Benar kata orang derita mahasiswa semester akhir adalah derita yang sangat memuakkan. Dimulai dari skripsi, revisi, bimbingan dan lain sebagainya tentunya sangat menyita banyak waktu.
"Nih liat," Pak Arkan meletakkan skripsi gue di meja. Tangannya mencoret beberapa kalimat di sana. "Ini sampai sini kamu revisi ulang."
"Revisi lagi?" Gue membeo tidak percaya.
"Iya." Pak Arkan mengangguk, "Makanya yang teliti kalau ngerjain sesuatu."
"Pusing ..." Gue menjambak rambut frustasi. Makin lama makin susah ternyata. "Bantuin aku kek."
"Lah, kan ini aku bantuin kamu." Pak Arkan mengerutkan dahinya, "Bantu apa lagi emangnya?"
"Kamu itu membantunya sebagai dosen aku," Gue berdecak sebal, "Aku butuhnya kamu ngebantuin aku sebagai suami aku."
"H-hah?" Pak Arkan menatap gue tidak mengerti, "Maksudnya?"
"Tau ah." Gue mengambil alih skripsi dari tangan dia.
Pak Arkan memeluk gue dari samping, dia mengecup pipi gue bertubi-tubi. "Kalau ngerjain sesuatu itu jangan sambil marah-marah bukanya cepat beres tapi makin berantakan."
"Ya habisnya gimana dong?" Gue mendesah pelan dan menutup muka dengan telapak tangan.
"Ngerjainnya pelan-pelan," Pak Arkan memberi tahu, "Aku yakin kamu bisa."
Gue menatap wajah pak Arkan lama. Tumben banget laki gue waras kaya gini biasanya kalau lagi berduaan gini tuh dia rese banget. Sekarang kagak, wah curiga gue pasti nih orang ada mau nya.
"Kenapa ngeliatin aku kaya gitu?" Tanya pak Arkan.
"Enggak, aneh aja." Ujar gue jujur.
"Aneh?"
Gue menyorot pak Arkan curiga, "Ayolah, kamu baik sama aku karena ada maunya kan?"
"Dosa Ley! Nuduh yang enggak-enggak sama suami sendiri."
Gue meringis, "Aku tau kamu."
Diam-diam pak Arkan tersenyum aneh.
Tuh kan apa yang gue bilang benar. Dia emang jarang banget bersikap semanis ini sama gue kalau urusan kampus.
"Jangan dekat-dekat!" Gue melepaskan paksa lilitan tangan kekarnya, "Awas aja kalau mesum!"
Gagal.
Pak Arkan semakin mengeratkan pelukannya.
Lampu merah. Jaga jarak aman kalau udah kaya gini.
"Apaan sih, orang aku cuma peluk doang." Ucapnya memalas.
Gue mengembuskan nafas lega.
"Tapi boong." Lanjut pak Arkan.
Gue menatap pak Arkan horor, "Jangan minta yang aneh-aneh."
"Setelah kamu lulus kuliah kita honeymoon dong ya?" Pak Arkan melirik gue berbinar.
Gue mengedipkan mata. Seolah otak gue enggan untuk mencerna ucapan pak Arkan barusan. "H-honeymoon?"
"Jangan bilang kamu enggak mau." Pak Arkan memandang gue sengit, "Jangan gila Ley!"
"Aku masih waras." Ujar gue kesal. Pikiran pak Arkan udah nyampe sejauh itu ternyata. Berbanding terbalik sekali sama jalan pikiran gue. "Skripsi aku aja belum selesai udah mikir sampe sejauh sana."
"Makanya cepetan selesai-in."
"Susah!"
Tuhkan ngegas gue.
"Sensi amat sih kamu hari ini," Pak Arkan bertanya heran.
"Diam jangan ngomong." Desis gue.
Pak Arkan menurut. Cowok itu langsung membungkam mulutnya.
"Mas." Panggil gue pelan.
Tidak ada sautan.
"Mas Arkan." Panggil gue lagi.
Masih sama, nihil.
"PAK ARKAN!" Jarit gue kencang.
"Apa sih teriak-teriak?" Pak Arkan mengusap-ngusap telinganya sendiri.
"Makanya kalau dipanggil itu sahut dong." Ucap gue nyolot.
"Tadi kan disuruh diam." Cowok itu membela diri, "Diam salah, bicara mulu salah."
"Tadi kamu kan nawarin aku honeymoon." Gue berbicara pelan, "Honeymoon kemana?"
"Terserah kamu."
"Paris?" Gue menggigit bibir bawah gugup.
"Paris?" Pak Arkan berbalik bertanya. Gue mengangguk. "Kok pilih paris?"
"Emangnya kenapa?"
"Jawab aja," Pak Arkan melepaskan pelukannya. Dia menatap gue serius.
"Yaa ... Paris kan negara yang romantis." Jawab gue asal.
"London juga romantis." Tungasnya.
"Semerdeka kamu!" Gue bangkit. Bawaannya kesel mulu gue tiap adu mulut sama pak Arkan hari ini.
"Aku kan tanya kenapa jadi marah?" Pak Arkan mengikuti gue dari belakang menuju kasur.
"Tadi kan kamu bilang, terserah. Terus aku jawab paris. Kamu malah bilang london." Gerut gue sebal.
"Kan aku ngasih pendapat."
"Tapi kamu bilang barusan terserah." Gue merebahkan diri dikasur dan memunggungi pak Arkan.
"Iya aku salah, aku minta maaf." Pak Arkan mengalah.
Gue terdiam. Mencoba memejamkan mata. "Aku enggak marah. Hormon aku lagi enggak bagus."
"Kamu besok ngantor?" Gue mengalihkan pembicaraan.
Pak Arkan menggeleng, "Enggak tau."
"Kalau cape enggak usah dipaksain, gak baik."
Sekali lagi pak Arkan mengangguk.
***
Hampir dua jam lebih gue mencoba tidur tapi gagal.
Gue insom. Sial!
Pak Arkan udah terlelap sejak tadi.
Perlahan gue melepaskan pelukannya dan berhasil kemudian turun dari ranjang secara pelan-pelan dan berhasil lagi.
Gue berjalan menuju meja belajar. Membuka laptop untuk mengerjakan revisi yang pak Arkan bilang. Daripada insom gue dipakai dengan hal yang unfaedah mending buat belajar.
Gue duduk di atas sofa berhadapan langsung dengan televisi. Memandangi layar laptop yang berisi skripsi itu dengan serius. Hingga waktu berjalan begitu cepat.
Seseorang merebahkan kepalanya di atas paha gue. Hampir aja gue mau teriak kencang tapi gak jadi setelah melihat orang itu pak Arkan.
"Kok malah tidur disini?" Gue menunduk.
Pak Arkan memandang gue dari bawah dengan seekor lantas tertidur lagi.
Gue menghela nafas pelan. Menepuk-nepuk pipinya. "Tidur dikasur, ntar badan kamu sakit."
"Gak mau."
Dahi gue mengerut seraya memperhatikan pipi pak Arkan yang memerah karena gigitan nyamuk, mungkin.
"Ini kenapa?" Gue memegang pipi kanannya.
Pak Arkan tidak merespon tapi gue bisa merasakan gesekan pelan kepalanya dipaha.
Gue mengambil obat oles dan dipakaikan ke pipi nya.
***
"Akhirnya ..." Gue merenggangkan otot-otot tangan yang sudah menegang. Menyandarkan kepala ke sofa.
Pukul 02:15
Lama juga gue revisinya. Mata gue terasa berat seakan minta di istirahatkan.
"Anak ini ..." Gue menggeleng kepala pelan saat melihat pak Arkan tidurnya tidak terusik sama sekali. "Mas bangun."
"Ayo tidur di kasur."
"Udah?" Pak Arkan bertanya dengan suara serak dan bangun dari sofa berjalan sempoyongan menuju kasur.
"Udah." Gue mengangguk.
"Awas!" Gue terpekik kaget saat pak Arkan mau menabrak meja kecil tempat gue mengerjakan tugas, "Jalan itu sambil buka mata bukan merem."
"Ngantuk Ley."
Gue hanya mengangguk mengiyakan. Percuma menjawab perkataan pak Arkan yang setengah sadar.
***