Elemetal Foréa

由 TitanPTY

112K 4.3K 362

Aku tidak percaya tentang ramalan seseorang. Tapi, takdir punya rencana lain. Karena entah kenapa, seluruh ke... 更多

Prolog
Reizen I - Osilon Village : Part 1
Reizen I : Part 2
Reizen I : Part 3
Reizen I : Part 4
Reizen I : Part 5 (Last part)
Reizen II - Vânt City : Part 1
Reizen II : Part 2
Reizen II : Part 3 (Last part)
Reizen III - Weldron Forest : Part 1
Reizen III : part 2
Reizen III : Part 3
Reizen III : part 4 (Last part)
Reizen IV - Aéra City : Part 1
Reizen IV : part 2
Reizen IV : part 3
Reizen IV : part 4 (last part)
Reizen V - Weldron Forest 2 : Part 1
Reizen V : part 2
Reizen V : part 3 (last part)
Reizen VI - Ravenos City : Part 1
Reizen VI : part 2 ( Kitrino's POV)
Reizen VI : part 3
Reizen VI : part 4
Reizen VI : part 5 (last part)
Reizen VII : part 1
Reizen VII : part 2
Reizen VII : part 3
Reizen VII : part 4
Reizen VII : part 5 (last part)
Reizen VIII : part 1
Reizen VIII : Part 2
Reizen VIII : part 3
Reizen VIII : part 4
Reizen VIII : part 5 ( last part)
Reizen IX : part 1
Reizen IX :part 2
Reizen IX : part 3
Reizen IX ( Bonus Part: Lacie's POV)
Reizen IX : part 4
Reizen IX : part 5 (last part)
Reizen X : Duel of Destiny ( part 1)
Reizen X : part 2
Reizen X : part 3
Reizen X : Part 4
Reizen X : part 5 ( last part)
Reizen XI : Part 1
Reizen XI : part 2

Reizen XI : Part 3

2.3K 144 56
由 TitanPTY

Last chapter :

Aku sudah menyendoki supku, saat mataku menangkap sesuatu yang tidak asing di luar. Aku menurunkan sendokku lalu menatap lekat - lekat orang itu. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari siapa dia sebenarnya. Aku segera bangkit dari kursiku.

" Permisi sebentar. Aku harus keluar." Kataku sambil lalu. Aku keluar dari kedai itu.

Vanir's POV

Orang itu belum berjalan cukup jauh dari kedai tempatku makan. Dalam waktu singkat aku sudah berada tepat dibelakangnya. Dia nampaknya tidak menyadari kehadiranku yang berada tepat dibelakangnya. Tanganku bergerak meraih pergelangan tangannya. Tubuhnya membeku seketika ketika tanganku menyentuh kulit tangannya. Dia segera berpaling padaku dengan sikap defensif. Aku senang dia sudah bersikap lebih defensif. Tapi aku tidak suka melihatnya berjalan sendirian tanpa pengawal satupun yang mengawalnya.

Saat tahu bahwa akulah yang menarik tangannya, wajahnya mulai merileks. Tapi, seketika itu juga wajahnya menegang.

" Bukankah kau sudah berjanji padaku untuk bersikap hati - hati selama duel berlangsung? Pergi keluar                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    kastil tanpa pengawal satupun bukan tindakan hati - hati, Lacie."

" Aku tahu itu. Tapi aku tidak punya pengawal yang bisa kupercaya untuk menutup mulutnya dari kakak tentang barang yang akan kubeli. Jangan berpikir macam - macam! Bukan benda - benda berbahaya. Aku tidak mungkin membeli barang - barang seperti itu." Gerutunya sambil melepaskan genggaman tanganku.

" Lalu apa? Katakan yang jelas." Tidak tahukah gambaran masa depannya yang kulihat sangat menghantuiku sejak pertama kali melihatnya?

" Kamu harus berjanji untuk tidak memberitahukannya pada kakak." Aku mengangguk memberikan janjiku. " Aku datang untuk mengambil permen manisan yang kupesan dari negara tetangga."

" Kau memesan permen manisan dari negara tetangga? Kau bercanda kan? Negaramu sendiri kan memproduksi permen manisan." Tanyaku tidak percaya. Aku tahu dia kaya dan semacamnya. Tapi... Ah. Orang kaya memang suka melakukan hal - hal aneh untuk membuang uang mereka. Itu adalah salah satu hal yang tidak kusuka dari golongan atas.

" Ya. Memang di negaraku juga diproduksi. Tapi, xxx di negaraku dan negara tetangga berbeda. Manisan negara tetangga lebih manis. Memang makanan manis tidak baik bagi tubuh dan kakak pun melarangnya. Tapi, kalau sekali - sekali tidak ada masalah bukan?

Nah. Aku harus menemui wanita itu dan kau dilarang mengikuti. Aku akan kembali dalam 20 menit. Kau boleh mencariku kalau aku tidak kembali dalam 20 menit." Dia berbalik lalu berjalan dengan santai ke arah timur kota.

Aku bukan pengawal bodoh yang akan menurutinya dengan berdiam diri disini menunggunnya kembali selama 20 menit. Jadi aku mau menyusulnya secara diam - diam. Tapi sebuah tangan menahanku. Tangan Téchoun. " Lebih baik aku yang menyusulnya. Sekarang wajahmu sudah tidak asing lagi di kota in. Akan sulit mengikutinya dalam diam. Lebih baik kau tunggu saja didalam kedai." Aku tak bisa menolak usulannya karena dia sudah berlari memasuki gang kecil disamping kami.

Aku tidak punya pilihan lain. Téchoun benar tentang sekarang wajahku sudah dikenal di kota ini dan susah untukku melindungi atau sekedar mengikutin Lacie secara diam - diam. Jadi aku kembali ke kedai itu. Supku sudah mulai mendingin. Yah, selera makanku sudah hilang karena menghawatirkan dia. Visiku kemarin memang kejadian itu bukan terjadi di jalanan melainkan di arena Dvoran. Tapi, tetap saja kecerobohannya bisa berakibat lebih buruk dari pada kejadian di visiku.

5 menit. 10 menit. 15 menit telah berlalu. Aku duduk gelisah di tempat dudukku. Dan saat aku gelisah, aku tidak bisa memusatkan pikiranku untuk mengetahui keberadaannya melalui auranya. Yang jelas aku tahu dia tidak berada dalam radius paling tidak 500 m dari tempatku duduk. Aku tidak merasakan auranya berada di sekitarku.

Pada 3 menit terakhir sebelum 20 menit yang dijanjikannya aku merasakan auranya memasuki radius indraku. Rasa lega merembes keluar menutupi rasa gelisah yang dalam 17 menit terakhir ini memenuhi diriku. Aku segera bangkit dari bangkuku, meletakkan 1 koin emas, dan segera keluar dari kedai ini. Tepat saat kakiku menapak tanah di luar kedai, aku melihatnya disudut jalan. Dia menyadari kehadiranku yang menunggunya di depan kedai beberapa saat kemudian. Dia bergegas jalan kearahku dengan senyum menghiasi wajahnya. Sementara dibelakangnya - tentu saja tanpa disadari Lacie - Téchoun berjalan pelan dengan raut tidak terbaca. Bukan topeng datar yang biasanya dia pakai ketika bertugas, tapi lebih kepada sedang berpikir dengan keras tapi juga berusaha untuk tidak memikirkannya.

" Lihat, aku baik - baik saja, bukan? Dan aku sampai tepat seperti waktu yang kujanjikan padamu." Katanya ringan.

" Hm, sebenarnya, kau telat sekitar 2 menit, Lacie."

Bibirnya lansung melengkung cemburut saat mendengar pendapatku. " Hanya 2 menit." Gerutunya.

" Baiklah, kita lupakan masalah itu mengingat kau sudah berada disini. Jadi, apa kau mau kembali ke kastil atau langsung menuju kompleks Dvoran?"

" Langsung ke balai. Aku sudah memberitahu kakak akan langsung ke balai bersamamu." Jawabnya kembali tersenyum manis.

" Bersamaku? Aku tidak pernah ingat untuk janjian denganmu saat ke kompleks Dvoran bersama - sama. Atau, kau kembali menggunakanku sebagai alasan kepada kakakmu? Ya ampun. Apakah aku harus selalu menjadi alasanmu?" Tanyaku kesal. Tiba – tiba saja hal mengenai aku yang selalu menjadi alasannya untuk kabur dari para pengawalnya membuatku lebih kesal dari pada rasa kesal yang biasanya. Aku berbalik dan berjalan meninggalkannya.

Aku memang selalu kesal kalau Lacie sedang menjadikanku sebagai alasannya untuk lepas dari pengawalnya saat berhadapan dengan Kítrino. Kítrino memang tidak pernah berkomentar terlalu banyak kalau Lacie sedang bersamaku dan aku seharusnya bangga atau apa karena dipercaya olehnya. Tapi, di sisi lain hatiku, aku tidak suka dijadikan tameng perlindungan dari hal - hal remeh seperti ini. Atau lebih tepatnya aku tidak suka dijadikan tameng oleh orang lain diluar kehendakku. Aku akan dengan senang hati melindungi Lacie. Tapi tidak dengan cara seperti ini.

Aku mendengarnya memanggil namaku. Tapi, aku tetap berjalan. Aku tahu sikapku saat ini seperti anak kecil dan sayangnya saat ini aku tidak peduli bagaimana aku terlihat dimatanya. Lebih baik aku pergi darinya daripada kekesalanku meledak dihadapannya. Aku tidak mau kekesalanku meledak dihadapannya. Hati kecilku tidak membiarkanku melakukannya. Dan aku memang tidak mau meluapkan emosiku padanya. Jadi, aku hanya terus berjalan ke arah gerbang timur kota.

***

Aku tidak punya tujuan tertentu. Hanya berjalan menjauh dari kerumunan kota yang mulai mengenaliku dan memandangiku kemana pun aku melangkah. Aku sedang tidak                                                                                                                                           dalam kondisi untuk diam dan berpura – pura mereka tidak sedang melihatku dan aku takut amarahku akan meledak saat aku tidak tahan menjadi pusat perhatian masyarakat kota. Alhasil, saat ini kakiku membawaku ke gerbang timur kota.

Gerbang timur tidak jauh berbeda dengan gerbang selatan, satu – satunya gerbang yang pernah kulewati saat memasuki kota Ravenos ini. Gerbang terbuka lebar, walau begitu, para penjaga gerbang tetap mengawasi dengan mata yang sangat teliti siapa saja yang masuk dan keluar kota. Tidak terkecuali aku. Sang penjaga menatapku dengan mata elangnya dalam sepersekian detik, lalu tersenyum kepadaku setelah menyadari siapa yang sedang berjalan melawati gerbangnya. Dia melambai padaku dan aku membalas dengan sebuah anggukan tegas. Sang penjaga kembali ke posisi siaganya dan mulai lagi memindai dengan mata elangnya siapa saja yang melewati gerbangnya.

Setelah gerbang, jalan lebar berbatu berubah menjadi sebuah jalan setapak kecil yang berkerikil. Jalan yang hanya bisa di lalui satu kereta kuda. Aku berjalan lambat menyusuri jalan itu. Kepalaku penuh dengan pikiran – pikiran untuk menenangkan diri dan mengendalikan amarahku yang sudah mulai mengumpul di dadaku. Aku hanya berjalan dan berjalan hingga tidak sadar aku sudah berjalan cukup jauh dari kota. Aku berhenti melangkahkan kakiku dan melihat jalanan yang kosong di depanku atau pun di belakangku. Dan aku merasa aneh dengan keadaan ini. Apa aku salah jalan? Tidak. Sejak tadi aku tidak menemukan cabang jalan yang mencurigakan dan aku mengambil jalan yang paling besar diantara ketiga jalan setapak berkerikil ini.

Aku memandang sekelilingku. Hanya ada pepohonan dan suara – suara burung yang berkoak sangat keras di atas pepohonan. Disela – sela dedaunan, aku melihat banyak burung berwarna hitam dan putih yang berterbangan di langit. Mereka terbang berputar sambil berkoak – koak. Dan semakin lama aku mendongak menatap langit, semakin banyak burung – burung berbulu hitam dan putih seutuhnya berkumpul dan terbang berputar tepat diatas kepalaku. Beberapa dari mereka terbang rendah dan bertengger di dahan pohon tak jauh dari tempatku berdiri. Tidak lama kemudian burung – burung lain juga ikut terbang rendah dan bertengger pada dahan pohon yang mengelilingiku. Bahkan beberapa diantara mereka ada yang hinggap di pundakku.

Aku sebenarnya tidak keberatan dihinggapi oleh satu burung, karena aku juga punya Rezer, tapi tidak dengan hampir 10 burung yang mencoba hinggap di pundakku. Aku mengusir mereka dengan kedua tanganku, tidak ada niat untuk melukai mereka, hanya ingin membuat mereka menjauh dariku. Dan sayangnya usahaku tidak membuahkan hasil. Untuk sesaat, mereka memang menjauh dariku. Tapi setelah tanganku berhenti bergerak, mereka kembali datang untuk hinggap di pundak atau kepalaku. Ada apa dengan mereka? apa mereka tidak pernah melihat manusia dan menganggapku sebagai musuh mereka? menurutku tidak. Karena mereka tidak berusaha menyerangku. Hanya berusaha hinggap di pundak atau kepalaku. Mereka terlihat seperti tertarik padaku atau apa pun itu. Ya ampun.

Aku masih terus mengayunkan tanganku untuk mengusir mereka, sampai ada sebuah bayangan gelap berada di atas kepalaku. Aku mendongak dan mendapati seekor burung berwarna hitam dengan bulu berwarna merah di ujung sayap dan ekornya sedang terbang di kepalaku. Burung itu terbang angkuh diantara burung – burung lainnya. Aku tidak mengenal burung itu sampai dia terbang begitu dekat denganku dan mataku bertemu mata dengannya. Burung itu adalah Rezer.

Aku terperanjat menatapnya. Sudah hampir 2 minggu aku tidak melihatnya dan dia sudah tumbuh sebesar itu dan tumbuh semakin indah. Secara otomatis, tanganku terangkat dan cakar – cakar Rezer langsung mecengkram tanganku. Dia bertengger di tanganku. Kedua sayapnya yang masih terentang sekarang sudah sepanjang lenganku dan bobotnya juga bertambah. Dengan satu sayap yang masih terbuka, dia mengusap kepalanya. Sebuah kebiasaan yang kuanggap lucu sampai sekarang. Setelah selesai mengusap kepalanya, dia melipat kedua sayapnya dan bergeser hingga akhirnya dia tidak lagi bertengger di tanganku yang mulai bergetar karena bobotnya yang bertambah, melainkan di pundakku. Aku cukup terpesona padanya hingga tidak menyadari burung – burung yang tadi mencoba hinggap di pundak dan kepalaku sudah tidak berada di sekitarku. Mereka semua sudah menjauh dariku dan bertengger di dahan – dahan pohon terdekat.

Aku masih menikmati pemandangan menakjubkan burung – burung indah ini sebelum ebuah suara derak dahan pohon yang terinjak terdengar di belakangku dan membuatku terkesiap dan langsung menarik salah satu pedangku sambil berbalik. Aku menemukan seorang pria paruh baya yang menggunakan mantel berpergian yang mulai kotor sedang berjalan tenang ke arahku. Instingku mengatakan kalau orang ini tidak berbahaya, jadi aku menurunkan bilah pedangku tapi tidak menyarungkannya.

“ Ini kejadian luar biasa yang jarang terjadi, bukan begitu, Vanir?”

繼續閱讀

You'll Also Like

234K 19.6K 25
••Alethea Andhira Gadis cantik yang memiliki kehidupan sederhana memiliki sifat rendah hati dan ramah. Sosoknya yang cantik tidak membuatnya memiliki...
1.9M 127K 70
Seorang dokter yang mencintai tenang dan senyap, juga tidak banyak bersuara, berbanding terbalik dengan apa yang harus dihadapinya. Flora Ivyolin yan...
791K 2.7K 11
🔞 cerita ini mengandung adegan dewasa
7.4M 98.7K 9
Gimana jadinya kalau kalian menjadi Hana yang tiba-tiba menjadi istri yang akan diceraikan dan bukan itu aja tapi Hana juga tiba-tiba memiliki anak k...