Merengkuh Liku

By Nijinoyoru

7.8K 1.7K 2.7K

(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri... More

Prolog
Aku
Dia
Alasan
Aku dan Masa Lalu
Alien
Keanehannya
Di Balik Topengnya
Demi Siapa?
Tentangnya
Pembelaan
Tentangnya (2)
Siang dan Malam
Kembali Sadar
Pilihan
Dua Sisi
Pura-Pura
Pembicaraan Malam
Prinsip Karateka
Sudah Semestinya
Perkara Cinta
Pendirian dan Prinsip
Yang Dirindukan
Pahit
Pulang
Rasanya Sakit
Bolehkah?
Epilog

Analisis

117 21 22
By Nijinoyoru

Aadidev Valdezi

Aku terdiam membeku ketika menyadari darah dari hidungnya tak kunjung berhenti, tambah lagi dirinya yang tak sadarkan diri. Kemudian, pikiranku kini bercabang, hendak membawa Maria ke rumah sakit, atau menyusul ayahnya? Ah, bodoh sekali, padahal sama-sama di rumah sakit.

Sebentar, apa harus memanggilkan orang lain untuk membawanya atau kularikan seorang diri? Melirik sekitar, tidak banyak manusia berlalu-lalang. Jika tidak salah mendengar dari MC, sekarang sedang jadwal bertanding kata. Pantas saja sorak-sorai dari dalam gedung bisa terdengar keluar.

Oke, sepertinya memang harus aku yang membawanya.

Aku menghidupkan ponsel, bertanya pada Aya di rumah sakit mana ayahnya Maria dirawat. Graha Bunda. Seingatku, tidak jauh dari sini. Perlahan, meski kakiku bergetar, kuangkat tubuh Maria, dalam hati memohon maaf karena telah menyentuhnya tanpa izin. Namun, pandanganku dikejutkan oleh bajunya yang tersingkap sedikit di bagian lengan. Beberapa memar muncul di sana.

Apa gadis ini terlalu memaksakan diri untuk latihan hingga pembuluh darahnya pecah akibat beberapa benturan? Jika iya, lantas apa untungnya? Ia menyakiti diri sendiri. Beberapa orang yang berjalan sempat menawarkan bantuan sebab melihat keadaan Maria yang tidak sadarkan diri, tapi dengan halus kutolak, aku membawa mobil.

Kuletakkan Maria di jok belakang, pikiran-pikiran negatif terus datang menghantui. Bukan kali ini saja ia mimisan. Bahkan beberapa kali juga ia tampak tidak sehat. Memar, mimisan. Otakku mengarah pada satu kesimpulan. Namun, sesaat kemudian aku menggeleng, menepis segala asumsi buruk. Tidak, tidak mungkin. Setidaknya, hingga ada diagnosis dari dokter.


🌠

Dengan sigap, perawat mendorong brankar menuju IGD, membawa Maria masuk tanpa mengizinkanku ikut ke dalam. Segala spekulasi buruk berusaha kuhindari, meski makin ditepis, makin datang bukti-bukti kecil yang mengarahkan pada satu analisis.

Dev, berhentilah berpikir saat ini! Maria mungkin hanya kelelahan, bukan?

Pura-pura kuat ternyata memakan energi yang begitu besar.

Nada dering ponsel dari aku, bertepatan dengan seorang wanita berjas putih keluar dari IGD.

"Gimana keadaannya, Dokter?"

"Sudah sadar dan bisa dijenguk. Adik ini keluarganya?"

"Eng ...."

"Boleh hubungi orang tua kalian? Saya harus bicara serius tentang penyakit gadis yang di dalam situ."

Perasaanku tidak enak. Harus kujawab apa? Aku tidak menyimpan nomor keluarganya dan ayahnya juga tengah drop.

"Memangnya dia kenapa, Dok?"

Sosok berjas putih itu menghela napas lalu menatap mataku. "Apa dia pernah menjalani check up sebelumnya?"

Mana kutahu.

"Saya enggak bisa menyimpulkan apa pun sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bisakah menghubungi orang tua kalian untuk meminta izin tindak lanjuti pasien?"

"Saya coba hubungi dulu, Dok. Terima kasih." Dokter wanita itu mengangguk, kemudian berlalu dari hadapanku.

Mengingat tidak siapa pun dari keluarganya yang kusimpan kontaknya, aku memutuskan untuk menghubungi Aya.

"Dev! Ya ampun! Woi, gue nelepon lo udah lima belas kali enggak lo angkat! Di mana sih? Susah sinyal?! Sara mana?! Ini bokapnya drop, anaknya enggak bisa dihubungi!"

Aku sedikit menjauhkan telinga dari ponsel saat mendengar teriakan Aya membabi buta. Sedikit bagian dalam hatiku menjadi ragu untuk memberi tahu Aya, takutnya gadis itu kelepasan bicara lalu membuat sekeluarga yang sudah panik karena ayahnya Maria pingsan mendadak itu bertambah cemas karena putrinya juga mendadak masuk IGD.

"Di depan IGD. Kamar bokapnya Maria di mana? Bisa ke sini, tunjukin jalan?"

"Ya ampun! Di lantai dua, kamar nomor 24 dari tangga. Udah, ke sini buruan! Mager gue turun tangga."

Aku menghela napas. Sekarang bagaimana?

"Ya, lo di dalam kamar rawat?"

"Enggaklah. Ya kali di dalam teleponan sama lo, mana bikin emosi mulu."

"Maria sakit, dia di IGD. Lo bisa ke sini dulu?"

Tuut ... Tuut ....

Apa-apaan? Masa iya sambungan langsung diputus? Terus harus bagaimana? Daripada banyak berpikir, aku memutuskan masuk ke dalam ruangan, mendapati Maria yang terbaring sambil menatap kosong langit-langit ruangan. Wajahnya pucat, raganya terbaring.

"Gimana keadaan lo?" tanyaku berbasa-basi.

"Buruk," jawabnya sembari tersenyum miring.

"Sara! Ih, beneran sakit? Sakit apa, sih? Ya ampun, mau nangis!" Aya yang tiba-tiba datang menghambur pada Maria, dapat kulihat mata gadis heboh itu berkaca-kaca.

"Kecapekan, Ya. Kayaknya gue terlalu capek latihan. Jangan bilang-bilang bokap, ya?"

Patah-patah, Aya mengangguk. Aku bernapas lega karena gadis itu tidak mengatakan kondisi ayahnya, cukup dapat berpikir jernih untuk tidak memperparah kondisi Maria.

"Aya, gue mau ngomong."

Melihat sorot tajam mataku, Aya mengangguk, sepertinya paham jika instruksi dariku mengarah pada hal yang serius.

"Sebentar, Ra." Maria mengangguk, mengiyakan izin dari Aya untuk berbicara denganku di luar.

"Dia pingsan tadi, mimisan parah banget sampai ngalir ke bajunya. Trus tadi pas gue bawa, gue lihat banyak memar di bagian tangan. Tadi, dokter juga bilang kalau dia bukan pingsan karena kelelahan doang."

"Jadi karena apa?"

"Enggak tau. Dokternya belum kasih diagnosis sebelum Maria cek darah."

"Ck! Gimana, sih?! Mbok ya kalau mau lakuin tindakan itu dipercepat! Trus ini masih harus nunggu apa, sih, biar bisa diperiksa langsung?!"

"Nunggu keluarga dan kerabatnya untuk izin."

"Ya sudah, gue panggilin nyokapnya."

Aku menahan lengan Aya sebelum lebih cepat berlalu padaku untuk memberi tahu ibunya Sara.

"Gue rasa, keluarganya enggak boleh tau dulu."

Alis Aya bertaut, keningnya berkedut. "Loh, kenapa? Bukannya memang mereka harus tau? Apa sih, lo enggak jelas banget," gerutu Aya.

"Bokapnya lagi drop dan lo mau kasih tau kondisi Maria yang begini? Belum lagi diagnosis yang bakalan keluar nanti‒"

"Memangnya kenapa?! Sara bakal baik-baik aja, Dev! Itu enggak akan buat mereka khawatir. Lo‒"

"Analisis gue, dia kena leukimia," potongku cepat, sukses membuat Aya mematung.

"Hahaha, lucu, Dev." Aya berpura-pura tertawa. Apa wajahku terlihat seperti orang yang tengah bercanda?

"Dia sering mimisan, di tangannya juga ada beberapa memar yang enggak mungkin didapat dari latihan, karena jumlahnya bukan cuma satu. Beberapa kali juga dia sering keringat dingin dan demam akhir-akhir ini, 'kan? Trus lo kira itu semua karena kecapekan?"

Aya terdiam, pandangannya kosong tiba-tiba lalu ia segera mencari sandaran, merosot pelan ke lantai. Mungkin menyesal karena tidak terlalu memperhatikan pelajaran biologi tentang sistem peredaran darah serta gangguannya.

"Mimpi. Ini mimpi. Enggak mungkin. Gimana bisa? Sejak kapan? Kenapa gue enggak sadar?"

Makin lama, isaknya makin deras, masih dalam kontrol yang baik hingga tidak memicu pandangan aneh dari orang-orang yang lewat.

"Kita harus kasih tau ini ke Sara," ucap Aya tiba-tiba membuatku terperanjat.

"Ini masih analisis gue, Ya, belum pasti."

"Tapi dari tanda-tandanya udah jelas, 'kan, Dev?"

"Kondisi mental berpengaruh sama penyakit dia, Ya. Kalau lo kasih tau, dia bisa stres."

"Apa, sih? Lo enggak tau banyak hal tentang Sara! Makin kita nyembunyiin penyakitnya, dia makin sembrono sama tubuhnya! Dia bakal anggap dirinya baik-baik aja! Belum lagi kalau dia enggak tau keadaan ayahnya sekarang, dia akan lebih ngotot buat ngelampiasin emosi dia di latihan karate, sampai malam!"

Aku terdiam dibuatnya, sungguh tak menyangka sisi perlawanan Aya keluar saat ini.

"Lo tau apa tentang dia yang udah berubah drastis sejak tiga tahun lalu? Tau apa tentang dia yang sering ngantuk di kelas tapi ngakunya lagi enggak sakit? Lo tau apa tentang matanya yang bengkak setiap pagi? Terus lo mau kita nggak ngabarin keluarganya? Seandainya analisis lo memang bener dan kita terlambat ... gimana?"

Tercenung, tapi aku tidak menyalahkan ucapan Aya. Dia sahabatnya, tentu saja ia lebih tahu. Gadis itu menunduk, mengepalkan tangan.

"Gue cuma enggak mau Sara sakit lebih jauh dari ini, Dev. Ibunya harus tau," lirih Aya, berusaha berulang kali menghapus air mata yang meleleh. Aku menghela napas panjang.

Aku diam saja. Dari dalam, kudengar suara Maria seperti memanggil. Mungkin sejak suara Aya meninggi, Maria mendengarnya.

"Kenapa ribut-ribut di luar?"


Aku dan Aya saling pandang lalu menggeleng bersamaan. Maria mengangguk patah-patah, kemudian menatap kosong ke depan.

"Gue leukimia, 'kan?"

Baik aku maupun Aya terkejut bukan main saat Maria berujar begitu meyakinkan ketika kami baru saja masuk ruangan. Tidak begitu mengejutkan, gadis itu memang cerdas, tak heran jika ia sudah menduga-duga jenis penyakitnya.

"Em ...."

"Tadi dokter nanyain keadaan gue. Ya, dari ciri-cirinya memang menjurus ke leukemia. Kira-kira udah stadium berapa, ya?"

Aku dan Aya lagi-lagi bungkam. Aku sedikit salut dengan ketenangannya menghadapi situasi ini.

"Tiga, ya? Atau mungkin empat? Menurut lo stadium berapa, Dev?"

"Untuk tau udah sejauh mana penyakit lo, lo harus ikutin serangkaian pemeriksaan kesehatan, bukan nanya ke gue," jawabku sambil memalingkan wajah dari muka Maria yang terlihat pucat.

Gadis itu terdiam, menghela napas berkali-kali, mungkin tengah menyembunyikan rasa yang berkecamuk sementara Aya menunduk makin dalam. Keheningan menyelimuti kami beberapa saat, tak ada yang berujar.

"Nyokap nggak tau kalau gue dibawa ke sini 'kan, Ya?"

Aya menggeleng.

"Jangan kasih tau mereka. Soal gue sakit, pemeriksaan, persetujuan, apa pun."

"Ah, lo ninggalin baju dan tas lo di GOR, ya? Gue ambil ke sana dulu, ya! Enggak enak banget lihatin lo pakai baju putih nyampur darah itu. Lagian, amis sama bau asem, jadi apa gitu baunya!"

Aya tanpa menunggu persetujuan dan tanpa menjawab Maria, memilih pergi. Mungkin dia tidak ingin berjanji, atau tidak kuat melihat kondisi Maria? Ah, aku tidak tahu.

🌠🌠🌠

Ngga sadar loh, Merengkuh Liku hampir sampai ending. Yep, tinggal beberapa bab lagi. Jadi, stay terus, ya!

Ceki-ceki typo, skuy! Komen aja, ya!

Terima kazii 💐



Selasa, 25 Agustus 2020

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 116K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
1.8K 584 24
UPDATE ( SENIN & JUM'AT) 🥇 1 in #musikal 🥈 2 in #nyanyi 🥈 2 in #witty siapa yang tidak mau punya banyak penggemar. Disayang banyak orang, disuppo...
869 77 34
Siapa yang menikah tidak mengharapkan hadirnya keturunan? Mungkin ada satu dari seribu pasangan suami istri berpikir seperti itu. Tapi tidak denganku...
2K 296 46
[DILARANG SHARE, COPAS TANPA IZIN. APALAGI MEMPLAGIAT. SIAPA SAJA YANG MELIHAT CERITA INI DENGAN PENULIS NAMA LAIN, TOLONG HUBUNGI SAYA. TERIMA KASIH...