Apart to come | Jaeyong [✓]

By shnaxxya

685K 123K 35.3K

[ DIBUKUKAN - PART LENGKAP ] "Si apatis Jaehyun, yang bertemu dengan bocah lelaki menggemaskan yang ia tak ta... More

Boy from nowhere
01 : Castel Lee
02 : Brotherhood
03 : Apathetic boy
04 : Si licik
05 : He's different
06 : Matter of time
07 : Opia
08 : How beautiful he's
09 : Bastard Jung!
10 : Its ok, im here
11 : Jaehyun, hidungku!
12 : Lee, kau cantik
13 : Fros dan Anne
14 : Thank you
15 : Rival?
16 : Khawatir
17 : Jaehyun aku takut
18 : Ellipsism
19 : Do you remember?
20 : Bilik pengakuan dosa
21 : Aku masih abu
22 : Taeyong sakit
23 : Bitterlife
24 : I got you, Hyung!
25 : Jangan sok tau
27 : Beri aku reward!
28 : Kecupan senja
30 : LEE TAEYONG!!!
31 : Change color hair
32 : Jaehyun fighting
33 : Something wrong..
34 : The truth (1/2)
35 : The truth ( 2/2)
36 : Master?
37 : How to apologize
38 : Kejutan untuk si penyihir
39 : Sirius di matamu
40 - End - Mimpi yang nyata
OPEN PRE-ORDER

26 : Aku mencintaimu, Lee Taeyong

14.7K 2.9K 649
By shnaxxya

VOTE!

🔞

***

Bugh!

"Ini untuk kelancanganmu."

Bugh!

"Ini untuk nafsu bejatmu!"

Bugh!

"Bajingan sialan!"

Mark terus membabi buta Jeno dengan pukulannya. Sementara pelaku yang menjadi korban pemukulannya, sudah berpeluh darah. Dari hidung, sudut bibir, dan mulut.

Tangan Mark yang terkepal bahkan tak jarang terlumur oleh darah dari hidung Jeno, namun Mark sama sekali tak memedulikannya.

Ia terlalu sibuk membabi buta sosok yang sudah berbuat hal bejat pada Taeyong sekarang.

Jeno seolah seperti masokis sekarang, tertawa padahal wajahnya sudah babak belur, sesekali ia meludah karena darah yang menggenang di dalam mulutnya.

"Mark.. kau memukulku untuk apa? Kau berlebihan.." ucap Jeno dengan suara lirihnya, menyeringai memperlihatkan barisan gigi yang penuh akan darah.

Melihat wajah Jeno yang tak ada rasa bersalahnya sama sekali, membuat geraham Mark semakin mengeras. Matanya memerah menunjukkan urat-urat samar menatap tajam Jeno yang bertelanjang dada sambil bersimpuh di lantai rumahnya.

"Kau benar-benar bajing-"

"Mark."

Ucapan Mark terpotong, ia menoleh ke belakang mendapati Jaehyun yang berjalan ke arahnya sambil menggendong Taeyong di punggungnya.

"Hyung, kau tak apa-apa?" Buru-buru Mark menanyai Taeyong yang bersandar nyaman di bahu Jaehyun.

Si mungil kepalanya terbenam oleh jaket milik Jaehyun yang cukup besar di badannya. "Mark aku takut.." Taeyong memberingsut di balik punggung Jaehyun.

"Bawa Taeyong keluar," tatapan elang Jaehyun tak lepas dari Jeno yang terduduk lemah di atas lantai dengan nafas yang tersengal.

Segera Mark mengambil Taeyong dari gendongan Jaehyun, membawa si mungil keluar karena tak ingin membuat Taeyong semakin merasa ketakutan berada di dekat Jeno.

Menyisahkan Jaehyun yang berdiri sambil menyakukan kedua tangan di celananya, menatap Jeno dengan tatapan menyedihkan.

"Jaehyun hyung, kau sudah mendapatkan bekasku. Taeyong sudah kucicipi lebih dulu." Jeno terkekeh aneh, membuat suasana kian menegangkan.

Jaehyun diam, wajah datarnya membuat semua saja terintimidasi, termasuk Jeno.

Tak perlu dijelaskan kalau Jaehyun marah, karena diamnya seorang Jung Jaehyun sudah memberikan seluruh jawabannya.

"Bangun." Titah si pemilik lesung pipi.

Kening Jeno berkerut, "apa?"

"Bangun ku bilang."

Jeno menyeringai meremehkan, "hyung kau sudah kehabisan kata-kata bukan untuk mengataiku-"

Bugh!

Bugh!

Duakh!

Tubuh Jeno terpental hingga dagunya tertabrak oleh kerasnya lantai marmer dirumahnya sendiri. Meringis nyeri, mendapati tiga pukulan telak di wajahnya yang sudah babak belur.

Jaehyun meluruskan rahang, melemaskan otot tangannya yang kaku dan memandang enggan Jeno.

"Ya, aku kehabisan kata-kata." Jaehyun menarik rambut Jeno yang posisinya tengkurap, membuat sang empu memekik dan memaksa diri untuk bangun dan berdiri.

"Tapi apakah aku pernah mengataimu?"

Bugh!

Tubuh Jeno dihempas lagi ke lantai, membuatnya mengaduh kesakitan.

"Aku bahkan sudah kehabisan segalanya bahkan sebelum aku mengataimu. Kau terlalu, bajingan."

Yang dihina tak tumbang, justru ia semakin berdiri gagah menahan semua kesalahannya. Jeno terkekeh, "kau menarik ulur perasaan Taeyong, dan sekarang kau datang seolah Taeyong adalah barang milikmu yang tak boleh disentuh orang lain."

Bugh!

Jaehyun yang baru saja memukul rahang kanan Jeno sampai sang empu terbanting sempat tertegun sesaat dengan ucapan Jeno, karena apa yang dikatakan oleh pemuda itu tak sepenuhnya salah. Jaehyun memang menarik ulur perasaan seorang Lee Taeyong.

"Kata siapa?"

Kali ini nyali Jeno untuk sekadar tertawa atau menyeringai sudah hilang. Ia benar-benar kehabisan tenaga.

Tak ingin terlihat menyerah secara gamblang karena tubuhnya yang sudah terasa remuk, Jeno kemudian mendudukkan diri dan bersandar di kursi kayu di sebelahnya, menetralkan nafas dan menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya.

"Ku pikir kau itu cerdas, hingga bisa menilai bagaimana dirimu sendiri saat bersikap pada orang lain." Jeno menekuk kaki, menopang kedua tangan di betis seraya menunduk lemah.

Jaehyun masih berdiri di tempatnya, "aku sudah mengatakan perasaanku padanya."

Prok prok prok!

Suara Jeno bertepuk tangan membuat Jaehyun sempat termangu bingung.

"Kau pikir aku akan memberimu apresiasi atas apa yang kau lakukan? Begitu hyung?"

Binar di manik Jung menyiratkan kalau ia tak mengerti dengan apa yang dilakukan Jeno. Ia hanya membiarkan tanpa berniat membantu, Jeno yang berusaha berdiri sambil berpegangan kursi di sampingnya. Berdiri tertatih.

"Kau hanya merasa senang karena sesuatu, bukankah aku benar?"

Kening Jung Jaehyun mengernyit, "apa?"

"Aku merasa senang pada sahabatku yang bernama Nana, karena ia sudah memberiku sebuah mobil dan mahkota yang paling berharga baginya. Itulah sebabnya aku terbawa suasana karena merasa senang, sampai-sampai aku bilang kalau aku mencintainya, padahal tidak..."

Jeno menepuk pundak Jaehyun, "... mungkin kasusmu kurang lebih seperti itu hyung jika dijabarkan dalam bentuk contoh."

"Kau pikir aku sama seperti apa yang kau maksud?" Sebisa mungkin tangan Jaehyun yang terkepal ia tahan agar tidak mendarat di wajah Jeno lagi.

"Tidak. Aku tidak berpikir seperti itu. Hanya saja.. orang yang berada di fase bahagia sering mengeluarkan kata-kata harapan pada orang lain, seolah ia bisa memberikan kebahagiaan abadi pada orang itu."

Geraham Jaehyun mengeras, ia beberapa kali mengatupkan giginya, menahan amarah. Apa yang dikatakan Jeno, membuat Jaehyun merasa seolah ia tak mencintai Taeyong secara tulus.

"Jeno.." panggil Jaehyun, ia mengambil telapak Jeno yang masih bertengger di bahunya, menurunkannya dengan hati-hati, "kau salah besar."

"Kau salah besar jika menilai orang-orang berdasarkan apa yang ada dalam sudut pandangmu." Jaehyun menyakukan lagi tangannya.

"Aku sudah ditakdirkan untuk bersama dengan Taeyong. Soal tarik ulur, bagaimana aku mengungkapkan perasaanku padanya, dan kehadiranmu yang membuat Taeyong hampir terluka.. kau tau itu karena apa?"

Jaehyun mendekatkan wajahnya di telinga kiri Jeno, berusaha membisikkan sesuatu, "... itu semua adalah bumbu takdir yang Tuhan buat."

Si lelaki lesung pipi menjauhkan kembali wajahnya, melihat dengan jelas bagaimana eskpresi Jeno sekarang. Terlihat kehabisan kata-kata.

"Ya kau benar, aku memang menarik ulur perasaanku pada Taeyong, tapi bukan berarti aku tak punya perasaan padanya kan?"

".. aku sibuk berperang dengan diriku sendiri, berusaha mengamankan perasaanku pada Taeyong walau caraku salah. Aku percaya dengan waktu yang bisa menyembuhkan segalanya, dan kurasa ini adalah saatnya.."

"... aku tidak lagi ragu." Jaehyun tersenyum manis penuh kemenangan bersamaan dengan kedua tangannya yang melipat di antara perut dan dada,

"Perasaanku seutuhnya milik Lee Taeyong, dan kau tak usah mencemaskan lagi kalau aku menarik ulur hatinya, karena aku tidak akan melakukan hal bodoh selagi aku sudah yakin pada apa yang ku pilih."

Jeno menatap ke arah lain, sadar akan ucapannya yang sudah kalah telak dimakan jawaban panjang Jung Jaehyun. Ia hanya diam, tak berniat membalas ucapan si lelaki yang lebih tua.

"Sepertinya yang harus di apresiasi disini adalah kau Jeno.."

"... contoh yang kau berikan padaku tadi sepertinya terlalu nyata untuk sebuah karangan. Apa kau seorang pengarang cerita yang baik?"

Jaehyun berjalan mundur dengan wajah sumringahnya, "kalau tidak, sepertinya kau sendiri yang harus merefleksikan dirimu karena sudah memberikan harapan pada orang lain karena kau terlalu terbawa suasana saat kau sedang bahagia.. poor Nana."

Dengan itu, Jaehyun berbalik memunggungi Jeno, menghapus wajah sedih yang ia buat-buat, berganti dengan smirk penuh kemenangan.

Berjalan pergi meningalkan Jeno yang terpaku ditempatnya berdiri dengan nyawa yang seolah ada di ambang batas. Si pemuda Lee merasa kosong seketika.

"Sudah bertengkarnya?"

Jeno tersentak, wajahnya yang memerah karena darah dan luka lebam segera mengarah pada sosok manis yang bersandar sambil melipat tangan di dinding ruang tengah rumahnya.

"Nana?"

Jaemin, tersenyum kecil. Si pemuda manis segera berjalan ke arah Jeno, dengan tangan yang meraih baki berisi obat-obatan p3k yang ia ambil di meja yang bertengger di sebelahnya.

"Sejak kapan kau disini?"

Jaemin tampak mengulum bibir, "sejak tadi mungkin?"

"Kapan?"

Jaemin menekan bahu Jeno, membuat sang empu mau tak mau duduk.

"Saat kau bilang kau hanya terbawa suasana saat kau bilang kalau kau mencintaiku?" Jaemin tersenyum ketir, dapat dilihat dari sorot matanya menunjukkan kekecewaan.

"Na.."

"Tidak apa-apa. Jangan merasa menyesal. Sejak awal aku lah yang terlalu mengharapkanmu. Bukankah kau sudah biasa memperlakukanku seperti ini?" Jaemin mengambil kassa, membahsahinya dengan cairan antiseptik untuk ia gunakan pada luka Jeno.

"Kau marah?" Pertanyaan bodoh. Jeno segera menggigit bibir, menyesali pertanyaannya yang malah membuat Jaemin menatap kepadanya lagi.

"Untuk apa? Bukannya aku hanyalah salah satu dari semua kesenanganmu? Kau hanya bersenang-senang, dan tak menganggap semuanya serius. Kau berkata kau mencintaiku, walau aku tau kau hanya bercanda tapi.."

Jaemin mengarahkan kassa yang sudah basah itu pada sudut kanan bibir Jeno, sahabatnya. Mengundang ringisan kecil dari Jeno karena merasa perih di bagian yang ia tekan.

"Tapi apa?" Jeno masih meringis kecil.

"Kau tak punya hak untuk menarik kembali ucapan yang sudah membuat orang sepertiku berharap padamu."

Selanjutnya, yang Jeno lihat adalah Jaemin yang memandang kosong ke arahnya. Binar di matanya menyiratkan kalau ia benar-benar berharap, pada Jeno.

***
Bucin jaeyong kalo saya suruh hidupin lagi diatas hidupin ya!

Hidupin sekarang!👁👄👁

Jaehyun membaringkan tubuh Taeyong di atas ranjang milik si mungil. Setelah perjalanan panjang, mereka sampai di kediaman Taeyong.

Hanbin dan Jennie juga Mark, memberikan waktu untuk Jaehyun agar bisa bersama dengan Taeyong. Mereka pun tau, Jaehyun pasti sangat merindukan Taeyong-nya.

Jennie dan Hanbin sempat terkejut dan khawatir dengan keadaan Taeyong saat tahu kalau si mungil hampir menjadi korban pemerkosaan oleh Jeno, namun Jaehyun meyakinkan pada keduanya, kalau Taeyong akan baik-baik saja.

Ya, walaupun tadi ada sedikit cekcok antara Hnabin yang katanya akan memberi bom nuklir ke flat tengik Jaehyun karena sudah membuat Taeyong menangis dan sakit.

Kembali lagi pada Jaehyun yang kini duduk dipinggiran ranjang. Disambut gemerlap indah cahaya malam bulan purnama yang menembus tanpa ragu melalui jendela balkon kamar Taeyong yang terbuka.

Semerbak angin meniup kelambu transparan yang menutupi balkon tersebut, membuatnya menjadi pemandangan malam yang sempurna, dengan hidangan pemanis berupa taburan bintang-bintang terang dan pepohonan di luar.

Si lelaki pucat itu masih menatap bagaimana Taeyong yang tidur. Wajah damainya terlihat indah, dipadu dengan cahaya bulan malam hari.

Jaehyun terpanah, terpanah akan kecantikan itu. Sangat indah.

Jaehyun menyukainya.

Hingga tanpa sadar tangannya terulur untuk menepis pelan surai pink si mungil yang menutupi keningnya, mengusapnya pelan, berniat untuk melihat gambaran kecantikan si mungil lebih jelas.

"Cantik." Puji Jaehyun. Terdengar sangat ringan didengar, namun bagi Jaehyun mengungkapkan satu kata seperti itu adalah hal yang sulit diucapkan.

Menyudahi sesi mengagumi wajah si mungil, Jaehyun pun segera teringat akan ruam-ruam di leher Taeyong, membuat Jaehyun segera teringat akan ulah brengsek Jeno.

Segera saja, Jaehyun mengambil kain seka yang sudah terserap air hangat di buffet dekat ranjang Taeyong, memerasnya telaten, untuk kemudian ia gunakan untuk menyeka leher jenjang si mungil.

Jujur saja, Jaehyun merasa gagal untuk menyelamatkan Taeyong. Walaupun si mungil tidak sampai di ambil mahkotanya oleh Jeno, namun Jaehyun merasa geram dan marah pada dirinya sendiri. Karena kebodohannya, Taeyong harus terluka dan ketakutan.

Jaehyun menghela nafas berat, "maaf."

Tangannya terulur perlahan, ia gerakkan dengan hati-hati untuk menyeka bekas ruam-ruam itu, berharap agar cepat hilang.

Bukan hanya marah, karena Jaehyun juga merasa, cemburu. Bukan hanya soal siapa yang pertama mengambil mahkota Taeyong, tapi ini soal siapa yang sudah melukai sesuatu yang sudah menjadi miliknya.

Jaehyun tidak suka, Taeyong-nya sampai terluka karena orang lain.

"J-jaehyun?"

Lamunan dalam Jaehyun terpecah, setelah mendengar suara halus itu menelisik telinganya.

Taeyong terbangun setelah ia tertidur di mobil selama perjalanan tadi.

"Taeyong.." Jaehyun masih merasa kikuk. Tak ia biarkan maniknya menatap Taeyong yang sudah membuka mata, berbeda seperti saat Jaehyun menatap langsung Taeyong yang tertidur tadi.

"Apa masih sakit Lee?" Jaehyun bertanya, soal bekas ruam itu dan juga, luka bekas ikatan sabuk itu.

Taeyong mengangguk lemah. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Si mungil yang tubuhnya sudah terbaluri kaus putih dengan lengan panjang kebesaran itu masih terlihat sayu kelopaknya, bahkan sesekali menguap seperti anak kucing.

Si mungil kemudian menepuk sisi kosong ranjang king size miliknya, memberikan kode supaya si lelaki Jung mau berbaring disampingnya.

"Jaehyun.. hari ini menginap disini ya, temani aku tidur." Taeyong memberi tatapan penuh arti pada Jaehyun.

Yang diajak bicara segera meneguk ludah, seketika jantungnya berdegup kencang. "U-u-uhmm..."

"Hanya tidur, tidur yang sesungguhnya. Bukan meniduri."

Hampir saja Jaehyun tersedak liurnya. Ia sekejap heran pada si mungil yang berbicara dengan enteng, seolah sudah lupa dengan kejadian dimana ia hampir di perkosa.

"Kalau Jaehyun tidak mau tidak apa-"

"Baiklah."

Jaehyun menyetujui ucapan si mungil. Menahan rasa gugupnya dengan cepat-cepat menaiki ranjang, melepas sepatunya dan berbaring di samping Taeyong. Bukan berbaring sih, Jaehyun hanya menyandarkan kepalanya di heardboard ranjang.

Taeyong mengulum bibir, sebelum kemudian ia menggerakkan diri, meletakkan kepalanya di paha Jaehyun, lantas memeluk kaki sang dominan, memejamkan mata dengan nyaman kemudian.

Pemilik paha sudah hampir mati. Bahkan kakinya mendadak dingin. Manik Jaehyun bergerak gelisah, tak tahu harus berbuat apa saat Taeyong tidur di pahanya.

"Jaehyun aku rindu."

Perasaan panik Jaehyun, tiba-tiba berangsur tenang. "U-uhm, y-ya."

"Apa Jaehyun juga rindu padaku?" Si mungil membuka matanya, menari-narikan telunjuk di betis sang dominan.

"Ya, sangat." Entah keberanian dari mana, Jaehyun tiba-tiba memberanikan diri untuk mengusap surai pink itu. Mengelusnya pelan, seperti seorang anak kucing.

"Apa Jaehyun masih marah padaku?"

"Tidak Lee."

"Maaf ya, Jaehyun sudah banyak ku repotkan. Tidak seharusnya aku ikut Jeno tadi-"

"Dan tidak seharusnya aku marah padamu Lee, aku minta maaf." Potong Jaehyun cepat. Disini ialah pihak yang bersalah, Jaehyun mengakuinya.

Taeyong tertegun, "aku tidak marah kok ke Jaehyun. Kata Mark, Jaehyun hanya sedang butuh waktu untuk sendiri, jadi aku bisa memakluminya. Maaf ya aku tidak bisa mengerti perasaan Jaehyun."

"Aku yang seharusnya disini yang minta maaf.." Jaehyun terkekeh samar, menyadari betapa naifnya Taeyong.

"Kita sama-sama minta maaf saja, biar adil." Taeyong kemudian memosisikan wajahnya menghadap langsung pada Jaehyun.

Keduanya saling bertatapan, begitu dalam. Sesekali kelopak ayu Lee Taeyong menari begitu indahnya, terbuka tertutup memandang Jaehyun di atasnya.

"Terima kasih ya Jaehyun, sudah mau mencintaiku." Taeyong tersenyum tipis.

Jaehyun balik tersenyum, membuat timbulan lubang cacat di kedua pipinya, "dan aku berterima kasih padamu, karena sudah tulus memberikan semuanya padaku."

Si lelaki berkulit pucat kemudian meraih tangan kanan Taeyong, mengecup punggung tangannya seraya memejamkan mata.

Si pemilik tangan seketika memerah pipinya. Refleks ia bangkit dan duduk, dengan Jaehyun yang masih setia mengecup lembut punggung tangannya.

"Jaehyun.." Taeyong memandang penuh arti ke dalam kelopak Jaehyun.

"Ya Lee?"

"Panggil aku Taeyong, aku ingin dengar." Wajah penuh penantian itu terpahat jelas dari Taeyong.

Kening Jaehyun berkerut samar, namun ia tetap menuruti ucapan Taeyong.

"Taeyong?"

Yang dipanggil mendekatkan dirinya pada Jaehyun, hanya terkikis jarak beberapa inch saja antara Taeyong yang terduduk dan Jaehyun yang bersandar di heardboard ranjang.

"Kau tau Jaehyun, aku selalu ingin melakukan ini.." manik indah milik si mungil menyorot pada bibir tebal milik lelaki Jung.

Mata Taeyong berangsur-angsur terpejam, bersamaan dengan jarak keduanya yang semakin terkikis, hingga akhirnya bibir kedua bertemu.

Taeyong mengecup bibir tebal milik Jaehyun yang mematung, terbeku dengan posisinya sekarang.

Si mungil mengecup bibir itu cukup lama, hingga akhirnya ia menghapus jarak itu lagi, tersenyum manis kemudian. "Maaf ya Jaehyun aku-hmph!"

Belum sempat si mungil melanjutkan ucapannya, Jaehyun sudah menarik tengkuk Taeyong dan mempertemukan bibir keduanya lagi.

Kali ini bukan sebuah kecupan, melainkan ciuman.

Jaehyun menarik kaki Taeyong supaya duduk di atas pahanya, membuat sanng empu terbuai dengan perbuatan tiba-tibanya kini.

Bibir tebal itu bergerak melumat milik si mungil yang membalas ciumannya dengan kemampuan seadanya.

Manis.

Bibir si mungil begitu manis. Jaehyun semakin memperdalam ciuman itu dengan menekan tengkuk Taeyong, memiringkan kepalanya sesekali menyesap, membuat kedua tangan Taeyong tanpa sadar terkalung indah di bahu Jaehyun.

Dada Taeyong serasa bergemuruh. Menyalurkan sebuah ciuman penuh cinta, dari Jaehyun yang memejamkan mata, berusaha mencari celah di antara bibirnya, hampir membuat lelaki Lee kewalahan.

Jakun Jaehyun bergerak naik turun sekali, bersamaan dengan ia yang menyudahi ciumannya, namun masih enggan menghapus jarak.

Dahi keduanya saling ia tautkan, membuat hidung Taeyong bersentuhan dengan hidung si lelaki Jung.

Semua ini begitu saja terjadi, hingga tanpa sadar Jaehyun terkekeh kecil, diikuti oleh Taeyong yang masih malu-malu.

Chup!

Jaehyun mengecup mata Taeyong, membuat sang empu semakin menghangat suhu badannya.

"Aku mencintaimu, Lee Taeyong."

"Aku juga, Jaehyun. Aku sangat mencintaimu."

Hingga di detik selanjutnya, Jaehyun membaringkan tubuh Taeyong disampingnya, membiarkan lengan kananya digunakan sebagai bantalan kepala si mungil untuk tidur.

"Tidurlah."

Si mungil mengangguk lucu, menenggelamkan diri di dada Jaehyun dan memeluk tubuh kekar itu posesif.

Jaehyun milik Taeyong, seutuhnya.

***

Part favorit aku, dari mulai Nana sama Jeno tadi, dan Jaehyun Taeyong yang udah ciuman mesra bgt kek pengantin baru, hmm..

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 208K 51
Apapun akan gue lakuin untuk ngelindungin orang yang gue cinta, termasuk bertumpah darah sekali pun. 𝙍𝙖𝙣𝙜𝙜𝙖 𝙀𝙧𝙖𝙣𝙙𝙤 𝘿𝙖𝙭𝙩𝙚𝙧𝙫𝙣 Terim...
40.1K 5.7K 27
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
110K 19.5K 38
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...