau mempertanyakan itu. Rilay dengan mata zamrudnya yang berhasil membuatku berkali-kali hanyut di dalamnya. Juga Ruby dengan iris kanan berwarna hitam mengkilat dan iris kiri berwarna merah gelap cenderung kecoklatan yang membuatnya tampak seperti masterpiece. Dan semuanya asli. Mereka tidak menggunakan softlens atau apapun yang membuat warna mata mereka memiliki alasan yang lebih realistis.

"Pantes aja ngga pernah ketemu." Ujar Ruby diiringi kekehan kecilnya.

Aku hanya membalas dengan tersenyum kecil. Lalu perlahan, aku terlibat obrolan dengan mereka berdua. Sesuatu yang tak pernah kulakukan dengan orang baru.

🌻🌻🌻

Salam Neptunus🧜‍♀️

Continue Reading

You'll Also Like

5.8M 248K 57
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
3.6M 173K 63
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...
5.5M 360K 66
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 222K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...