Narasi, 2021✔

By Tenderlova

3.7M 661K 229K

[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA Bulan juni datang lagi. Padahal sisa-sisa juni tahun lalu belum se... More

Introducetie
1. Kemarau Merindu
2. Takut Melepaskan
3. Rasa dan Karsa
4. Bahagia yang Sederhana
5. Sekecap Terima Kasih
6. Cocok dan Pas
7. Namanya Rumpi
8. Elegi Tentang Kita
9. Kenangan di Hari Minggu
10. Jalan Otto Iskandardinata
11. Bertanggungjawab pada Sedih
12. Sekeping Koin Kerok
13. Arti Sebuah Melepaskan
14. Rumput Tetangga Lebih Hijau
15. Warna yang Tak Lagi Sama
17. Cerita sama Abang, Ada Apa?
18. Dialog: Ramai yang Sepi
19. Kenapa Selalu Es Kiko Rasa Anggur?
20. Lagu Minor
21. Waktu yang Tepat untuk Berpisah
22. Sayonara, It's Been Nice to Love You!
23. Ruang Tanpa Obrolan: Pada Jakarta
24. Garis Tipis Sedih dan Bahagia
25. Tentang Bumi, Rumpi dan Magandhi
26. Untuk Mendekap Diri Sendiri
27. Kita yang Masih Bersiteru
28. Lagu yang Tak Selesai
29. Ruang Kita yang Berantakan [FINAL]
Pre-Order NARASI, 2021

16. Cerita dari Anak Kedua

105K 21K 3.4K
By Tenderlova

Saat aku jatuh bangun, selalu ada kamu
Saat aku susah senang, juga ada kamu
Terima kasih, sebab telah bersedia berjuang bersamaku

***


Langit membiru, mengusir jauh awan-awan kelabu yang sejak pagi bergelung di sudut langit. Sebagian orang berpikir hujan akan segera turun. Tapi beranjak siang, matahari kembali muncul dan hari nampak begitu cerah.

Di bawah pohon tabebuya yang belum berbunga, Eros menikmati keterdiaman nyaman antara dirinya dan Rania. Diam yang justru membuat keduanya bersedia bertahan di sana sedikit lebih lama.

Sesekali Rania bergumam pada permen kapas warna biru muda yang semakin lama semakin habis ia gerogoti. Sementara di sampingnya, Eros hanya terdiam menyaksikan Cetta dan Jaya yang terlihat heboh bermain zig zag dari kejauhan. Sesekali Cetta akan menabrakkan mobilnya ke bagian belakang mobil Jaya dan membuat bocah itu marah-marah karena kaget.

"Kira-kira, aku layak nggak ya, Ran, disebut sebagai kakak?" tanya Eros, pandangannya tiba-tiba dipenuhi kekosongan. Namun dalam kekosongan itu, kepalanya justru terasa seperti berkabut dan ia terjebak di sana tanpa tahu kemana ia harus pergi mencari jalan keluar. Ia terus berputar-putar, tenggelam dalam kabut gelap yang tak ia kenali.

Di sampingnya, Rania seperti tidak menyangka bahwa Eros akan bertanya padanya dengan pertanyaan seperti itu. Karena menurut Rania, tidak laki-laki yang terlihat begitu sempurna seperti Eros. Meski kadang judes, kadang galaknya tidak ketulungan, Eros adalah laki-laki baik. Pacar yang baik, anak yang baik, rekan yang baik dan kakak yang baik. Dia benar-benar definisi baik yang Rania pahami.

Sejenak gadis itu menarik napas rendah. "Kok Mas ngomongnya gitu?" Rania memutuskan untuk menyudahi merobek-robek permen kapasnya. Mungkin setengah jam dari sekarang, permen itu akan mencair, habis dimakan angin.

"Ditinggal pergi Sastra membuat aku sadar, Ran, selama ini aku nggak pernah ngasih apa-apa buat mereka. Tanpa sadar aku selalu menuntut mereka untuk selalu jadi nomer satu. Aku lupa kalau mereka cuma anak-anak biasa, mereka punya keterbatasan. Kadang mereka selalu berburuk sangka, kadang mereka selalu nggak percaya diri, kadang mereka merasa iri. Aku nggak pernah bantu mereka buat mengatasi masalah itu. Sampai akhirnya aku sadar, mereka mengatasi masalah-masalah itu sendirian dengan pengetahuan yang terbatas. Aku pikir setelah Bang Tama ke Balikpapan, aku udah cukup bertanggungjawab untuk mereka semua, tapi ternyata enggak. Selama ini aku nggak ngapa-ngapain, Ran." Eros tersenyum kecut, sembari menilas kenangan di sebuah hari yang telah lama usai. Ia mengurai kegelisahannya perlahan-lahan, sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya ia kembali menjumpai rasa sesak itu memeluk pundaknya begitu kuat. Bahkan jauh lebih kuat dari yang semalam ia rasakan.

"Mereka selalu aku kasih uang, apapun yang mereka perlukan selalu aku kasih. Aku nggak mau kebutuhan mereka kurang. Aku kerja keras supaya Mama sama adik-adikku hidup nyaman, supaya Bang Tama sama Bapak di atas sana bangga sama aku. Tapi ternyata itu semua nggak cukup, Ran. Uang bisa aku cari, rumah bisa aku bangun, tapi adikku yang udah nggak ada, harus aku cari kemana?" Eros menoleh dengan senyum tipis. Walau sepasang matanya dipenuhi air mata, tapi senyum itu masih ada di sana.

Tanpa laki-laki itu sadari, Rania menghela napas panjang. Gadis itu pikir, segala ratapan soal kehilangan sudah usai. Ia pikir, kini mereka hanya perlu mengenang dan berusaha untuk tetap melanjutkan hidup sebagaimana harusnya. Memang, baginya hari berkabung itu sudah selesai sejak lama. Tapi kelihatannya bagi Eros tidak. Awan gelap di hari berkabung saat itu ternyata masih mengikuti langkahnya sampai hari ini. Membayang-bayanginya dengan kekelabuan yang sendu. Sekan-akan setiap harinya hanya diisi mendung, siap hujan kapan saja.

Rania tidak bisa berkata banyak. Gadis itu hanya diam mendengarkan. Batang permen kapas sudah ia lepaskan, kali ini, tangannya mengenggam telapak tangan Eros. Semoga dengan begini, laki-laki itu percaya, bahwa Rania akan selalu ada di setiap rasa sakitnya.

"Aku ikhlas dia pergi, Ran. Meskipun ada banyak hal yang aku sesali, aku nggak mau dia masih tertahan di sini. Tapi lama kelamaan aku justru makin benci sama diriku sendiri. Aku nggak pernah tanya ke adik-adikku apa mereka bahagia atau enggak, apa mereka baik-baik aja atau enggak. Aku merasa gagal."

Lama sekali Rania terdiam, akhirnya dia berani membuka suara. Katanya, "Sampai sekarang aku belum pernah nemu buku Seni Menjadi Kakak yang Baik beredar di pasaran. Mas tahu kenapa? Karena menjadi anak, menjadi kakak, menjadi adik, menjadi seseorang, itu hal pertama bagi kita. Sama setiap kali Sastra nanya, jadi manusia yang baik itu yang gimana? Pertanyaan kalian sama-sama nggak punya jawaban. Nggak ada definisi kakak yang layak atau manusia yang baik, karena kita sama-sama pertama kali jadi manusia. Dan kamu baru kali ini jadi seorang kakak."

Eros terdiam. Perlahan-lahan dia memikirkan kata-kata Rania. Lumayan bisa ia mengerti.

"Aku belum pernah cerita sama kamu soal Jaya ya, Ran?" kata laki-laki itu, menoleh dengan senyum sumir.

"Yang mana?"

Untuk sesaat, Eros tersenyum kecut. Dari kejauhan, dia masih menemukan Jaya tertawa karena mobilnya berhasil menabrak mobil yang dikendarai kakaknya. Tapi alih-alih marah, Cetta justru kelihatan baik-baik saja. Anak itu tertawa saat Jaya juga tertawa.

"Cerita dua tahun yang lalu, waktu dia baru masuk SMA. Aku baru balik dari Bogor waktu itu, sengaja nggak mampir kantor soalnya udah agak sore. Karena capek seharian nyetir mobil, aku mau nonton di ruang tengah. Setelah nyalain laptop, pakai kacamata dan aku taruh cangkir kopi, aku dengar anak itu bilang gini, "Enak ya jadi anak pinter. Mau apa aja nggak perlu susah-susah. Karena dia pinter, dia udah dapat apa aja yang dia mau." Aku nggak jadi nonton film, aku dengerin apa yang mau dia katakan sore itu. "Ya bukan mau aku juga terlahir goblok. Tapi bisa kan, aku diperlakukan dengan adil? Aku punya perasaan juga loh." Masalahnya, dia bilang kayak gitu kelewat santai, Ran. Seolah-olah itu bukan sesuatu yang harus diurusi. Tapi ternyata, aku salah. Aku nggak tahu kalau saat itu, Jaya diam-diam melihat ke arah jendela, menahan sekuat tenaga untuk nggak nangis. Aku nggak tahu kalau saat itu, dia menahan sesak sebab diperlakukan nggak adil. Kenyataannya, semua orang nggak akan bisa adil kan? Tapi seenggaknya, aku-- maksudku, kami. Seenggaknya kami bisa paham, bahwa dia juga butuh diperhatikan."

"Mas, lihat aku coba..." Eros menoleh saat jemari tangan Rania meraih rahangnya. Sepasang nayanika gadis itu menenangkan. Eros seperti dibawa terjun ke dalam telaga di sebuah hutan lebat yang belum sempat dijamah manusia. Dimana airnya terasa sejuk, sedangkan dia adalah raga gersang yang didera kemarau panjang.

"Kamu udah mencoba sebisa kamu. Ini bukan kegagalan, ini bukti kalau nggak ada satupun manusia yang bisa sempurna. Nggak pa-pa kalau kamu merasa ini semua nggak cukup, tapi jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Kamu masih punya waktu buat tanya ke adik-adik kamu apa mereka sekarang bahagia atau enggak, apa mereka baik-baik aja atau enggak. Kalau dengan begini kamu menganggap diri kamu gagal, apa kamu nggak mencoba berpikir soal Bang Tama? Dia anak sulung, apa yang kamu rasakan, pasti lebih sulit buat dia."

Eros langsung membisu. Ia ingat betapa bahagianya Bang Tama kembali pulang setelah sekian lama hidup di tanah rantau. Tidak pernah sehari pun Eros menemukan wajahnya suram. Tama bahagia sebab lamarannya akhirnya diterima dengan baik. Kabar pernikahan akhirnya disetujui untuk dibicarakan lebih lanjut. Sampai akhirnya malam itu, Eros menemukan kakaknya terduduk di depan ruang ICU seperti raga yang tak bernyawa. Ia muram semuram-muramnya. Dan yang lebih memuakan malam itu adalah, Tama tersenyum padanya. Berkata bahwa tidak apa-apa sebab itu memang sudah jalannya. Padahal Eros tahu, Tama lebih remuk dari hatinya sendiri. Tama lebih hancur dari kehancurannya sendiri.

Kepulangannya hanya untuk merayakan kehilangan yang begitu mendadak. Sampai ia lupa betapa bahagianya ketika ia membuka pintu untuk pertama kali setelah bertahun-tahun.

"Iya, kamu bener, Ran. Aku sampai lupa kalau Bang Tama juga pasti ngerasa kalau ini semua sulit." kala itu Eros menunduk, tersenyum pada ujung-ujung sepatunya yang mulai usai. "Makasih ya, Ran."

Rania hanya menjawabnya dengan senyum tipis. Kemudian mereka berdua terdiam. Diam yang membuat mereka kembali sama-sama nyaman.

Dulu, Rania pikir bahwa dia butuh seseorang yang bisa ia ajak jatuh cinta sepuasnya dengan hal-hal manis penuh kejutan. Tapi lama mengenal Eros, ternyata Rania lebih membutuhkan ini. Pasangan yang tidak pernah menuntut, pasangan yang tidak pernah menebar janji palsu. Rania lebih butuh pasangan yang sudi mengajaknya diskusi, membicarakan apa saja bahkan seremeh harga kue lumpur di Pasar Kue Subuh, sampai bangunan urban legend masyarakat di kawasan Dago Atas.

Rania tidak pernah keberatan saat Eros mengajak adik-adiknya saat mereka janji jalan berdua. Rania tidak keberatan jika dia harus jadi nomor sekian di hidup laki-laki itu. Rania hanya merasa, apa yang dia punya sekarang ini sudah lebih dari cukup. Hubungannya dengan Eros selalu mendapat dukungan baik. Dia bukan hanya dijadikan pacar, tapi juga bagian dari keluarga. Dia bukan sekedar singgah, tapi direncanakan oleh laki-laki itu untuk menjadi tempatnya menetap. Lantas, apa alasannya untuk tidak bahagia?

Siang itu berakhir dengan mereka makan bakso di pinggir jalan. Menghabiskan 65 ribu untuk 4 mangkuk bakso, 2 lontong dan 4 gelas es teh manis. Tapi mereka bahagia. Meski asap kenalpot lebih pekat dari aroma bakso, meski bisingnya jalanan mengalahkan gelak tawa mereka, segalanya terasa cukup. Sangat cukup.

Sebab sejak awal mereka terbiasa untuk tidak meminta lebih pada Tuhan. Mereka hanya bekerja keras semampu mereka, lalu menerima dengan lapang apa yang seharusnya mereka terima. Termasuk, pahit getir dalam hidup mereka. Tidak apa-apa sedikit terseok, selama mereka masih punya seseorang untuk ditoleh ke belakang.

"Tidak apa-apa, masih ada dia di sana."

Hanya itu yang bisa mereka percaya. Karena mereka tidak benar-benar sendirian.

○○○》♡♡♡《○○○


Hari ini, Nana tidak bisa dihubungi lagi. Tapi tadi subuh, laki-laki itu sempat mengirim pesan dan berkata bahwa dia ada seminar hari ini. Gayatri ingat, beberapa minggu belakangan Nana disibukkan dengan acara besar di kampusnya. Tapi meskipun ia sudah tahu tentang kesibukan pacarnya itu, ia masih tidak selera makan.

Gado-gado yang dibelikan Alisa barusan baru seperempat ia sentuh. Karena ia sudah kenyang, sisanya ia biarkan bercumbu dengan angin sampai dingin. Di luar gedung, di atas ketinggian lantai delapan, ia menemukan kabut memenuhi kota Jakarta. Mendung yang semula kelihatan jauh, perlahan-lahan mulai mendekat. Di pantry, ia sendirian memikirkan banyak hal. Tapi perasaannya memburuk saat ia menemukan Ibram masuk dengan dua cup kopi.

"Mikirin apa?" tanya laki-laki itu. Ia tersenyum manis setelah menyodorkan satu cup kopi yang baru saja dibelinya tepat di hadapan Gayatri.

Dengan senyum kecut, Gayatri menyentuh kopi itu. "Mas Ibram?" kopi itu hangat, tapi Gayatri sadar benar bahwa perasaannya terasa begitu dingin.

"Kenapa, Ya?" laki-laki itu menjawab dengan suara tenang. Senyumannya terpatri indah, sementara tatapannya berlari lembut pada satu-satunya perempuan di hadapannya.

"Di Jakarta, ada banyak sekali perempuan yang lebih baik dari saya."

"Memang, yang jauh lebih cantik juga ada." jawabnya. Setelah mengatakan kalimat itu, Ibram terkekeh.

"Terus kenapa harus saya?"

Awalnya, Ibram tidak ingin berlama-lama karena ada banyak sekali pekerjaannya yang belum selesai. Tapi begitu Gayatri bertanya kenapa harus dia, Ibram terdiam. Keinginannya untuk kembali ke ruangannya menghilang begitu saja. Lalu ia memandangi paras ayu gadis itu dengan lekat. Di hadapannya, Gayatri menitihkan air mata.

"Kenapa harus saya yang Mas Ibram tekan? Karena Mas Ibram, ibu saya jadi berubah. Beliau bukan lagi ibu yang saya kenali dulu. Saya tertekan karena kemauan beliau yang ingin saya menikah sama Mas Ibram. Sejak saat itu, saya berpikir kenapa hal-hal yang saya inginkan tidak berjalan dengan baik. Semua yang sudah saya rencanakan matang-matang seakan berbalik mengkhianati saya. Apa sampai di sini Mas Ibram nggak bisa memahami saya?"

"Kamu sendiri nggak bisa memahami saya."

Mendengar itu, Gayatri tersenyum kecut. "Berarti Mas Ibram egois. Saya menolak Mas Ibram bukan tanpa alasan, malah saya sudah menolak dengan baik-baik. Saya sudah punya pacar dan saya bahagia bersama dia."

Ibram terdiam. Dulu, dia pernah patah hati. Gadis yang dipacarinya sejak kelas 1 SMA tiba-tiba saja mengkhianati dirinya. Ibram menemukannya berkencan dengan sahabat baiknya tepat satu bulan setelah mereka bertunangan. Hubungan yang telah terjalin 5 tahun kandas dengan pahit yang berbekas lama. Sampai akhirnya ia bertemu lagi dengan Gayatri, bekas luka itu perlahan-lahan tersamarkan. Ia belum sepenuhnya pulih, tapi kehadiran Gayatri jelas membuat perasaannya membaik.

Selama ini Ibram seolah berdiri di sebuah terowongan panjang dan ia menemukan sosok Gayatri di ujungnya. Jadi dengan tekad kuat, Ibram mencoba untuk berjalan ke arahnya. Tapi setelah Gayatri menangis dan berkata seperti itu kepadanya, Ibram sadar bahwa meskipun ia melihat Gayatri di ujung terowongan itu, keberadaannya terlampau jauh untuk ia datangi. Di tengah jalan ia kelelahan. Sampai akhirnya di titik ini, ia tidak tahu berapa jauh tepatnya Gayatri berada.

"Saya hanya ingin mengusahakan kamu. Dengan begini, kamu akan tahu kalau saya sungguh-sungguh sama kamu." tuturnya.

Bagi Gayatri, menghadapi Ibram selalu berakhir melelahkan. Jadi tanpa berpikir panjang, ia pergi meninggalkan laki-laki itu. Lalu dalam perjalanan kembali keruangannya, otak dan perasaan Gayatri berkecamuk. Kapan Ibram akan mengerti bahwa kesungguhan itu telah melukai dirinya?

Namun di tengah perjalanan, di sebuah lorong yang sepi, tiba-tiba hak sepatunya patah. Akhirnya, ia menangis keras di sana.

"Kenapa sih nggak bisa sekali aja segala hal berjalan sesuai apa yang gue mau? Sesusah itu buat gue seneng?! Ini lagi! Kenapa sih lo pakai patah segala? Kenapa di saat gue baru ngerasa bahagia sedikit, ada aja masalah. Kenapa nggak ada yang berpihak sama gue?!! Sepatu sialaaan!"

Gayatri tidak pernah tahu, bagaimana Ibram menatapnya dengan pandangan sendu. Di balik punggungnya, Gayatri tidak pernah tahu bahwa Ibram sekuat tenaga menahan diri untuk tidak memeluk pundaknya yang bergetar.




Bersambung...

Janjiku sudah tuntas ya. Double update untuk 1juta vote Tulisan Sastra. Dan terima kasih banyak untuk dukungannya sampai hari ini❤

"Dan terima kasih telah menjadi
yang terbaik yang kalian mampu."

- Narasi, 2021 -

Continue Reading

You'll Also Like

51.6K 8.8K 17
"Hai, Oceanaku, Sayangku, Lautku, sumber tenang dari segala gundahku. Tanggal berapa dan bulan apa kamu membuka tulisan seadanya ini?" // status: fin...
171 94 9
𝒉𝒂𝒊𝒊 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒊𝒚𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒏𝒚𝒆𝒓𝒂𝒉 𝒚𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 . 𝒘𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒅𝒆𝒕𝒊𝒌 𝒚𝒂𝒏𝒈...
1.2M 61.5K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
6.5M 330K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...