Lacuna [hajeongwoo] || TELAH...

By outersxneils

123K 16.8K 11K

Sequel of Arunica [hajeongwoo] "a blank space, a missing part." Apa yang pertama kali muncul di benak setiap... More

Prologue
Chapter 1: How can?
Chapter 2: What's Wrong?
Chapter 3: Favorite Notification
šŸ’Œ
Chapter 4: Wait For Me
Chapter 5: Care
Chapter 6: Be Honest Please
Chapter 7: He's Weird
Chapter 8: Worth The Distance
Chapter 9: Help Me
Chapter 10: I Miss You
Chapter 11: Badmood?
Chapter 12: Who Is He?
Chapter 14: Spend A Day
Chapter 15: Disappointed
Chapter 16: Let's Meet Again
Chapter 17: The Act of Neglect
Chapter 18: Way Back Home
Chapter 19: Best View
Chapter 20: Let You Go
Chapter 21: Love, But It Hurts
Chapter 22: Lose Him
Chapter 23: It's Not Fair
Chapter 24: You Deserve To Be Loved
Chapter 25: Should I Go?
Chapter 26: Don't Leave Me
Chapter 27: I Want You
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32: Choose Me
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36: Unknown Feeling
Chapter 37: Before You Go
Chapter 38
Epilogue
šŸ’¬
Bonus Chapter
Author Note
Fukuoka
Osaka
Tokyo
Complete
ā£ļø
Tanggal Terbit Pre-Order Novel "Lacuna; a blank space"
Pre-Order Novel "Lacuna; a Blank Space"
Pre-Order Ketiga Novel Lacuna

Chapter 13: Trust Me

1.9K 338 113
By outersxneils

Tiga hari berlalu setelah insiden sambungan telepon dari Haruto ke Jeongwoo yang justru di angkat oleh Bianca, teman kelasnya. Haruto tipikal orang yang straightforward, dimana biasanya jika ia tidak suka sesuatu pasti ia akan langsung bilang to the point kalau dia tidak suka. Namun, entah kali ini ia lebih memilih diam dan seolah menghindari Jeongwoo. Bahkan dia tidak menanyakan pada Jeongwoo siapa wanita yang mengangkat teleponnya tiga hari lalu.

Unfortunately, Jeongwoo sampai sekarang tidak tahu soal Bianca yang dengan lancangnya mengangkat telepon dari Haruto. Tetapi, tiga hari belakangan Jeongwoo merasakan Haruto sedikit berubah. Lelaki itu seakan menghindar darinya—enggan menjalin komunikasi dengannya.

Awalnya Jeongwoo pikir mungkin saja memang Haruto sedang sibuk dengan kuliahnya. Kalaupun posisinya Haruto berada di apartemen, ia pikir lelaki itu sedang banyak tugas kuliah yang harus dikerjakan sehingga tidak ada waktu untuk sekedar bertukar kabar dengannya. It's not a big problem for Jeongwoo at first, toh terkadang juga dia tidak bisa mengabari Haruto karena sibuk dengan kuliah.

Pandangan Jeongwoo lurus ke depan kaca yang menghubungkan ke balkon apartemennya. Di luar matahari cukup bersinar terang. Jeongwoo mendekat ke nakas samping tempat tidur, jemarinya membuka aplikasi cuaca—ternyata suhu udara sudah naik drastis, tanda bahwa musim panas sudah tiba sejak kemarin. It's already December. Lelaki itu lantas beralih pada alat pendingin ruangan, ia mengecilkan temperatur sehingga ruangannya terasa lebih dingin.

Jeongwoo beringsut menuju dapur apartemennya. Ia membuka laci tempat dimana ia menyimpan makanan ringan untuk camilannya sehari-hari. Setelah mengambil beberapa camilan, ia segera kembali ke kamar. Kebetulan hari ini jadwal kelasnya dibatalkan karena dosennya ada hal yang mengharuskan tidak dapat mengajar sehingga niatnya hari ini Jeongwoo hanya akan mengerjakan tugas seperti biasa sekaligus belajar untuk ujian yang akan berlangsung beberapa hari lagi.

Laptop yang semula berada di atas nakas kini sudah ditempatkan di atas meja yang biasa Jeongwoo gunakan untuk belajar. Setelah merasa nyaman dengan posisinya, ia segera membuka laptop dan menyalakannya.

Pandangannya tidak beralih sedikitpun dari layar laptop. Ia fokus pada tugasnya seraya sesekali tangannya menyomot keripik kentang dari dalam bungkusan. Satu jam berikutnya, Jeongwoo sedikit merenggangkan tubuhnya. Selama satu jam duduk mengerjakan tugas membuat tubuhnya terasa pegal, meski sebenarnya tugasnya belum sepenuhnya selesai.

Jeongwoo menatap jam dinding di kamarnya. Pukul 5 sore waktu Perth. Netranya melirik ke handphone miliknya sekilas. Ia menghela nafas ketika mengetahui tidak ada tanda-tanda pesan atau panggilan yang masuk dari Haruto.

"Haru lagi ngapain ya? Masih di kampus nggak jam segini?" Jeongwoo berucap sendiri seolah menebak kondisi Haruto jauh di sana. "Kalo gue telfon ganggu nggak ya?"

Jeongwoo memutar-mutarkan handphonenya seraya menimbang-nimbang apakah dia harus menghubungi Haruto atau tidak. Di satu sisi ia ingin mengetahui kabar Haruto, tapi di sisi lainnya ia merasa takut kalau ia justru menggangu lelaki itu. Setelah berpikir berkali-kali pada akhirnya jemari Jeongwoo mencari kontak Haruto di handphonenya. Dalam sekali gerakan, panggilan tersebut langsung tersambung ke Haruto.

Beberapa detik menunggu nada sambung tersebut tergantikan oleh suara berat milik Haruto. "Halo?"

"Haru. Where have you been? I missed you so much," Cicit Jeongwoo.

Bahkan untuk dapat mendengar suara Haruto sekarang saja dia sudah bersyukur, berhubung belakangan ini dia tidak memiliki jadwal telepon dengan Haruto karena lelaki yang tinggal di Indonesia tersebut sangat jarang menghubunginya belakangan ini, bahkan dia tidak pernah mengangkat teleponnya sejak tiga hari terakhir.

Jeongwoo mendengar Haruto menghela nafas di seberang sana sebelum membalas. "I miss you too."

What happened to him?

"Haru, are you okay?"

Jauh di seberang sana, Haruto menekan bibirnya seraya memijat dahinya sendiri. "Not really."

Mendengar jawaban dari Haruto tentu membuat Jeongwoo jadi khawatir. Otomatis ia kembali bertanya, "What's going on? Haruto, you can tell me whatever you want. I'm yours. Let me be your storymate. I—"

Ucapan Jeongwoo terhenti ketika mendengar seseorang baru saja menginterupsi percakapan keduanya dari pihak Haruto. "Siapa?" tanya Jeongwoo pada Haruto. Sebenarnya dia hanya mendengar samar-samar suaranya sehingga ia bertanya.

Haruto menghela nafas. "Junkyu. Woo, telfon guenya nanti lagi ya?" Pinta Haruto pada Jeongwoo. Iya, Haruto lebih memilih menyebut kata 'gue' dibanding 'aku' kali ini.

Jeongwoo terdiam sesaat. "Woo?" Haruto kembali memanggil. "Oh, iya gapapa kok. Lagi sibuk ya? Maaf kalo gue ganggu lo sama Kak Junkyu."

Sekarang giliran Haruto yang dibuat terdiam. Tumben Jeongwoo pake gue lo juga?, "Cuma lagi bahas organisasi aja sih." Jawab Haruto.

Jeongwoo mengulas senyum tipis meski ia tahu kalau Haruto tidak melihatnya sekarang. "Iya, dilanjut dulu aja bahasnya. Semangat organisasinya! Gue tutup ya, Haru."

Haruto spontan mengangguk. "Bye, Woo." Setelahnya Jeongwoo segera memutus sambungan teleponnya.

"Haruto, sorry banget ternyata lo lagi telfonan sama Jeongwoo? Sorry kalo gue ganggu. Tapi, ini mesti cepet dibahas sih soalnya." Junkyu melipat bibirnya merasa tidak enak dengan adik tingkatnya tersebut, terlebih lagi dengan Jeongwoo.

Haruto mengulas senyum tipis. "Gapapa. Dia ngerti kok gue udah bilang telfon lagi nanti," Balasnya.

Jeongwoo menghela nafas berat. Ia tidak bisa menyalahkan Haruto yang lebih memilih Junkyu kali ini, juga ia tidak bisa menyalahkan Junkyu yang menginterupsi waktunya dengan Haruto. Mungkin bagi Haruto, Jeongwoo itu penting. Tapi, organisasinya jauh lebih penting.

Jeongwoo mematikan laptopnya. Rencananya ia akan melanjutkan tugasnya nanti malam. Detik berikutnya handphone miliknya berdering. Setelah melihat caller ID di layar handphonenya, ia otomatis mengangkat video call disana.

"Jeongwooya! Look what I got!"

Kedua bola mata Jeongwoo membulat sempurna ketika melihat seekor kucing berbulu lebat berwarna abu-abu dalam gendongan laki-laki yang berada di layar handphonenya.

"Wah! Lucu banget." gembul kayak pipi yang punya. "Punya lo, Do?"

Doyoung giggled as he caressing his cat. "Yep, mine." He answered. "Baru abis adopsi ini kucing. Biar gue ada temen di rumah, abisnya sepi banget sih di rumah 'kan gue suka kesepian."

"Bagus deh sekarang lo punya temen di rumah." Sahut Jeongwoo ikut senang atas kabar terbaru dari temannya—ralat, sahabatnya.

Doyoung terkekeh lagi. "Iya, Woo. I'm glad to have this cutie one." katanya. Jeongwoo tersenyum karena Doyoung tampak sangat senang memiliki kucing tersebut. Lelaki itu juga terlihat sangat menyayangi hewan peliharaan barunya tersebut.

Gue seneng liat lo ceria lagi kayak gini

"Lo di rumah, Do? Udah balik kuliah?" tanya Jeongwoo. Doyoung mengangguk, "Iya, hari ini cuma dua matkul sih. Jadi cuma sampe siang.."

Jeongwoo mengangguk paham. Iya, sepertinya memang jadwal Doyoung dan Haruto berbeda. Buktinya Haruto sepertinya masih ada di kampus tadi.

"Woo, tapi gue belum kasih nama nih kucingnya." Ucap Doyoung.

Jeongwoo bangkit dari kursi meja belajar. Kakinya berjalan menuju tempat tidur, lalu ia duduk bersandar pada headboard. "Loh, kenapa?"

Wajah Doyoung yang semula dihiasi senyum lebar kini jadi ditekuk. Ia memasang ekspresi bingung, "Nggak tau mau namain siapa. Kemarin gue minta pendapat ke Jihoon, kata dia namain aja Dobby. Kurang ajar emang tuh anak! Kebiasaan banget, nggak ada serius seriusnya." Celotehnya.

Suara tawa Jeongwoo memenuhi seisi ruangan. Doyoung justru semakin mengerucutkan bibirnya sebal. "Woo, kok lo malah ketawa sih?! It's not funny at all." Protesnya. Tapi kalo lo yang ketawa gapapa...

"Sorry. Nggak, itu abisnya Jihoon ada ada aja. Masa nyaranin nama yang sama kayak nama pemiliknya?"

"Nggak tau tuh anak. Oh iya, terus dia bilang juga dia kira gue adopt kucing karena saking kesepian udah lama ngejomblo. Kan tuh anak emang otaknya suka ketinggalan kayaknya," Doyoung bercerita dengan nada berapi-api. Dia hanya tidak habis pikir dengan Park Jihoon.

Jeongwoo masih tidak berhenti dari tertawanya. Lantas ia menatap jahil pada Doyoung, "He really likes teasing you, Dobby. Don't you realize that?"

"I know, Woo. Actually he is such a good friend, tapi ya gitu kadang suka ngeselin anaknya. Dia tuh kalo ngomong suka ceplas ceplos bikin gue emosi terus bawaannya. Makanya percuma kemarin gue minta pendapat sama Jihoon, kalo ujung ujungnya dia malah ngeledek gue."

Jeongwoo tersenyum geli mendengar cerita dari Doyoung. "Maybe he has crush on you?" Tebak Jeongwoo yang membuat Doyoung otomatis membuka mulutnya tidak percaya.

"What do you mean, Park Jeongwoo?"

Jeongwoo mengubah posisi duduknya, mencari posisi yang nyaman sebelum ia menjawab. "Lo tau 'kan dulu Haruto juga suka ngeledek gue. Bahkan dia suka banget ngatain atau manggil gue 'bolot'. Dulu gue bawaannya juga emosi terus ke dia, Do. Mungkin aja Jihoon sama kayak Haruto?" Jeongwoo mengakhiri ucapannya dengan mengangkat bahu.

"Tapi, gue ke lo nggak kayak Haruto. Maybe you forgot that I also had crush on you in the past." Doyoung menatap Jeongwoo lurus-lurus. Hal itu tentu membuat Jeongwoo jadi tersenyum canggung. "Iya. You guys are different"

Keduanya jadi terdiam satu sama lain. Jauh di dalam hati Doyoung jadi merasa tidak enak karena ia menyebabkan suasana jadi canggung begini. In the end, you choose the guy who hurt your heart many times, Woo.

Doyoung berdeham memecah keheningan. "Menurut lo nama yang bagus buat kucing ini apa? Ada ide nggak?" tanyanya meminta pendapat.

Jeongwoo berpikir sejenak. "Hmm, gimana kalo Coco?" Sarannya.

Doyoung yang masih kesulitan menggendong kucingnya seraya satunya tangannya memegang handphone otomatis berpindah tempat. Mencari tempat yang nyaman, "Sebentar, Woo."

Ia menaruh handphonenya di atas meja belajar. Sementara dia mendudukkan dirinya di kursi meja belajar di dalam kamarnya. "Hmm, it sounds so good. Gue suka.." katanya seraya tersenyum ke arah kamera.

"Coco and Dobby,"

Doyoung tertawa geli mendengar Jeongwoo baru saja menyebut namanya dan kucingnya. "No, it should be Jeongwoo and Dobby."

"Enak aja! Mana ada kayak gitu?!" Protes Jeongwoo. Sementara itu Doyoung justru tertawa, "Bercanda."

Doyoung mengangkat salah satu tangan kucing miliknya lalu menggerakannya ke kamera seolah menyapa. Kemudian Doyoung berucap, "Hai, Kak Jeongwoo, aku Coco kesayangannya Kak Dobby. Kak Jeongwoo cepet pulang dong ke Indo! Nanti biar bisa main sama Coco."

"Wait.. Lo bahasain diri lo 'Kakak' ke kucing lo, Do?" tanya Jeongwoo. Doyoung tertawa sendiri, "Iya, Woo. Abisnya gue bingung bahasain apa."

Kini Jeongwoo ikut tertawa dengannya. Meski belakangan ini Jeongwoo juga sedikit merasa kesepian tanpa Haruto, setidaknya hari ini dia dapat tertawa lepas meski bukan karena Haruto.

Makasih Tuhan udah kirim temen sebaik Kim Doyoung

***

Jeongwoo menyesap tehnya yang sudah mulai dingin. Kedua jemarinya tidak hentinya menari di atas keyboard laptop. Iya, dia melanjutkan tugasnya yang sempat ia tunda tadi sore. Sekarang sudah jam 10 waktu setempat, itu artinya jam 9 Waktu Indonesia Barat. Meski tadi sore Haruto memintanya untuk kembali menghubungi lelaki itu malam ini, tapi nyatanya Jeongwoo mengurungkan niatnya. Ia hanya tidak ingin menganggu Haruto.

Detik berikutnya handphonenya berdering. Jeongwoo membenarkan letak kacamata yang ia pakai sekarang sebelum ia meraih benda tersebut dari atas meja. Jeongwoo segera mengangkat panggilan yang berupa video call tersebut. Ia menaruh kembali handphonenya, dengan menyandarkan benda tersebut jadi menghadap ke arahnya.

"Kenapa nggak telfon lagi?"

Kalimat itu yang paling pertama terdengar oleh Jeongwoo ketika ia baru saja mengangkat sambungan video call tersebut. Jeongwoo mengalihkan pandangannya dari laptop jadi ke layar handphonenya.

"I just don't want to bother you,"

Haruto tampak menghela nafas di sana. "Don't act like that, baby." Ia memberi jeda pada ucapannya. "Tadi itu aku cuma perlu ada yang dibahas aja soal BEM sama Junkyu."

Jeongwoo mengangguk paham. "Iya, aku ngerti." Ucapnya. Haruto justru mengangkat sebelah alisnya, "Terus?"

"What do you mean?"

"Terus kenapa nggak telfon aku lagi?"

Jeongwoo tersenyum tipis. Ia kembali mengetik sesuatu di laptop, "Aku udah kasih tau alasannya 'kan? Maksud aku daripada aku telfon kamu sekarang tapi ternyata kamu masih sibuk?"

"Sekarang malah aku yang ganggu kamu 'kan?" Suara Haruto membuat jemari Jeongwoo mendadak berhenti.

Pandangan Jeongwoo berpindah dari laptop ke handphonenya. Dengan cepat ia menggeleng, "Nggak sama sekali. Aku cuma lagi lanjutin tugas yang belum selesai aja." Balasnya sambil mengulas senyum ke Haruto.

"By the way, Haru."

Haruto berdeham. "Hm?"

Jeongwoo menaruh kacamatanya di atas meja. Ia menatap Haruto lurus-lurus. "Where have you been? Maksud aku, belakangan ini kamu kayak ngehindarin aku. Kenapa?"

Pertanyaan yang meluncur dari bibir Jeongwoo membuat Haruto kembali teringat dengan kejadian tiga hari lalu. "Who is Bianca?" tanya Haruto tiba-tiba.

Dari mana Haruto tau Bianca?

"Temenku. Wait.. Haru kamu tau darimana nama Bianca?" Jeongwoo terlihat bingung. Pasalnya ia tidak pernah bercerita memiliki teman di kelas bernama Bianca pada Haruto, atau lebih tepatnya ia tidak pernah memberitahu soal teman-temannya pada Haruto. Begitupun sebaliknya.

Haruto menarik sebelah ujung bibirnya membentuk smirk. Lelaki itu lantas kembali berucap, "Cuma temen atau...?" Jeongwoo yang tidak mengerti maksud pertanyaan Haruto otomatis menyipitkan matanya.

"Haruto, seriously. What do you mean? I don't understand."

Haruto tertawa sarkas. "Temen bisa seenaknya ngangkat telfon orang?"

"Maksud kamu?"

Raut wajah Haruto berubah jadi datar menatap Jeongwoo dari layar handphonenya. "Kamu nggak tau?"

Jeongwoo otomatis menggeleng. Ia benar-benar tidak mengerti arah ucapan Haruto. Haru kenapa?

Haruto berdecak. "Ck, dia ngangkat telfon gue ke lo tiga hari lalu dan sekarang lo bilang lo nggak tau?"

Jeongwoo tentu saja terkejut dengan perkataan Haruto. Bahkan lelaki itu sekarang menggunakan kata 'gue lo' lagi padanya. "Maksud kamu? Kamu telfon aku terus dia yang angkat?"

"Iya."

What the—

"Haru, demi Tuhan aku nggak tau kalo dia angkat telfon kamu. Dia juga nggak bilang apa apa ke aku,"

Haruto tersenyum ke Jeongwoo. Tapi, kali ini Jeongwoo justru jadi takut dengan senyum Haruto. "Kalo dia emang temen lo harusnya dia bilang ke lo, Jeongwoo." Sahut Haruto.

"Haruto, dia beneran cuma temen aku di kampus. Trust me. Tiga hari lalu tuh aku, dia, sama Yedam bel—"

Belum sempat Jeongwoo menyelesaikan ucapannya. Haruto lebih dulu memotong, "Kenapa jadi bawa bawa Yedam?!" Sungutnya.

Jeongwoo mengernyit. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Haruto. "Dengerin aku dulu, Haruto."

Jeongwoo mengatur nafasnya yang memburu. Ia jadi ikut kepancing karena Haruto yang seolah tidak ingin mendengar cerita yang sebenarnya. Di satu sisi ia hanya terlalu takut kalau Haruto benar-benar salah paham dengan Bianca.

"Haru, listen to me." Haruto hanya diam menatap Jeongwoo melalui layar handphonenya.

"Haru, aku waktu itu belajar bareng sama Bianca dan Yedam di perpus buat ujian nanti. Mungkin pas kamu telfon itu aku lagi ke toilet. Aku emang ninggalin hp aku di meja perpus yang kita tempatin. A—"

"Tapi, kenapa dia gak sopan banget main ngangkat telfon orang sembarangan?" Potong Haruto.

Jeongwoo menggeleng. "Aku juga nggak tau. Maaf ya kalo dia lancang angkat telfon kamu.." Jeongwoo benar-benar tidak mengerti kenapa Bianca tidak memberitahunya sama sekali soal ini.

"Kamu nggak perlu minta maaf ke aku atas nama dia, Jeongwoo. Harusnya dia yang minta maaf ke kamu karena udah lancang banget kayak gitu dan nggak ngasih tau ke kamu pula. What's wrong with her? Kalo temen tuh nggak kayak gitu!" Tanpa sadar nada bicara Haruto meninggi.

Jeongwoo menggigit bibir bawahnya. Lelaki itu dapat melihat amarah dari sorot mata Haruto dan tentu saja itu membuatnya takut. I'm scared...

"N-nanti aku t-tanyain ke dia ya."

Haruto mengangkat alisnya melihat perubahan ekspresi Jeongwoo. "Kamu kenapa?" tanyanya bingung.

Jeongwoo menelan salivanya sendiri sebelum menjawab. "A-Aku takut..." Cicitnya. Jujur, dia takut ketika harus menerima amarah Haruto begitu.

Haruto memejamkan kedua matanya sesaat. Sedetik kemudian ia kembali membuka matanya. Tatapannya berubah jadi teduh menatap Jeongwoo di layar handphonenya. Ia sadar kalau sejak tadi nada bicaranya sedikit meninggi pada Jeongwoo.

"Maaf. Aku nggak maksud bentak kamu tadi.." Suara Haruto membuat Jeongwoo mengangkat kepalanya menatap lelaki itu di layar handphonenya.

Jeongwoo tersenyum pahit, "Iya, gapapa." Balasnya pelan.

Haruto, lelaki itu jadi merasa bersalah. Sejujurnya ia tidak berniat membentak atau semacamnya. Dia hanya terlanjur kesulut emosi serta pikiran-pikiran negatif yang mengelilingi isi pikirannya soal Bianca dengan kekasihnya.

"Yang penting kamu udah tau kejadian sebenernya kayak gimana. Lagi pula aku nggak mungkin cheating, Haru."

Haruto menghela nafas berat. Perlahan ia mengangguk pada lelaki di layar handphonenya. Seharusnya dia percaya pada Jeongwoo. "Aku percaya. Tapi jangan deket deket sama dia, Woo. Aku nggak suka. Soal telfon aja dia nggak jujur ke kamu.."

Jeongwoo terkekeh melihat Haruto yang mengerucutkan bibirnya. "Iya."

"I don't like her attitude. Jangan deket deket sama dia. Aku cemburu, bolot."

Haru is so cute when he got jealous

"Haru, kadang aku mikir. Aku tuh macarin anak kuliahan atau anak SMP?" Jeongwoo tersenyum geli.

Haruto menekuk wajahnya. "Aku serius, Jeongwoo." katanya. "Iya, aku juga serius kok sama kamu." Sahut Jeongwoo lagi-lagi menggodanya.

"Bukan itu konsepnya, bolot."

Jeongwoo tersenyum memandang wajah Haruto dari layar handphonenya. Haruto yang dipandangi otomatis jadi menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa kamu senyum senyum liatin aku?"

"Gapapa. Seneng aja denger Haruto manggil 'bolot' lagi. Udah lama nggak denger soalnya," Ucapnya jujur.

"Kamu lebih suka dipanggil bolot dibanding baby, love, my Woo atau semacamnya?" Pertanyaan polos dari Haruto membuat Jeongwoo tertawa geli. "Bukan gitu juga sih, tapi itu panggilan punya tempat tersendiri. Ya, terserah aja mau panggil apa."

Haruto terkekeh. Lelaki yang memakai kaos polos berwarna hitam tersebut lantas bertanya, "Btw tadi kamu bilang belajar bareng buat ujian. Kamu mau ada ujian, Woo?"

Jeongwoo mengambil handphone yang semula ia sandarkan tersebut jadi ia genggam di tangannya sendiri, lantas ia menyandarkan kepalanya di atas meja belajar. Dengan posisi miring ia menatap Haruto dari dekat.

"Iya, mau ada ujian. Doain yaa!"

Haruto mengulas senyum ke arahnya seraya mengangguk. "Selalu. Pacar aku pinter pasti bisa kok ujiannya."

Mendengar pujian dari Haruto membuat pipi Jeongwoo jadi memerah. Ia tersenyum, "Bisa aja! But thanks, Haruto."

"Anything for you, baby."

Jeongwoo terkekeh mendengarnya. Semenjak mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, Haruto memang lebih senang memanggilnya dengan panggilan-panggilan seperti itu. Jeongwoo tidak masalah sebenarnya, dia justru jadi merasa sangat dicintai oleh lelaki berdarah Jepang tersebut.

"Haru udah ngantuk?" tanya Jeongwoo ketika melihat Haruto baru saja menguap. Lelaki itu mengusap kedua matanya yang sudah berair.

"Capek banget hari ini, Woo." Keluh Haruto mengingat hari ini dia full class dari pagi sampai sore. Belum lagi setelah kelas, ia harus membahas rencana kegiatan organisasinya tadi.

"Yaudah tidur duluan aja."

Haruto yang semula duduk di sofa ruang tamu lantas segera beranjak menuju kamar tidurnya dengan tanpa mematikan sambungan video call nya dengan Jeongwoo. Beberapa saat kemudian ia sudah berbaring di atas tempat tidurnya dengan posisi miring ke kiri. "Aku tinggal tidur gapapa?"

"Gapapa."

"Kamu tidurnya jangan kemaleman."

Jeongwoo yang masih dalam posisi kepalanya berbaring diatas meja belajar tersebut hanya mengangguk sekilas. "Selesai nugas langsung tidur. Jangan begadang!" kata Haruto lagi.

"Iya, bawel."

"Temenin aku tidur." Pinta Haruto yang terdengar lebih seperti perintah. Hal tersebut otomatis membuat Jeongwoo mengangguk. Salah satu tangannya lantas mengelus layar handphonenya seolah ia sedang mengelus kepala Haruto.

Haruto tersenyum memandangi wajah Jeongwoo. Wajah yang ia rindukan belakangan ini. Setiap hari ia selalu bertanya pada Tuhan, kapan ia bisa bertemu lagi dengan Jeongwoo secara langsung.

"Good night, Haruto."

Suara Jeongwoo membuat Haruto mengangguk sekilas. "Night too, my precious Jeongwoo." Balasnya sebelum memejamkan kedua matanya untuk pergi ke alam mimpi.

Jeongwoo hanya terdiam memandangi setiap inchi wajah Haruto. Setelah merasa kalau lelaki itu sudah tertidur, ia berbisik sebelum mematikan sambungan video call mereka. "Sweet dreams, Haru."

---

3000++ words. Btw cek part sebelumnya ya kalo belum baca, kemarin aku update juga soalnya.

Continue Reading

You'll Also Like

5.8K 777 25
Terkadang, Takdir bisa menimbulkan luka. Namun bagaimana jika luka yang menimbulkan takdir? Seperti Luka yang dirasakan Sam setelah Junghwan meningga...
4.8K 295 17
tanpa sengaja circle Bella Dama bertransmigrasi ke tubuh empat menantu kerajaan Ligera, mereka bertransmigrasi di flim yang baru saja mereka tonton b...
56.9K 7K 31
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
21.2K 2.8K 10
"Dua hati saling bertaut dalam malam Jatuh cinta Tak pernah bisa saling memandang." - Jack Canfield *Kisah ini dibuat atas ide dari cerita Jack Canfi...