The Twins ✓

By kimjinieya__

97.8K 11K 1K

[COMPLETE] Kim Seokjin yang memiliki rahasia besar mengenai keluarganya, harus mengorbankan diri untuk melind... More

part 1
part 2
part 3
part 4
part 5
part 6
part 7
part 8
part 9
part 10
part 11
part 12
part 13
part 14
part 15
part 16
part 17
part 18
part 19
part 20
part 21
part 22
part 23
part 24
part 25
part 26
part 27
part 29
part 30
part 31
part 32
part 33
Epilog [Jeju-do]

part 28

1.9K 244 13
By kimjinieya__

Budayakan Vote dan Comment.
Gomawong!

# Happy Reading #

🌸🌸🌸

Apartemen Seokjin, 09.30 KST

"Song Uisa, bagaimana keadaan Seokjin?" tanya Jonghyun. Yang kini ia dan kelima pemuda lainnya berada di Apartemen Seokjin.

Saat masih berada di Gedung terbengkalai itu, Seokjin mengeluh sakit di bagian pinggang. Jonghyun memang sudah merasa ada yang tidak beres dan janggal dengan Seokjin. Maka dari itu Jonghyun segera melingkarkan tangan Seokjin ke tengkuk lehernya. Memapahnya dan berlalu begitu saja tanpa sepatah kata. Yang berakhir kelima sahabat Seokjin dan Jaehwan mengikuti Jonghyun keluar. Hoseok dan yang lain memang melihat ada yang janggal pada Hyung mereka. Maka dari itu mereka mengikuti ke mana Jonghyun akan ke mana ia membawa Seokjin pergi. Sehingga Jonghyun memilih pergi dari Gedung tadi. Yang ternyata membawa Seokjin pulang ke Apartemen.

Dokter Song bernama lengkap Song Yoona yang berstatus saudari sepupu Seokjin menghela nafas. Usai memeriksa keadaan Seokjin, Yoona langsung turun ke bawah dan duduk di sofa yang kosong.

"Sepertinya kalian belum mengetahui keadaan Seokjin yang sebenarnya?" tanya Yoona menatap satu persatu sahabat saudaranya.

Mereka saling tatap lalu menggeleng sebagai jawaban. "Memangnya ada apa dengan Seokjin?" tanya Yoongi mewakili.

"Sebenarnya Noona tidak ingin mengatakan rahasia ini pada kalian, karena ini privasi Seokjin. Tapi mengingat kalian merupakan sahabat baik Seokjin, Noona akan mengatakannya," tutur Yoona. Ia membasahi bibirnya yang basah terlebih dahulu sebelum berkata jujur. Meski dadanya mulai sesak dikala mendengar Seokjin sudah tak sadarkan diri saat sampai di Apartemen. "Ada satu fakta yang Seokjin rahasiakan dari kalian. Sebenarnya..."

Yoona menjeda. Tak kuasa untuk berkata - kata. Melirik meminta bantuan pada Jonghyun yang menghela nafas kemudian. "Seokjin hanya memiliki satu organ ginjal yang menjadi penopang hidupnya selama ini," sahut Jonghyun.

Deg

Mata mereka terbelalak sempurna. Terkejut akan pernyataan yang terlontar dari bibir Jonghyun. Sungguh. Perasaan bersalah itu semakin besar setelah mendengar kebenaran itu. Mereka semua tertunduk menyesal.

"Alasannya? Dia mendonorkan satu ginjalnya untuk Nyonya Kim, karena dulu Nyonya pernah mengalami kerusakan oada satu ginjal. Akibatnya Nyonya Kim butuh pendonor Ginjal jika dia ingin sembuh. Seokjin ingin mendonorkan ginjalnya, tapi takut Nyonya Kim menolak. Karena hanya ginjal Seokjin yang cocok untuk Nyonya Kim. Sehingga ia berencana tetap mendonorkan dan merahasiakan identitasnya sebagai pendonor. Dari sejak saat itulah Dokter menyarankan pada Seokjin agar tidak kelelahan dan banyak pikiran, karena Seokjin akan mudah terserang penyakit. Seperti demam dan flu. Aku takut Seokjin tidak bertahan dengan satu ginjal saja. Apalagi anak itu sudah merasakan sakit di Ginjalnya yang tersisa," jelasnya. Jonghyun menelan salivanya kasar.

"Sudah beberapa kali ini aku memergoki dia kesakitan dan tak sadarkan diri di Apartemen. Dia terlalu memaksakan diri untuk mengurus ini dan itu tanpa memikirkan kesehatannya. Tubuhnya butuh istirahat. Bahkan dia suka terlambat dan jarang sekali makan jika Hyung lihat," lanjutnya.

Jonghyun menghela nafas berat. Sesak mengingat pengorbanan Seokjin selama ia hidup. Apalagi anak itu memiliki penyakit bawaan. Hemofilia. Saat itu saja Seokjin hampir meregang nyawa karena penyakit itu. Beruntung Tuhan masih memberi kesempatan Seokjin hidup. Sehingga ia masih bisa bernafas sampai sekarang.

Kening Yoongi mengernyit. Ia melupakan suatu hal. "Bukankah Seokjin memiliki Hemofilia?" tanyanya.

"Ya, dan pada saat itu Seokjin hampir meregang nyawa karena penyakit sialan itu," sambar Yoona kesal.

Jimin dan yang lain membeku. Ternyata begini hidup Seokjin selama ini. Di balik sikap dingin dan berandalnya, sekalipun Seokjin tidak pernah menunjukkan rasa sakit, mengeluh dan protes di depan mereka. Seokjin sangat kuat dan tegar jika menghadapi masalah yang selalu ia hadapi. Mereka akui itu.

"Maaf..."

Rasa menyesal pasti akan selalu datang di akhir bukan? Itulah yang sedang kelimanya rasakan.

"Hoseok-a, kau tidak perlu merasa menyesal atas apa yang terjadi pada Seokjin tadi. Ini bukan salahmu. Seokjin melakukan ini agar kalian tidak terluka. Cukup Jungkook, jangan bertambah lagi. Kalian pasti mengerti," tegur Jonghyun.

Wajah mereka semakin tertunduk. Benar - benar tidak ingin menatap Jonghyun. Akhirnya pemuda bermarga Kim itu menghela nafas pasrah. Setelahnya ia menoleh pada Yoona.

"Apakah dia perlu di bawa ke rumah sakit, Song Uisa?" tanyanya.

Yoona menggeleng. "Tidak perlu. Dia hanya perlu banyak istirahat. Sepertinya semalam dia tidak tidur. Pasti kelelahan menunggu operasi Seokjun selesai," lesunya.

Kepala kelima pemuda terangkat dan menatap penuh tanya. "Apa maksud Noona? Seokjun Hyung sedang di operasi?" tanya Namjoon.

Yang ditanya mengangguk. "Ya, kau benar sekali Namjoon. Adik sepupuku yang lain sedang berusaha untuk kembali sembuh. Jantung baru itu cocok untuknya. Jadi Jongsuk Samcheon secepatnya melakukan operasi itu," jelasnya.

"Lalu, bagaimana keadaannya?" tanya Taehyung.

"Operasinya lancar. Dia sudah dipindahkan ke kamar rawat VVIP. Tadi sebelum ke sini, aku mampir sebentar ke kamarnya dan Seokjun sudah sadar."

Jimin dan Hoseok bisa bernafas lega. "Syukurlah," lega Jimin. Lantas mendongak. Menatap Seokjin yang masih terbaring di sana. Ia juga bisa melihat Soobin masih setia menemani Seokjin di sisinya. "Aku yakin, Seokjin Hyung pasti sangat senang mendengarnya." lanjutnya. Tersenyum manis.

"Ya. Bahkan dia tidak sempat menemui Seokjun setelah operasi dinyatakan selesai. Lebih tepatnya pergi begitu saja tanpa ingin bertemu dengan Seokjun," jawab Yoona mendengus.

Hoseok terkekeh kecil. "Noona seperti tidak tahu Seokjin Hyung saja," godanya.

"Ck! Anak itu mem--"

"Noona! Seokjin Hyung sadar!" potong Soobin berteriak dari atas.

Yoona mendongak seketika dan otomotis berlari menaiki anak tangga. Secepatnya menghampiri dan segera memeriksa Seokjin. Sementara yang lain menunggu di bawah.

"Seokjin-a, Apa yang kau rasakan saat ini?" tanya Yoona memastikan menatap Seokjin intens.

Yang lebih muda mengangkat tubuh, berusaha mengubah posisi berbaring menjadi duduk di bantu Soobin. Sedikit meringis kala pusing menyerang kepalanya setelah bangun.

Saudari sepupunya menangkapnya. "Apa kau merasa pusing?" tanya Yoona.

"Ya. Sedikit," jawab Seokjin singkat.

"Apa perlu Noona bawa ke rumah sakit?"

Seokjin menatap wajah Yoona. Tatapannya sedikit sayu namun tak sedikitpun menurunkan aura dingin. "Tidak perlu. Aku baik - baik saja," jawabnya sedikit tegas.

"Baik - baik saja bagaimana? Kau ini baru saja terbangun dari pingsanmu, Kim Seokjin-ssi!" bentak Yoona.

Mata terpejam sekilas. Seokjin terperanjat kaget mendengar bentakan sang Kakak. Serta sedikit memundurkan tubuhnya karena kaget. Pun dengan keenam pria yang berjengit kaget di bawah sana. Hembusan nafas kasar terdengar. Seokjin membuka mata dan menatap dingin kepada sang Kakak.

"Jangan mengejutkanku Noona. Aku benar - benar tak apa, khawatirkan para pasienmu di Rumah sakit. Lebih baik Noona kembali bekerja," ujar Seokjin dingin.

Di balas dengusan dari Yoona. "Tidak. Noona akan merawatmu," jawabnya.

"Lebih baik Noona pergi bekerja. Aku yang akan merawat Seokjin Hyung," bukan Seokjin yang menjawab melainkan Soobin.

"Tapi kondisimu juga belum membaik, Bin-a. Kau butuh istirahat," tegur Yoona.

Seokjin teralih pada Soobin. "Kau masih demam?" Tangannya reflek menempel di dahi Soobin dan benar, suhu panas langsung terasa di punggung tangannya.

Soobin menepis pelan tangan saudaranya. "Aku baik - baik saja, Hyung. Biarkan aku yang merawatmu," tawarnya.

Tak langsung menjawab. Seokjin menatap lekat manik mata saudara bongsornya ini dalam diam. Netra Soobin tersirat akan kelembutan dan kasih sayang yang dalam. Seokjin akui anak ini memang baik dan lembut. Tapi Soobin bisa menjadi lebih garang jika keluarganya disentuh oleh orang - orang jahat di luar sana. Apa jadinya ia tahu akan kejadian Ibunya yang di culik.

Akhirnya Seokjin memilih membiarkan Soobin untuk merawatnya. Sorot mata memandang Yoona kini. "Biarkan Soobin yang merawatku. Noona kembalilah bekerja," putusnya tegas tak ingin di bantah.

"Kau yakin, Seokjin?"

Yang di balas anggukan dari Seokjin. "Aku sangat yakin Noona," jawabnya.

Mau tidak mau Yoona menuruti keinginan Seokjin. Menghela nafas kemudian. "Baiklah. Noona akan kembali ke Rumah sakit," pasrahnya. Pandangan beralih pada Soobin. "Bin-a, jangan biarkan dia pergi ke manapun untuk seharian ini. Cegah dia sebisa mungkin. Kalau dia marah, hubungi Noona. Mengerti, Soobin?" peringat Yoona.

Soobin mengangguk. "Ne Noona. Aku akan berusaha." balasnya.

"Kalau begitu Noona pergi dulu," pamit Yoona.

Begitu Soobin membalas dengan mengangguk, Yoona segera bangkit dan turun dari lantai atas untuk berpamitan juga dengan kelima sahabat Seokjin dan Jonghyun.

Di waktu yang sama tapi beda tempat, salah satu gadis bermarga Kim belum juga bangun dari lelapnya. Apalagi ini sudah siang.

"KIM JISOO!! YAK! BANGUN PEMALAS! KAU INI ADA KULIAH JAM 11 SIANG BODOH!"

Bukannya bangun malah selimut itu semakin menutupi seluruh tubuh gadis bernama Kim Jisoo. Sementara sahabat gadis ini mengguncang semakin gencar bahu Jisoo.

"YAK! ABEL KIM!"

"Yaisshh!!" Selimut tersibak dengan kasarnya dan langsung terduduk dengan perasaan kesal. Tatapan tajam mengarah pada sang sahabat. "Berhenti menggangguku! Kuliah apanya?! Memang kita sedang ada di California?! Ini Korea Jennie!" pekiknya kesal.

Oke. Jennie sontak terbungkam. Lupa akan dirinya yang saat ini berada di Korea. Mereka ada di Korea juga karena berlibur selama beberapa bulan.

Gadis bernama lengkap Kim Jennie menepuk jidat merasa bodoh. Bagaimana bisa ia melupakannya. "Kenapa jadi bodoh begini? Aiisshhh!" dengusnya.

Sementara Jisoo memutar matanya malas. Menertawakan kebodohan sahabatnya dalam hati. Kedua tangan bahkan terlipat dengan angkuhnya di depan dada. Merasa menang telah membuat Jennie kesal.

"Bagaimana? Sudah ingat?" goda Jisoo. Sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Plak

"Akh! Yak! Kenapa memukulku?!" protes Jisoo. Lengannya menjadi korban pemukulan.

Jennie mendengus. "Karena kau telah menggodaku! Sialan!" umpatnya seraya berlalu.

Meninggalkan Jisoo yang tergelak melihat wajah cemberut sang sahabat. Rasanya bahagia sekali melihat anak itu merajuk. Sebenarnya tak bermaksud untuk mengerjainya. Hanya saja Jennie ini sangat mudah merengut meski tampangnya terbilang dingin.

Jisoo menggeleng kecil heran. "Bagaimana bisa aku memiliki sahabat sepertinya?" lalu terkekeh kecil. "Tanpanya, aku tidak mungkin bisa bertahan di California." Senyuman tersungging di bibirnya.

Usai bermonolog, Jisoo segera beranjak dari ranjang dan keluar dari kamarnya. Melangkah ke kamar mandi berada. Segera membersihkan diri. Sebab ia harus pergi ke sesuatu tempat bersama sahabatnya. Sementara Jennie sedang memasak ramyeon kesukaan mereka. Tapi bibir terus berkomat - kamit menggerutu.

"Cih! Punya sahabat kenapa begini amat? Tidak di California, di Korea. Tetap sama. Menyebalkan!" gerutu Jennie. Namun tangan tetap mengaduk mie yang akan menjadi sarapannya bersama Jisoo. "Kalau bukan aku yang memasak, Jisoo tidak akan kelaparan."

"Terima kasih, Jen," ucap Jisoo menyentak.

Berjengit kaget mendengarnya. "Astaga!" Sontak tubuh berbalik ke belakang dan langsung berubah garang. "Kenapa kau mengejutkanku bodoh?! Bagaimana kalau aku jantungan?" omelnya mengerucut sebal.

Jisoo terkekeh mendengarnya. "Sorry. Kau terlalu sibuk berbicara sendiri jadi tidak mendengar aku telah datang ke dapur," jelasnya seraya mendekati sang sahabat. "Kau masak ramyeon?" tanyanya.

"Aku sudah lama tak memakan ramyeon. Rindu sekali rasanya.." girang Jennie.

Mata bergulir jengah mendengar. "Di California bahkan kau memesan satu kardus ramyeon dari Korea," ingat Jisoo.

Berhenti mengaduk. Jennie mendongak mengingat - ingat kejadian lucu di California. "Ah iya, aku ingat. Ramyeon itu aku habiskan sendiri tanpa mengajakmu makan bersama," kekehnya menatap Jisoo. "Kau terlalu sibuk dengan tugas - tugasmu, sampai kau tak memperhatikan jam makanmu." imbuhnya.

Pun dengan Jisoo yang ikut terkekeh. "Yaa, kau lupa? Aku sibuk karena harus segera menyelesaikan tugasku dulu, baru kita bisa berlibur ke Seoul. Selama 2 bulan itu cukup lama kau tahu." Seraya duduk di kursi meja makan yang muat untuk mereka berdua.

Jennie terkekeh mendengarnya. "Iya, iya. Aku tahu. Yang terpenting sekarang, kita harus memikirkan liburan apa yang menyenangkan untuk hari ini." tuturnya.

Bibir Jisoo manyun, mata bergerak ke sana kemari memikirkan liburan apa yang akan mereka lakukan pada hari ini. Kedua tangan bahkan terlipat di depan dada. Pun dengan Jennie yang juga ikut berpikir. Meski dirinya harus melanjutkan memasaknya untuk sarapan mereka. Tapi sayangnya pikiran yang terlintas di otak Jennie hanya sebuah pertanyaan. Pertanyaan tentang saudari tiri Jisoo.

Jennie sedikit menengok ke belakang tanpa suara. Mendapati Jisoo tengah mencari sesuatu di ponsel. Kemudian ia kembali menatap pancinya.

'Apa aku harus bertanya padanya? Tapi, bagaimana kalau Jisoo tak menjawab?' batin Jennie.

"Ah!!" teriak Jisoo dari belakang.

Reflek membuat jantung Jennie berdegup kencang dan berjengit kaget dibuatnya. Jennie spontan berbalik dan menatap kesal pada sahabatnya. "Ada apa, Soo-ya? Kenapa kau mengejutkanku lagi?!" omelanya.

Jisoo menyengir tanpa dosa. "Mian. Aku berteriak karena sudah menemukan tempat untuk kita berwisata." jelasnya.

"Jinjja? Di mana itu?" tanya Jennie.

Netra Jisoo kembali menatap layar ponsel. "Namsan Tower. Bagaimana menurutmu?"

Jennie diam tampak berpikir. Tempat yang di sarankan oleh Jisoo bagus juga. Tunggu? Bukankah tempat itu cukup jauh dari Seoul?

Ingin rasanya berkomentar, tapi sahabatnya ini tipe perempuan yang emosional. Tidak mampu mengendalikan amarahnya jika tidak dibantu. Jadi lebih baik Jennie menyetujui saja.

"Baiklah. Aku setuju denganmu," jawabnya.

Rumah sakit, Pukul 17.00 KST.

"Jungkook-a, kenapa sahabat - sahabatmu tidak ada yang datang lagi kemari?" tanya sang Ibu.

Yang tadinya fokus pada games kini atensitas menatap sang Ibu sepenuhnya. Alisnya terangkat sebelah. Sepertinya Jungkook tak mendengar pertanyaan sang Ibu. Seakan mengerti, Nyonya Jeon kembali mengulang pertanyaannya.

"Apa keenam sahabatmu akan datang menjengukmu?"

Jungkook menatap sang Ibu lekat. "Mereka akan datang kemari sesuai jam besuk, Eomma..." jawabnya malas.

Sang Ibu menghela nafas pasrah. "Baiklah. Eomma akan menunggu mereka," jawabnya pelan.

Pemuda bergigi kelinci ini terkekeh kecil. "Apa Eomma merindukan mereka?" tanyanya.

"Tidak. Hanya Seokjin yang Eomma rindukan," jawab sang Ibu.

"Eeyy... Jangan seperti itu sama yang lain, Eomma. Mereka juga sayang dan merindukan Eomma," tegur Jungkook.

Sang Ibu hanya terkekeh kecil. "Baiklah, baik. Eomma juga merindukan yang lain," ucapnya pasrah.

"Itu baru Eommaku tersayang kekekee..."

Bibir sang Ibu merengut. "Jadi selama ini kau tidak menyayangi Eomma begitu?" protesnya.

Jungkook terbahak mendengarnya. "Hahahaa bercanda Eomma," kekehnya.

Nyonya Jeon mendengus. "Lebih baik kau istirahat. Eomma ingin keluar senjenak,"

"Ke mana Eomma?"

"Ke kantor. Ada pekerjaan yang perlu Eomma urus, sayang. Kau tak apa Eomma tinggal sendiri?"

Yang lebih muda mengangguk meyakinkan. "Eomma tenang saja. Aku sudah biasa sendiri," ucap Jungkook tersenyum.

Senyum pedih terlukis di wajah sang Ibu. Merasa sedih dikala Jungkook mengatakan bahwa ia sudah biasa ditinggal sendiri. Ada perasaan menyesal dulunya ia sering kali meninggalkan Jungkook sendiri di rumah. Hanya karena demi pekerjaan. Namun ia melakukannya demi menghidupi Jungkook bukan untuk berfoya - foya.

"Maafkan Eomma yang sudah terlalu sering meninggalkanmu sendiri hanya demi pekerjaan," ujar sang Ibu lesu.

Jungkook menggeleng. "Gwaenchana Eomma. Aku tak apa bila harus sendirian di rumah sakit,"

"Imo tenang saja, kami akan menemani Jungkook."

Belum juga menjawab, sang Ibu kembali mengatupkan bibirnya kembali. Keduanya menoleh pada pintu kamar rawat Jungkook. Tepat di ambang pintu, terdapat kelima sahabatnya yang sudah berdiri di sana. Yang baru saja menyela pembicaraan keduanya adalah Jimin. Pemuda pemilik hati malaikat itu tersenyum hangat. Kakinya melangkah mendekati sepasang Ibu dan Anak itu. Diikuti keempat sahabatnua dari belakang.

"Hyungdeul! Akhirnya kalian datang. Aku sudah menunggu kalian sedari tadi tahu!" gerutu Jungkook murung.

Nyonya Jeon terkekeh ringan. "Kalau begitu Eomma pergi dulu ya sayang," pamitnya. Yang lebih muda mengangguk. "Hati - hati Eomma." ucapnya lembut.

Anggukan di berikan sebagai jawaban. Nyonya Jeon berbalik. Tidak lupa ia berpamitan pula dengan kelima sahabat Putranya. Setelah itu ia berlalu pergi dari kamar rawat sang Anak.

Sepeninggal Nyeonya Jeon. Keheningan menjemput keenamnya. Jungkook seperti tengah menunggu kelima Hyungnya membuka suara, sedangkan yang ditunggu malah menutup mulutnya. Bahkan ada yang membuang muka.

Helaan nafas terdengar dari bibir tipis pemuda berwajah dingin itu. Yoongi segera melangkah ke sisi kanan ranjang pesakitan yang kosong dan berdiri di sana. Mengusap lembut surai hitam milik sang magnae mereka.

"Mian. Tadi kami baru saja pulang dari Apartemen Seokjin," ujar Yoongi.

Kepala menoleh pada Yoongi dan tersenyum tipis. "Gwaenchana Hyung. Oh iya Hyung, kenapa Seokjin Hyung tidak sekalian ikut dengan kalian?" tanyanya.

Yoongi terdiam. Ia mendongak. Menatap satu persatu sahabatnya yang juga telah menatapnya. Pemuda berkulit putih itu meminta bantuan pada keempat sahabat lainnya untuk menjawab pertanyaan Jungkook.

Seakan mengerti akan tatapan sang Hyung, Namjoon berinisiatif menjawab. "Seokjin Hyung sedang ada urusan. Katanya, dia tidak akan sempat datang kemari karena urusannya sangat penting," jawabnya berbohong.

Jungkook hanya mengangguk - angguk lesu. "Ohh.."

Kamar rawat Jungkook seketika hening. Mereka hanya menatap sedih dan sesal pada Jungkook. Cukup menyesal telah membohongi sahabat kecil mereka mengenai keadaan Seokjin.

Karena sebelum ke rumah sakit, mereka berlima di beri peringatan dari Seokjin untuk tidak mengatakan keadaannya saat ini.

"Jangan katakan apapun pada Jungkook mengenai keadaanku. Bila kalian tidak menuruti perkataanku, jangan harap kalian bisa bertemu lagi denganku. Selamanya."

===============

To be Continue

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 65.3K 96
Highrank 🥇 #1 Literasi (24 November 2023) #1 Literasi (30 Januari 2024) #3 Artis (31 Januari 2024) #1 Literasi (14 Februari 2024) #3 Artis (14 Fe...
44.9K 3.5K 25
Begitulah... Rasa takutmu, kesedihanmu, serta rasa kelelahanmu sudah ditakar. Dan semua punya takdirnya sendiri untuk usai. ~ Min Yoongi ~ This is...
121K 8.9K 32
Karena di awal awal saya menulis ini, ada penulisan yang amatir jadi beberapa chapter akan saya perbaharui. "Hyung jangan tinggalkan kami" "kembalila...
325K 35.3K 71
⚠️BXB, MISGENDERING, MPREG⚠️ Kisah tentang Jungkook yang berteleportasi ke zaman Dinasti Versailles. Bagaimana kisahnya? Baca saja. Taekook : Top Tae...