Ketika Perseteruan Dimulai (1)

4 2 0
                                    

Tumis kangkung campur sedikit ikan teri, dengan garam secukupnya, dan tambahan saus tiram. Kemudian telur dadar gulung berisi campuran tumis kacang panjang, wortel, kentang dan sedikit saus, mirip kebab. Itulah menu sarapan ala Fahri Pramudya hari ini yang menggugah selera, berbekal request dari Om Rudi. Tadi pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke kantor, Rudi mampir ke kontrakan mereka. Meminta kepada Fahri untuk menjadi juru masak Dira selama ia bekerja di luar. Sebab, Dira adalah orang yang tidak suka makan sembarangan, dan lebih memakan masakan yang tidak mengandung MSG.

Fahri jadi berpikir bahwa orang tuanya memang sengaja mengirimnya ke tempat ini agar bisa bekerja tanpa harus capek kerja diluar rumah. Atau, jangan-jangan dia akan dijodohkan dengan Dira? Bisa jadi. Buktinya saja Om Rudi sudah tahu dia pandai memasak dan sedang menganggur di rumah, padahal sebelumnya tidak pernah cerita. Hal ini menandakan bahwa orang tuanya sudah banyak menceritakan tentang dirinya. Senyum Fahri lantas mengembang tatkala membayangkan jika seandainya dugaannya memang benar.

“Mas berangkat, Ri,” pamit Gilang yang tiba-tiba merampas bekal makanan yang baru saja ditutup rapat oleh Fahri.

“Eh, jangan!” Fahri langsung merebut kembali kotak bekal berbentuk kelinci dari tangan Gilang.

“Kenapa?” tanya Gilang dengan ekspresi datar.

“Ini bukan buat Mas!” tegas Fahri. “Punya Mas belum. Bentar, ya.” Pria itu pun menyiapkan satu bekal lagi untuk Mas tercintanya.

Gilang pun duduk diam di kursi. Menunggu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Membuat sang adik melirik bingung kepadanya. Aneh. Semenjak dari rumah Om Rudi, Gilang jadi lebih pendiam dari biasanya. Fahri pun menyadari hal itu.

“Cuma terharu saja.” Ini jawaban Gilang waktu ditanya kenapa ia menangis saat melihat Dira dan pamannya. Fahri berusaha memaklumi. Kasih sayang antara seorang paman dan keponakan yang jarang terjadi memang cukup mengharukan. Namun, apa pun itu, dia masih tidak mengerti alasan kenapa Gilang jadi lebih pendiam dari biasanya?

“Nih.” Fahri menyodorkan kotak bekal persegi panjang berwarna coklat muda kepada Gilang. Gilang langsung menerimanya. Kemudian menyodorkan tangan untuk kemudian disalami oleh adiknya. Mengucap salam lalu pergi.

Gilang memberhentikan mobilnya tepat di depan pagar rumah Dira. Menatap fokus pada pintu utama rumah itu. Hitungan mundur dari sepuluh. Dilakukannya dalam hati, seraya menggerakkan jemari. Kini sudah hitungan ketiga. Jika dalam hitungan ke-satu, orang yang ditunggunya tidak muncul, maka dia akan segera pergi.

“Dua … sa …,” senyum di bibir Gilang mengembang, “tu.” Akhirnya. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

***
“Pagi, Gun,” sapa Dira pada kucing kesayangannya yang langsung mengeong begitu ia membuka pintu kamar karena keranjang tempat tidur Gugun berada di dekat pintu masuk kamar gadis itu.

“Laper, ya?” tanya Dira sambil menguap. Berjongkok sambil mengusap pelan badan Gugun. Kucing jantan itu pun mengeong lagi menjawab pertanyaannya.

“Tumben. Paman Rudi lupa kasi kamu makan sebelum pergi, ya?” Si Dira kadang suka sok tahu mengartikan bahasa kucing. Belum tentu Gugun lapar. Bagaimana jika terlalu kenyang? Atau dia pengen puff mungkin?

“Oke, kita makan, ya? Aku juga lapar.” Dira pun menggendong Gugun lalu berjalan menyusuri tangga menuju lantai satu.

Gadis itu mengeluarkan sereal wiskas ke dalam mangkuk yang biasa menjadi wadah makan Gugun. Kucing itu pun seketika melompat turun dan melahap makanannya. Benar dugaan Dira. Gugun memang lapar. Sama sepertinya. Perutnya keroncongan sejak bangun tidur. Padahal masih jam delapan pagi. Biasanya, sesudah salat Subuh, dia bangun sekitar setengah sebelas karena lapar di jam segitu. Namun hari ini entah kenapa dia tiba-tiba lapar di jam yang tidak biasanya, hingga dia pun terbangun di jam yang lebih cepat dari biasanya.

Calon Jenazahजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें