Pada Hujan Sore Ini

10 2 0
                                    

Desember basah. Begitu Dira menyebutnya saat musim hujan tiba di bulan Desember.

Seperti kekasih yang baru pulang dari perantauan panjang. Hujan mencurahkan rindunya pada bumi di akhir tahun ini. Menciptakan genangan di mana-mana. Serta menebarkan aroma baru pada tanah yang beberapa waktu kering dan retak-retak. Aroma khas yang kadang kala membangkitkan kerinduan hati manusia, hingga mata turut serta menjatuhkan airnya. Jatuh satu persatu dalam waktu yang seirama. Seperti gadis berparas bulat kecil itu. Dulu sekali, ia habiskan waktunya untuk menangis saat hujan. Betapa bencinya ia pada suara tangisannya sendiri, sehingga menunggu hujan menenggelamkan sedu sedannya.

Namun kini tidak lagi sama. Dira tidak lagi menangis saat hujan, meski tak berarti dia sudah mengikhlaskan segalanya. Ia masih saja belum bisa memaafkan orang yang menyakitinya dan membuka diri pada manusia di sekelilingnya. Singkatnya, Dira benci manusia, dan benci hidup sebagai manusia. Mungkin, untuk saat ini, satu-satunya manusia yang tidak ia benci adalah adik laki-laki ayahnya. Paman Rudi Gumawan. Ya, hanya untuk saat ini. Kelak, jika pria itu menghilang seperti manusia yang sudah sudah, mungkin, saat itulah Dira tidak memiliki siapa pun untuk disukai lagi. Atau, tidak memiliki alasan untuk tinggal di dunia lebih lama lagi. Mungkin, dia akan memutuskan takdirnya sendiri. Ya, mungkin.

Dira menghela napas panjang. Mengakhiri lamunannya tentang kilas balik masa lalu, atau masa depan yang tidak jelas wujudnya. Matanya yang bulat kini fokus menatap bulir-bulir hujan yang menempel di dinding kaca jendela dapur yang jernih. Sembari menyeruput segelas moccachino, gadis itu memulai hobinya di musim dingin. Menghitung berapa jumlah titik air hujan di kaca yang kemudian melebar dan jatuh menetes ke bumi. Menikmati waktu sendiri. Kesendirian yang kadang kala membuatnya tenang. Namun di sisi lain, hati kecilnya merasa terpenjara oleh jeruji sepi.

Brukkk. Suara itu membuat Dira tersentak. Sontak menoleh ke belakang.

"Paman!" jerit Dira. Terbelalak kaget. Serta merta berlari menghampiri pamannya setelah meletakkan kopinya di atas meja.

"Paman kenapa?" Gadis itu mengguncang tubuh Rudi yang tersungkur di dekat kaki kursi. Tak jauh di kepala pria itu tercecer sebutir pil paduan warna putih dan oranye. Segera Dira mengambil pil tersebut kemudian bertanya, "Paman sakit, ya?" tangannya bergerak menyentuh tangan pamannya. "Aw, panas banget."

"Gak papa. Gak papa," lirih Rudi. Dira gigit bibir. Tampak kekhawatiran tersirat di paras mungilnya.

"Paman bisa bangkit sendiri gak? Susah tahu. Berat." Postur tubuh Rudi yang tinggi besar itu membuatnya kewalahan. Jangankan membantunya bangun, sekedar membalikkan tubuh Rudi yang menelungkup saja dia kesusahan.

"Bik ... Bik ... Mang Emon ... siapa pun tolongin, dong. Gimana sih, jadi pembantu gak peka banget!!" pekik Dira. Sekali dua kali menoleh ke belakang. Di mana pintu dapur yang terbuka lebar menampakkan keadaan di ruang tengah.

Tak lama kemudian, Rudi berhasil memulihkan sedikit tenaganya. Ia pun duduk bersandar di kedua kaki kursi yang bersembunyi di bawah meja makan. Akhirnya Dira bisa melihat betapa pucat wajah pamannya saat itu. Deru napasnya pun terdengar tidak beraturan.

"Bentar ya, aku ambilin minum." Lekas Dira beranjak bangkit dan mengambilkan segeral air mineral. Lalu menyerahkan air beserta sebutir obat kepada Rudi yang langsung menelan obat tersebut.

Setelah meletakkan gelas bekas Rudi ke atas meja, Dira pun berjongkok di depan pamannya. Menatap wajah pria itu dengan hati yang diliputi kecemasan. "Cuma satu doang minum obatnya, Man? Enggak dua atau tiga gitu? Biar cepet sembuh?"

Rudi tersenyum mendengar pertanyaan lugu dari keponakan yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri itu. "Cepet sembuh atau cepet mati?" sahutnya dengan napas yang turun naik.

"Hehe," cengir Dira, "becanda." Seulas senyum terpeta di ujung kalimatnya.


Senyum di bibir Rudi pun makin lebar ketika melihat gadis di depannya tersenyum. Sekali, dua kali, atau seberapa kali pun dia melihat senyum manis menghiasi bibir Dira, selama itulah dia akan selalu bahagia. Baginya, senyum Dira adalah obat dari segala rasa sakit yang membebani hatinya.

"Nduk?" panggil Rudi pelan.

"Hm? Apa? Mau aku antar ke rumah sakit? Sebentar," Dira menoleh ke belakang. "Mang ... Mang ... Mang Emon ... ke sini bantuin. Antarin Paman ke rumah sakit ...," teriaknya lagi-lagi.

"Nduk ...," lirih Rudi.

"Sabar, Paman. Bentar lagi Mang Emon dateng," kata Dira.

Rudi tersenyum miris. "Kamu lupa ya?"

"Hah?" Dira mengangkat satu alisnya. Berpikir apa yang sudah ia lupakan. "Oh, iya." Gadis itu menepuk keningnya begitu ingatan tentang pembantunya pulih. Beberapa hari yang lalu semua pembantu di rumah itu mengundurkan diri karena tidak tahan dengan temperament Dira. Namun alih-alih membujuk atau berjanji berubah menjadi lebih baik, Dira justru tidak menahan kepergian mereka. Malah membiarkan pamannya mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk mencuci pakaiannya.

Astaga! Jangan jangan Paman sakit karena kecapekan. Kerja di rumah. Terus di kantor. Pikir gadis itu. Bola matanya berputar, mengingat apa yang telah ia lakukan pada pamannya. Tak lama kemudian, mulutnya menganga lebar. Teringat betapa kejamnya ia semalam yang hanya karena 'gak mood' menyuruh pamannya pulang untuk menyerahkan kunci pada tetangga baru. Padahal, saat itu sedang sibuk-sibuknya dan lokasi perusahaan cukup jauh.

Dira gigit bibir. Menatap ragu pada wajah Rudi yang kian memucat. "Hmp, i-it-itu ... Pa-man ...."

"Paman gak mau ke rumah sakit," tukas Rudi. Tersengal. "Juga gak mau dipanggil dokter ke rumah. Paman mau ... ngerasain gimana rasanya dirawat sama ...."

Dira menunduk lemah. Sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh pamannya.

"Paman mau ... Uweekk." Dira refleks menegakkan kepala. Memelototi Rudi yang sekonyong-konyong bangkit berdiri dan berlari sambil membekap mulutnya. Pada akhirnya muntah di westafle. Segera setelah menghidupkan keran guna membersihkan muntah dan tangan, Rudi pun berkata, "Paman sudah bilang, kan, resiko kalau pembantu gak ada di rumah, kamulah yang akan mengurus Paman kalau sakit."

Calon JenazahWhere stories live. Discover now