Narasi, 2021✔

By Tenderlova

3.7M 660K 229K

[SUDAH TERBIT] BAGIAN KEDUA TULISAN SASTRA Bulan juni datang lagi. Padahal sisa-sisa juni tahun lalu belum se... More

Introducetie
1. Kemarau Merindu
2. Takut Melepaskan
3. Rasa dan Karsa
4. Bahagia yang Sederhana
6. Cocok dan Pas
7. Namanya Rumpi
8. Elegi Tentang Kita
9. Kenangan di Hari Minggu
10. Jalan Otto Iskandardinata
11. Bertanggungjawab pada Sedih
12. Sekeping Koin Kerok
13. Arti Sebuah Melepaskan
14. Rumput Tetangga Lebih Hijau
15. Warna yang Tak Lagi Sama
16. Cerita dari Anak Kedua
17. Cerita sama Abang, Ada Apa?
18. Dialog: Ramai yang Sepi
19. Kenapa Selalu Es Kiko Rasa Anggur?
20. Lagu Minor
21. Waktu yang Tepat untuk Berpisah
22. Sayonara, It's Been Nice to Love You!
23. Ruang Tanpa Obrolan: Pada Jakarta
24. Garis Tipis Sedih dan Bahagia
25. Tentang Bumi, Rumpi dan Magandhi
26. Untuk Mendekap Diri Sendiri
27. Kita yang Masih Bersiteru
28. Lagu yang Tak Selesai
29. Ruang Kita yang Berantakan [FINAL]
Pre-Order NARASI, 2021

5. Sekecap Terima Kasih

132K 26.1K 13.9K
By Tenderlova

Halaman pertama, aku menulis tentang kamu
Halaman kedua, masih tentang kamu
Halaman seterusnya, selalu tentang kamu
Sebuah buku untuk mengenang dirimu...

***

Orang bilang, selalu ada alasan kenapa kita dilahirkan. Dan mungkin, ada alasan kenapa Adinata Aileen Caesar dilahirkan sebagai anak Mama dan Bapak. Alasan kenapa dia punya 4 abang dan 2 adik yang kadang-kadang kelakuannya suka keblinger. Mungkin yang paling parah hanya Jovan, Jaya dan Dia.

Dia.

Setahun belakangan, Nana susah payah menghindari menyebut nama itu. Bukan karena kepergiannya yang begitu mendadak dan membuat Nana berakhir membencinya. Bukan. Sastra akan selalu menjadi orang yang Nana sayangi setelah kedudukan Mama. Laki-laki itu selalu punya bagian penting di setiap langkah Nana. Apapun keputusan yang akan Nana ambil, Sastra yang akan jadi penentu.

Nama dan sosok kakaknya akan selalu kelihatan keren di matanya. Hanya saja, cukup sulit menyebut nama itu setelah apa yang terjadi. Sekali lagi, Nana tidak bencinya. Tidak akan pernah bisa. Hidup kakaknya itu sederhana. Hanya tentang keluarga, musik dan pacarnya yang kadang suka tidak tahu diri. Tapi dia bisa jadi laki-laki paling bahagia yang pernah Nana temui sepanjang hidupnya.

Dan Nana menyesal.

Salah satu alasan kenapa dia tidak bisa menyebut nama Sastra sama seperti sebelumnya. Karena Nana tidak pernah memberi apapun selama laki-laki itu masih hidup. Nana tidak pernah duduk berdua dengan Sastra di teras depan rumah seperti yang lainnya. Dia tidak pernah memanggil laki-laki itu dengan sebutan Abang sesering Jaya dan Cetta manggilnya padahal jelas-jelas Sastra adalah kakaknya. Nana tidak pernah menanyakan apa yang membuat Sastra bahagia dengan Sahara, padahal dia sering dibuat kecewa. Nana tidak pernah bertanya kenapa Sastra lebih suka hujan-hujanan padahal jas hujan miliknya menganggur.

Tidak ada yang bisa Nana berikan untuk laki-laki itu.

Tapi bagian tidak adilnya, Sastra memberikan Nana banyak hal. Setiap kali Nana memasak di pagi hari, Sastra akan selalu bertanya,

"Hari ini mau kemana?"

Atau ketika dia pulang kuliah dan Nana dengan santainya duduk di ruang tengah, dia akan bertanya,

"Ngapain aja hari ini?"

Sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan itu tidak memiliki arti apapun. Nana pikir itu lumrah karena Sastra juga menanyakan pertanyaan yang sama pada semua orang yang ada di rumah. Bahkan tak jarang, Sastra juga bertanya pada Yusril--anak tetangga depan rumahnya--tentang apa saja yang dilakukannya sepanjang hari. Tapi setelah laki-laki itu pergi, Nana akhirnya menyadari bahwa pertanyaan itu begitu berarti.

Sebuah pertanyaan sederhana yang memiliki arti lebih besar apa yang ia dengar. Tentang sebuah kepedulian.

Nana nyaris tidak pernah bertanya pada Sastra tentang apa yang akan dia lakukan di masa depan. Tapi Sastra selalu bertanya padanya tentang rencana hidup yang akan dia pilih. Sastra seolah-olah ingin memastikan bahwa adiknya itu berada dalam jalan yang benar menuju dewasa.

Kenapa Nana tidak memberikan apapun?

Mungkin karena Sastra selalu terlihat seperti seseorang yang tidak memiliki beban dan kekurangan apapun. Sementara Nana memutuskan untuk menjadi seseorang yang begitu egois mengurusi diri hidupnya sendiri.

Di saat Nana tidak bisa memberikan apapun, Sastra memberinya sebuah kehidupan. Ginjal yang ada dalam tubuhnya sekarang ini, bisa jadi bukti bahwa dia adalah salah satu orang penting dalam hidup Sastra. Bukti bahwa Sastra sangat menyayanginya.

Satu hal yang mungkin pernah Nana berikan adalah ucapan terima kasih setiap Sastra memotong es kiko rasa anggur miliknya dan secara suka rela membaginya dengan Nana tanpa banyak mengeluh.

Laki-laki itu memang suka es kiko rasa anggur. Biasanya Mama akan membekukan kiko sampai dua bungkus hanya untuk Sastra. Dan anak itu hanya akan mengambil rasa anggurnya aja. Sisanya dia biarkan di kulkas selama berhari-hari, sampai akhirnya orang-orang yang ada di rumah yang menghabiskan.

Sampai saat ini, Mama masih mengisi frizzer kulkas dengan kiko. Yang berbeda adalah, kiko rasa anggur akan selalu tersisa di sana.

Sampai dia benar-benar beku. Sampai tidak ada yang ingat bahwa dia masih ada di sana.

Ditinggalkan.

Bukan diabaikan, sebab mereka selalu bersikap seakan pemiliknya akan mencari Kiko rasa anggur itu sewaktu-waktu. Dan ketika saat-saat itu datang, dia akan menemukan es kesukaannya masih ada di sana. Ditempat biasanya.

Hampir 2 jam lamanya Nana tidak melakukan apa-apa. Kaleng biskuit regal yang semula penuh, kini berkurang banyak. Nana yakin kalau sampai Jaya tahu cemilannya habis dia gerogoti, Jaya pasti akan mengoceh seharian penuh dan berkata kalau Mas Nana adalah manusia yang tidak pernah modal di dunia.

Laptop yang semula menampilkan lembar kosong microsoft words sudah padam entah sejak kapan. Tidak ada satu katapun yang berhasil ia tulis.

Kepalanya terasa kosong. Mungkin karena di luar hujan? Bisa jadi. Sudah hampir satu tahun lamanya Nana mengalami sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah bisa menulis ketika hujan datang. Seakan-akan datangnya hujan memberikannya sebuah beban berat yang tidak akan bisa ia tanggung. Dan seperti biasanya, Nana akan berakhir seperti ini. Terdiam untuk waktu yang lama, sementara suara hujan kedengaran seperti suara yang sedang menertawakan betapa menyedihkannya ia saat ini.

Jam 2 pagi. Dia belum mengantuk. Atau mungkin gara-gara hujan itu juga, Nana tidak bisa tidur. Seperti biasanya, laki-laki itu kembali membuka laci. Mengambil satu origami secara acak dan membukanya dengan gerak lambat.

Entah bagaimana, rutinitas ini selalu membuat dadanya berdebar dengan tempo lebih cepat dari semestinya. Alasannya sederhana, karena Nana selalu menantikan kata apa yang Sastra tulis untuknya waktu itu.

Dan dia selalu berakhir seperti patung. Terdiam.

Na, Abang belum bilang..
Terima kasih untuk satu panci indomie rebus kemarin malam. Terima kasih sudah menyelamatkan Abang dari kejamnya sebuah kelaparan. Lain kali saat kamu ulang tahun, Abang akan belikan kamu panci baru.

Ps. Kalau nggak lupa sih HAHAHAHA

Seperti biasa, Sastra selalu menulis suara tawa di akhir suratnya. Kadang hal tersebut membuat Nana bertanya-tanya, apa yang Sastra pikirkan saat dia menulis surat itu? Apakah dia membayangkan wajah ngantuk Nana yang malam-malam membuatkan dia satu panci mi rebus? Atau wajah jengkel Nana yang dia paksa habis-habisan untuk membuatkan dia makanan setiap malam?

Nana tidak tahu.

Seringkali Nana ingin menanyakan pertanyaan itu, tapi sekarang sudah tidak bisa. Karena dia sudah tidak ada.

Hingga akhirnya, Nana memutuskan untuk keluar kamar. Mengingat isi surat dari Sastra tiba-tiba saja membuat perutnya keroncongan. Ia bangkit dengan hela napas panjang. Sesekali ia mengangkat kedua tangannya dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Sebelum akhirnya ia beranjak, ia sempat berdiri di depan cermin. Menatap pantulan wajahnya dengan senyum tipis.

"Sesekali kamu harus lihat cermin dan tersenyum buat diri kamu sendiri. Sambil berkata dalam hati, 'kamu hebat sekali'." Sastra pernah mengatakan kata-kata itu tepat 3 minggu pasca operasi yang mereka lakukan.

"Biar apa?"

"Ya enggak biar apa-apa. Itu cara sederhana untuk menghargai diri sendiri. Nih, coba aja." anak itu mengulurkan cermin.

"Abang minggir!"

"Loh, kenapa?"

"Ya aku mau bilang kalau aku hebat, abang ngapain ikutan ngaca? Ini kelihatan di sini tahu!"

Lantas ia mundur dengan mata membulat. "Eh, buset! Kagak tahu diri banget lo."

"Abang minggir makanya!"

"Minggir kemane kampreeet?! Aelah!"

Di saat ingatan itu muncul lagi, Nana hanya bisa menyentuh dadanya dengan hela napas panjang.

"Lo juga hebat. Makasih banyak untuk semuanya." kali ini ia berkata pada kameranya yang tergeletak di atas meja.

Kemudian ia memutuskan untuk benar-benar keluar dari kamar, tapi apa yang laki-laki itu temukan setelah menutup pintu justru membuatnya ingin tertawa.

Lampu dapur dalam keadaan menyala. Entah yang mereka lakukan, tapi Nana melihat Kak Ros dan Jaya berdiri bersebelahan di depan kompor. Tinggi badan mereka yang berselisih tajam membuat mereka kelihatan lucu. Apalagi saat Kak Ros menyakan sesuatu ke Jaya, dia harus mendongak terlebih dulu.

Setelah Nana mendekat perlahan-lahan tanpa suara, akhirnya dia tahu apa yang mereka lakukan: memutar video tutorial membuat indomie dalam waktu singkat.

Memangnya siapa yang akan membuat indomie dalam waktu yang lama?

"Jadi bumbu dulu apa mie dulu?" tanya Jaya.

"Ini kata videonya bumbu dulu di tumis. Lah? Kok ditumis? Emang bikin indomie ditumis? Bukannya direbus ya?" Eros lantas garuk-garuk pantat. Bingung harus bagaimana.

"Aku nggak tahu." dan mungkin Jaya juga sama bingungnya. Kentara sekali saat anak itu menggaruk kepalanya.

"Apalagi gue."

"Manusia spesies apa kalian yang nggak bisa ngerebus mie?"

TANG!!

Nana langsung terperanjat saat Kak Ros dengan semena-mena mendaratkan bokong panci ke kepalanya. Tidak keras, namun cukup untuk membuat kepalanya nyut-nyutan bukan main.

"ANJIR KEPALA GUE BOCOR!"

"Itu air, Mas." Jaya panik, tapi Nana jelas lebih panik karena dia berpikir kalau panci itu telah membuat kepalanya bocor. Ternyata hanya air.

"Ngagetin aja!" Eros melotot. Saat itulah Nana akhirnya tahu, bahwa kacamata yang sering Eros pakai selama ini ternyata tidak ada kacanya.

Nana jelas kaget, tergoda untuk mencoloknya namun urung. Situasinya sama sekali tidak tepat.

"Aku laper, tapi kayaknya nyuruh Kak Ros bikin makanan adalah sesuatu yang salah."

"Nggak tahu terima kasih, masih untung Kakak mau bangun."

"Bangun pun nggak tahu cara bikin indomie."

"Tahu, tapi Kakak lupa urutannya."

Mereka justru adu mulut.

"Diam kalian! Aku aja yang bikin." karena sepertinya, Nana memang punya alasan yang sama untuk berada di sini.

Mereka sama-sama kelaparan.

Atau mereka sedang merindukan seseorang yang sering bangun tengah malam hanya untuk menikmati semangkuk indomie soto.

"Dari tadi kek." Eros melepas ikatan celmek dan kembali menggantungkannya di dekat kulkas.

Manusia jenis apa yang masak indomie saja harus pakai celmek?

"Aku mau indomienya kayak yang dijual Abang Uda."

"Oiya, enak tuh. Kakak juga kayaknya harus makan banyak sayur biar bisa tinggi."

Semua laki-laki di rumah ini memang tidak tahu diri. Kecuali Nana, sepertinya.

"Kata Bapak yang perlu ditinggikan itu bukan tubuh, tapi perasaan simpati dan empati kita sebagai manusia." kata Jaya setelah anak itu melipat kedua tangannya di atas meja makan. Menatap punggung Nana yang kini berdiri di depan kompor.

Nana menoleh dengan cepat. Kak Ros tertawa, dan Nana akhirnya juga ikut tertawa.

"Ada yang salah?" anak itu kebingungan.

Nana menggeleng, Kak Ros juga sama-sama menggeleng.

"Tumben ngomongnya bener." kata Nana. Sedikit meledek, tapi laki-laki itu mengakui bahwa apa yang dikatakan Jaya memang seratus persen benar.

"Jaya gitu loh!"

Nana dan Kak Ros tertawa lagi.


○○○○》♡♡♡《○○○


Butuh waktu 10 menit sampai akhirnya indomie ala Abang Uda tersaji dengan tampilan ala kadarnya di atas meja. Entah kenapa, Nana selalu merasa bangga setiap meletakkan makanan di atas meja ini. Seolah-olah dia telah memberi bukti bahwa ia telah mendedikasikan hampir separuh hidupnya untuk mereka dengan sepenuh hati. Bahwa Nana telah merawat mereka sebaik yang ia bisa.

"Makasih Mas Nana!" mereka berkata bersamaan.

Desir darah dalam tubuh Nana terasa mengalir lembut. Sesederhana kata terima kasih dan senyuman di mata mereka, Nana merasa sangat dihargai.

"Sama-sama."

Lalu mereka makan dalam satu wajan yang sama. Tanpa piring.

Cara berbagi seperti ini mungkin kelihatan menjijikkan di mata sebagian orang. Tapi bagi mereka, ini adalah sesuatu yang harus mereka syukuri. Nana, Eros dan Jaya bukan hanya saling menyisihkan makanan untuk satu sama lain, tapi mereka juga menyisihkan waktu untuk mendengar cerita yang mereka punya hari itu.

Dari sana, mereka tahu bahwa tadi siang Jaya melihat dengan mata kepalanya sendiri teman sebangkunya yang kesurupan. Mereka tahu kalau Kak Ros menghabiskan seharian di kantor dengan marah-marah karena bawahannya melakukan kesalahan fatal. Mereka juga tahu bahwa ternyata Jovan tidak diterima kerja untuk kesekian kalinya.

Atau tentang Rinso yang berhari-hari menunggu kedatangan Bimo ke rumah, namun kucing bermata biru itu tak kunjung datang.

"Si Rinso kayaknya lupa kalau dia sama Bimo sebenernya udah putus." kata Jaya, sambil memutar garpunya.

Nana dan Eros hanya bisa menanggapinya dengan gelak tawa tanpa suara.

"Gimana lo tahu?" tanya Nana.

Lalu dengan percaya dirinya Jaya berkata, "Dia cerita sama aku." hingga dengan begitu saja membuat Eros dan Nana merunduk di bawah meja--mati-matian menahan tawa mereka agar tidak meledak dan membangunkan seisi rumah.

"Dia kenapa sih?" Eros bertanya. Sementara Nana hanya bisa geleng-geleng kepala.

Wajan penuh kerak itu mungkin bisa menyimpan cerita milik mereka untuk waktu yang lama.

Meski setelah cerita selesai, mereka selalu berakhir terdiam. Merasa bahwa masih ada yang kurang.

Mungkin karena yang seharusnya ada di sana, nyatanya tidak ada di sana.

Sampai hari itu, sepi masih sesekali menjenguk mereka. Tidak pernah mengajak mereka untuk bercengkerama. Hanya berdiam lama hingga dingin turut bergabung dan menenggelamkan mereka dalam lamunan panjang yang menyakitkan.

Hari itu berakhir tanpa suara.










Bersambung..

Continue Reading

You'll Also Like

20.9K 1.6K 8
Mais ce qu'a lié l'amour même, le temps ne peut le délier - Germain Nouveau. But what love has bound together, time cannot unbind. Cover picture by:...
2.2K 180 8
seorang pemuda tampan berumur 17 tahun yang dingin dan di kenal sangat kejam,jatuh cinta dengan pemuda cantik dan imut. Berawal dari perdebatan yang...
2.7M 431K 39
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 1 Kadang Natta bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa dia masih bersedia pacaran sama Jeno Setyo Novanto yang jela...