Calon Jenazah

By NurulHd55

62 13 1

Di tengah dilema memilih jujur atau menyimpan rahasia hingga mati, Gilang dipinta membaca komik versi aplikas... More

Prolog
Pada Hujan Sore Ini
Payung Cinta
Ketika Perseteruan Dimulai (1)
Ketika Perseteruan Dimulai (2)
Izinkan Aku Egois (1)
Izinkan Aku Egois (2)

Tetangga Baru

17 3 1
By NurulHd55

Tembang lagu Sheila On 7 bertajuk "Dan" menjadi teman bergadang seorang wanita yang tengah asyik menggoreskan pena stylus-nya ke atas layar gawai berukuran 5,5 inchi. Lewat earphone di telinga, ia mendengar lagu sambil mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama. Sesaat kemudian ia ikut bernyanyi. Melepaskan pena stylus dari tangan. Lalu beranjak bangkit. Rehat sejenak dari aktifitas menggambar.

"Nduk?" Seorang pria paruh baya muncul dari pintu yang dibukanya tanpa permisi. Mulutnya seketika menganga saat melihat keponakannya beraksi seperti artis kehilangan panggung. Bernyanyi dengan suara sumbang. Meletakkan satu kaki di atas kursi, memejamkan mata, dan berlagak seperti mahir memainkan gitar. Padahal, wujud gitarnya saja tidak ada.

Geleng-geleng kepala, pria itu tersenyum juga melihat kelakuan gadis itu. Ia pun berjalan masuk. Meletakkan segelas susu di atas meja belajar si pemilik kamar. Sekilas dia melihat rancangan gaun pengantin wanita di gadget milik kemenakannya itu. Bibirnya refleks mencebik. Pria yang rambutnya nyaris putih semua kini mendekati gadis itu. Mencabut earphone dari telinganya.

Si gadis berambut lurus sepinggang spontan membuka mata. Berhenti menyanyi maupun bermain gitar ilusi. Lantas memasang wajah masam tatkala mendapati pamannya tengah tersenyum mematikan. Dia tahu jenis senyum macam itu.

"Dira ...." Suara yang terdengar lembut. "Perasaan klien gak minta gaun pengantin yang seksi, deh, tapi kenapa kamu repot-repot begadang cuma buat menyelesaikan rancangan baju di luar ketentuan, hah?" Yah, beginilah akhirnya. Sebuah omelan yang membuat telinga Dira berdenging. Selalu ini yang dilakukan pria itu setelah memasang senyum 'sok' baiknya.

Wanita yang dipanggil Dira meringis. Menurunkan kakinya dari kursi, lalu melipat tangan di depan dada. Menyerupai gaya pamannya saat sedang mengomel.

"Emang kenapa?" tanya Dira dengan nada menantang.

Rudi, pamannya Dira, menghela napas. "Nduk, kita butuh cepat." Ia kembali dengan gaya bicaranya yang lemah lembut.

"Udah siap, kok. Lihat aja." Dira kemudian memperlihatkan hasil disain gaun pengantin yang telah selesai ia rancang. Pamannya lantas manggut-manggut setelah selesai memastikan. Lalu kembali mengomel, menyuruh Dira tidur karena sebentar lagi jam nol nol akan tiba. Tanpa meminta izin, pria paruh baya itu mengantongi ponsel Dira. Gadis itu kontan merengut.

"Loh, loh, aku belum siap, Paman," protes Dira sembari berusaha merebut ponselnya dari dalam saku piyama yang dikenakan sang paman. Namun, Rudi dengan tangkas menepis tangannya.

"Mbok yo nurut ngopo toh?!"

"Sepuluh menit deh, bentar lagi siap," mohon Dira seraya menangkupkan tangan di depan dada.

Rudi kembali bersedekap. Menatap lekat gadis setinggi 163 sentimeter di depannya. "Paman mau nanya dulu," ujarnya dengan nada yang teramat serius hingga membuat Dira mengernyit bingung.

"Memangnya kamu mau nikah pakai baju seksi itu?"

Dira mendengus. Tak lantas menjawab. Mimik wajahnya berubah suram. Kesal.

"Memangnya kamu udah siap buat menikah?" Pertanyaan itu tercetus mengingat Dira kesulitan membuka diri pada orang lain.

Dira menatap pamannya culas. Kini benar-benar tidak selera memberi jawaban.

"Memangnya ada yang mau sama kamu?"

Sontak Dira melotot.

"Eh, salah. Memangnya ada orang yang kamu mau?"

Bertambah lebar mata Dira. Namun dalam hitungan tiga detak jantung, kelopak matanya seketika sayu. Tatapannya terlihat begitu dingin. Membuat rasa bersalah hinggap di hati Rudi.

"Hm, ya udah sana, tidur!" perintah Rudi mengalihkan topik pembicaraan. Dira hanya mengangguk tanpa membuka suara. Gadis itu pun duduk di kursi yang terletak di depan meja belajar. Lalu menyeruput susu buatan pamannya.

"Besok kita kedatangan tetangga baru. Penyewa kontrakanmu. Kunci paman letak di tempat biasa, ya," pungkas Rudi yang langsung meninggalkan kamar Dira. Beberapa saat sebelum menutup pintu, pria itu menengok sebentar ke arah keponakannya.

Tiba-tiba Dira mengempas kuat gelas bekas susu ke meja hingga menimbulkan suara. Membuat Rudi tersentak dan menghela napas berat. Akibat salah ngomong. Batin Rudi. Ia pun segera menutup pintu. Meninggalkan Dira berteman dengan kedongkolan yang bersarang dalam benaknya.

***


Azan Subuh berkumandang. Seperti biasa, pria berusia setengah abad berjalan ke kamar keponakan tercintanya. Indira Larasati. Gadis yang sudah menjadi yatim piatu sejak usianya masih 16 tahun dan masih single meski sudah menginjak 27 tahun.

Pria bernama lengkap Rudi Gumawan itu membuka pintu kamar keponakannya menggunakan kunci cadangan. Tahu betul bagaimana susahnya Dira bangun sendiri. Makanya dia sengaja menyimpan duplikat kunci kamar gadis itu meski sudah diprotes berkali-kali. Tentu saja, sebelas tahun tinggal seatap membuatnya kebal akan omelan Dira yang kerap mengalahkan repetannya.

Seperti biasa, Rudi mengguncang tubuh Dira yang berkemul dari ujung kaki hingga ujung kepala sambil berteriak, "DIRAAAA BANGUUUN!" Suara Rudi yang biasanya lembut dan pelan kontan naik beroktaf-oktaf jika sedang membangunkan keponakannya itu.


Setelah ke-tujuh kalinya memekik, Dira pun menggeliat. Bibirnya mengerang kecil. Menandakan bahwa perempuan itu sudah bangun meski hanya setengah sadar. Rudi tersenyum miring. Sekali lagi, memekik di telinganya. Dira refleks bangun duduk. Menyingkirkan selimut dari tubuhnya.

"Berisikkk!!" sergah Dira seraya mengelus-elus kedua telinganya. Matanya melotot menatap Paman Rudi.

"Makanya bangun, toh. Udah gede tapi masih aja tidur dibangunin. Gimana mau nikah kalau begitu?!" Rudi seketika menutup mulut begitu sadar telah menyinggung soal pernikahan di depan Dira.

Terjadilah drama subuh hari di rumah mereka. Dira ngotot tidak mau menikah dan tidak mau salat dengan alasan sedang haid. Lalu Rudi membantah dengan kalimat, "Baru seminggu yang lalu kamu bilang datang bulan, masa sekarang datang lagi?" Terang saja Dira tercengang. Hapal banget kapan aku PMS. Ia terheran-heran. Namun Dira tetap bersikukuh mengatakan bahwa itu tidak benar. Sayangnya Rudi punya cukup bukti mematahkan alasannya.

"Paman tahu setelah dengar pembicaraan kamu sama Gugun. Kamu bilang," Paman berdeham. Kemudian meletakkan tangannya di perut, "Gun, perutku sakit banget gara-gara datang bulan. Kamu tahu gak apa obatnya? Yah, pasti gak tahu ya? Kamu kan jantan, mana pernah datang bulan." Rudi sukses menirukan gaya bicara Dira. Menerbitkan senyum di bibir kecil gadis itu.

"Paman bener, kan?"

Dira mengangguk pasrah. "Ya ya ya," sahutnya malas.

"Ya udah. Sana wudu. Paman tunggu. Kita jama'ah di rumah aja."

"Ya ya ya." Dengan langkah yang berat, Dira pun berjalan menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurnya. Rudi tersenyum mesem-mesem menatapi punggung gadis itu.

"Paman?" panggil Dira. Tiba-tiba kepalanya menyembul dari balik pintu yang sedikit lagi tertutup sempurna.

Rudi yang baru saja hendak keluar dari kamar itu seketika mengurungkan niat. Menoleh ke belakang. Bertanya, "Apa?"

"Kalau Gugun betina, dia bisa haid nggak?"

***


Menjelang siang Dira bangun dari tidur setelah salat Subuh-nya. Beranjak dari peraduan. Tanpa membersihkan wajah dan gosok gigi, ia turun ke lantai satu⸻kamarnya terletak di lantai dua. Gugun langsung mengekorinya menuruni anak tangga. Dira tidak menyapa karena perutnya keroncongan.

Ruang pertama yang Dira incar adalah dapur. Di sanalah dia bisa menemukan makanan buatan Paman Rudi. Mengangkat tudung saji, senyumnya sudah mengembang bahkan sebelum tahu apa isi di balik tudung saji tersebut. Membayangkan makanan enak yang biasa pamannya siapkan membuat rasa gembira di hatinya seketika membuncah.

"Tara ...!" Dira sudah tersenyum selebar mungkin tatkala tudung saji itu terbuka. Namun, senyumnya lantas sirna dalam satu kedipan mata.

"Apaan, nih! Roti doang. Mana kenyang! Emangnya aku orang barat apa?! Paman gimana, sih?!" Gadis itu menatap tak suka pada roti tawar beserta selai coklat di atas meja. Lalu mengambil kertas memo yang berada di antara roti dan selai tersebut.

Selamat pagi, Sayang. Gak sempat masak. Buru-buru ke kantor. Kamu makan ini aja ya. Have a nice day. Jangan lupa senyum.

Dira meringis. Meremas kertas memo lalu membuangnya ke sembarang tempat. Kemudian kembali menatap menu breakfast-nya kali ini. Sebenarnya tidak bisa dibilang breakfast. Lebih tepat kalau disebut makan pagi menjelang siang.

"Have a nice day? Apaan tuh ... Arghh, laper banget lagi," gumamnya. Melirik roti. Sepertinya tidak ada pilihan lain!

Perlahan tangannya menggapai roti tersebut. Hingga pada akhirnya, gadis itu mengoles selai pada roti dengan cepat dan memakannya dengan lahap. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara bel dari rumahnya berbunyi. Dira berdecak sebal. Menelan habis roti yang ada di mulutnya lalu berseru, "Balik aja. Rumah ni gak nerima tamu. Apalagi bangsa manusia!" Wanita itu paling tidak suka kedatangan tamu, oleh sebab itulah rumah yang ia tinggali terletak di ujung desa. Sengaja menyepi dari keramaian.

Sementara itu bel terus berbunyi. Benar-benar mengusik pendengaran Dira hingga mau tak mau berjalan meninggalkan dapur. Membukakan pintu.

"Ha? Cari siapa?" tanya Dira ketus.


Seorang pria berkulit putih sontak terngaga. Wajah kecilnya terlipat-lipat memperhatikan gadis kusut di hadapannya. Benar-benar kusut. Masih pakai baju tidur, rambut berantakan, dan mulut belepotan cairan coklat. Sudah gitu, mulutnya bau pula. Lelaki itu sampai bernapas lewat mulut karena terganggu dengan baunya.

"Hoi, cari siapa?" tegur Dira. Mengangetkan pria itu.

"A ... itu, saya tetangga sebelah baru pindah." Lelaki itu membuang muka sebentar. Mencari oksigen.

"Jadi?" Dira menyorot dingin. Tatapan itu sesaat membuat pria di depannya tertegun.

"Hm, kunci. Kata Om Rudi di telepon, saya disuruh langsung ke sini minta sama keponakannya. Kamu keponakannya, bukan?"

"Bukan," sahut Dira enteng. Tanpa menatap lawan bicaranya. Malah sibuk menjilati susu di sudut bibir. "Saya anaknya," sambungnya. Melirik sebentar pria berwajah baby face di depannya.

Pria itu mengangguk-angguk paham. "Ooh, anaknya. Jadi saya bisa minta kuncinya, kan?"

"Gak ada," ketus Dira. Melemparkan tatapan sinis.

Pria itu memutar bola matanya. "Kata Om Rudi, ada di tempat biasa. Dia tadi pesan begitu, kalau kamu lupa."

"Ya udah." Dira memegang pintu, bersiap masuk kembali ke rumahnya.

"Apanya yang udah?" Bingung pria itu.

"Tunggu aja."

"Loh, tunggu siapa?"

"Papa." Dira bersiap menutup pintu.


Pria itu panik. "Kok gitu, sih?" tanyanya.

"Karena kamu datang pada waktu yang tidak tepat." Benar. Tidak tepat. Mood Dira saat ini sedang buruk. Dia cenderung membuat masalah di saat seperti itu. Tak peduli meski korbannya tidak memiliki dosa apa pun kepadanya.

"Emang pulangnya kapan?"

"Habis Magrib."

"Whattt??!" kaget pria itu.

Dira mendecih. "Gak usah sok nginggris. Ini Indonesia."

"Cuma bilang what doang diprotes," gumamnya pelan.

"Inget ya, tunggu sampe Papa pulang. Jangan coba-coba ketuk pintu rumahku lagi. Apalagi berencana numpang istirahat atau makan siang. Di sini gak nerima tamu manusia, kalau aku tuan penyambutnya." Usai mengeluarkan peringatan bernada sama yang dilontarkan pada semua tamu yang mengusik kesendiriannya, Dira pun melengos pergi. Membanting pintu dengan kasar.


Pria itu terperangah. Dalam benaknya timbul pertanyaan untuk si gadis yang baru saja mengabaikannya. Memangnya makhluk apa dia? Dari tadi nyinggung manusia melulu?

Tak langsung pergi, pria itu menatap pintu utama rumah minimalis bermaterial 45% bambu milik keponakan Rudi. Begitu yang ia tahu, entah keponakan yang mana, ia tidak tahu.

"Masa tunggu sampai Magrib. sih? Yang bener saja," gerutunya. Menunduk sambil menggaruk-garuk dagu yang tak gatal.

Beberapa detik berlalu, pria itu pun menegakkan kembali kepalanya. Lalu mengangkat tangan kanan dengan maksud menekan bel lagi. Namun, saat sebentar lagi bel itu tersentuh, sebuah suara terngiang di telinganya.

"Di sini gak nerima tamu manusia, kalau aku tuan penyambutnya."


"Astagfirullah," refleks pria itu. Seketika batal memencet bel. Menggigit jari dan bergidik ngeri membayangkan makhluk macam apa wanita yang baru saja ditemuinya. Tidak lama kemudian, ia pun meninggalkan rumah itu dengan langkah tergesa-gesa.

"Serem, Mas." Dia langsung mengadu pada seorang laki-laki berkulit kecoklatan. Tampak laki-laki itu tengah duduk bersandar di sofa yang baru saja mereka beli dalam perjalanan menuju rumah baru.


Pria yang dipanggil Mas itu mengerutkan kening. "Apa yang serem?"

"Masa perempuan itu bilang begini, 'di sini gak nerima tamu manusia, kalau aku tuan penyambutnya'. Serem, kan? Masa manusia ngomong begitu sama sesama manusia. Seolah-olah dia itu bukan manusia. Iih, ngeri." Pria itu mengusap-usap lehernya yang mendadak dingin. Lalu duduk di samping kakaknya itu.

Gilang namanya. Dia spontan tertawa geli setelah mendengar penuturan sang adik. "Cantik, gak?" tanyanya setelah tawanya perlahan lenyap.

"Ya, cantik, sih sebenarnya, tapi⸻"

"Mungkin dia bidadari. Bidadari bukan manusia, loh. Hehehe." Gilang tersenyum menggoda.

"Bidadari?" beo adik kandung Gilang yang bernama Fahri. Bola matanya bergerak ke atas. Membayangkan lagi penampilan Dira, seketika ia tertawa sumbang. "Gak mungkin!" bantahnya kemudian. Ekspresinya berubah amat serius. Melihat itu, mendadak senyum di bibir Gilang pun sirna.

"Ya udah, deh, sekarang kuncinya mana?" Gilang mengganti topik pembicaraan.

Fahri menghela berat. "Nah itu, dia nyuruh kita nunggu Om Rudi pulang."

"Kok gitu?" tanya Gilang dengan pembawaannya yang tenang. "Bukannya Om Rudi suruh minta sama keponakannya ya?"

"Entahlah, Mas. Fahri gak ngerti kenapa dia bilang begitu. Anaknya aneh."

"Biar Mas telepon Om Rudi." Gilang pun mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya. Menghubungi Rudi. Sementara itu, Fahri membayangkan lagi wajah Dira. Tatapan mata yang dingin dari wanita itu, entah kenapa membayang paling jelas di pikirannya.

***


Continue Reading

You'll Also Like

478K 7.9K 17
suka suka saya.
253K 27.7K 94
Ini Hanya karya imajinasi author sendiri, ini adalah cerita tentang bagaimana kerandoman keluarga TNF saat sedang gabut atau saat sedang serius, and...
2.1M 105K 45
•Obsession Series• Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi ...
407K 559 4
21+