Uninterrupted Dream (A Perfec...

By Alqishthi

69.8K 8.4K 1K

"Terkadang mereka yang tak menangis bukan karna mereka tak susah atau tak terluka. Tetapi karna mereka sadar... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Enam belas
Tujuh belas
Delapan belas
Sembilan belas
Dua puluh
Dua puluh satu
Dua puluh dua
Dua puluh empat
Dua puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Tiga Puluh
Tiga puluh satu
Tiga puluh dua
Tiga puluh tiga
Tiga Puluh empat
Tiga puluh lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Info
Tiga Puluh Delapan
Tiga puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat puluh tiga
Empat puluh empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
Lima Puluh
Lima puluh satu
Lima puluh dua
Lima puluh tiga
Lima puluh empat
Lima puluh lima
Lima puluh enam
Lima Puluh Tujuh
Epilog

Dua puluh tiga

819 132 8
By Alqishthi

Buku yang di pegang Ji hwa tertutup dengan sedikit kencang hingga menimbulkan suara yang mencuri perhatian Woo Jin yang duduk di sofa dengan mengetik pada Laptopnya.

"Apa kamu tidak akan bekerja?" tanya Ji hwa pada Woo Jin

"Aku sedang kerja"

"Ya! Sejak kapan seorang dokter sibuk kerja dengan laptop. Memangnya kamu seorang presiden direktur?"

Woo Jin menegapkan tubuhnya , Ia menyilangkan kaki dan juga melipat tangannya tanpa mengatakan apapun hanya menunggu Ji hwa melanjutkan kalimatnya.

"Aku bosan" ucap Ji hwa yang kini nada suaranya menurun. Lebih seperti mengeluh gemas.

"Lalu aku harus bagaimana?"

Ji hwa mengacungkan tangannya. "Lepaskan infus ku" ucap Ji hwa

"Lalu?"

"Ya lepaskan saja.."

"Kamu akan berkeliling rumah sakit seperti anak baru?"

"Issh..tidak. Aku hanya akan diam di tempat ku"

Woo Jin menganggukan kepalanya. Ji hwa tersenyum dan menggerakan tangannya.

"Jadi?"

Woo Jin balas tersenyum. "Sayang sekali aku bukan dokter mu" ucap Woo Jin dan kembali menurunkan kakinya lalu menatap laptopnya.

Ji hwa mendengus kesal. Ia pun turun dari kasurnya, dengan repot menarik-narik tiang infusnya dan ikut duduk di samping Woo Jin.

"Woo Jin..Woo Jin ah..." ucap Ji hwa dengan manja yang tentu saja di abaikan oleh Woo Jin. Namun Ji hwa tak putus asa. Ia terus saja mengganggu Woo Jin dengan banyak cara, seperti bersandar, mendorong, meniup-niup rambut Woo Jin, bahkan mengganggu pekerjaan Woo Jin.

Woo Jin tak banyak merespon dengan sabar Ia hanya terus memperbaiki kerjaanya yang di recoki Ji hwa.

"Kamu benar-benar akan mengabaikan ku?"

Bukan menyauti Ji hwa, Woo Jin justru melihat layar laptopnya  lebih serius.

"Yaudah aku mau cari Hyo joon saja. " ucap Ji hwa berdiri dari duduknya dan akan melangkah pergi. Namun bajunya di tarik oleh Woo Jin.

Dengan penuh kemenangan Ji hwa tersenyum dan menolehkan kepalanya. 

"Kenapa?  Apa kamu cemburu dokter Song? "

Woo Jin menggeleng dengan wajah datarnya.

"Kalau itu lepaskan aku"

"Aku mau kamu lihat ini.."

"Ck.. Oh tidak perlu alasan bodoh seperti itu. Kalau cemburu bilang saja, kamu juga membuang hotteok dari Hyo joon."

"Apa delusi mu semakin parah Ji hwa? Apa aku terlalu pengangguran sampai harus sibuk merasa cemburu?"

"Buktinya kamu ada di sini bukan di kantor mu."

"Diamlah, jangan berlebihan. Aku di sini karna merasa berasalah dan duduklah, kamu perlu melihat ini"

Ji hwa mencebik kesal yang justru nampak gemas karna pipi cubbynya. Meski kesal Ia tetap duduk dan menatap layar laptop Woo Jin.

"Itu hanya radang usus buntu. Woo Jin ah. Apa kamu dokter baru sehingga harus berdiskusi hanya karna ..." oceh Ji hwa panjang lebar dan berhenti tepat ketika Woo Jin menunjukan hasil yang lain.

"Eoh.." ucap Ji hwa terkejut lalu mendekat pada layar laptop Woo Jin.

Ji hwa menunjuk gambar-gambar itu dan mencoba meyakinkan diagnosanya.

"Situs inversus ?" ucap Ji hwa

Woo Jin mengangguk.. 

"Eoh.. Multiple limpa? "

Woo Jin mengangguk lagi,  "tepatnya Apendisitis dengan Situs inversus ambigus multiple limpa."

Dengan tampang yang lebih serius, Ji hwa memperhatikan gambar-gambar itu. Ia menghela napasnya dan berfikir.

"Tidak mungkin dengan laparaskopi kalau gitu,  harua operasi terbuka"

"Ini pasien dari rumah sakit daerah.  Mereka meminta untuk di rujuk ke sini" ucap Woo Jin

Ji hwa menegapkan tubuhnya dan menggigit ibu jarinya seraya berfikir.

"Apa sudah melakukan prosedur pengiriman."

Woo Jin menggeleng, "siapa yang akan menerima? Hanya kamu yang mengambil sub spesialis digestif dan kamu tidak bisa melakukan operasi sekarang" ucap Woo Jin

"Tapi menunggunya akan membuat usus buntunya pecah dan itu akan semakin sulit apa lagi dengan kondisi Inversusnya " ucap Ji hwa

Woo Jin menatap Ji hwa dengan serius. "Temani aku dan aku akan melakukannya." ucap Woo Jin

"Ah?"

"Temani aku di ruang operasi. Aku akan melakukan sesuai arahan mu"

"A..a.ku juga tidak pernah menangani pasien Inversus." ucap Ji hwa dengan gugup. Ia masih belum berani untuk masuk ke ruang operasi tentu saja.

Woo Jin memeringkan tubuhnya menghadap Ji hwa.  Ia memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya menguatkan diri untuk mengatakan ini.

"Mungkin banyak hal yang tidak aku sukai dari mu, ke angkuhan mu terutama. Tapi harus aku akui sebagai dokter bedah kamu memang jauh lebih baik dari ku. Han Ji hwa aku percaya dengan mu, banyak sekali hal yang diam-diam aku pelajari dari mu sebagai seorang dokter bedah. Tolong bantu aku kali ini"

"Woo Jin aku.."

"Tolong aku Han Ji Hwa, dia adalah anak dari pengasuh ku. Seperti yang kamu tau aku tumbuh dan besar dengan pengasuh ku karna orang tua ku yang sibuk. Aku mohon bantu aku kali ini" ucap Woo Jin

"Bagaimana kalau aku minta profesor Bae, atau papah ku, papah mu?"

Woo Jin menatap Ji hwa dengan serius. "Apa kamu sangat tidak ingin membantu ku?"

"Ngga..bukan gitu.."

"Lalu apa? Seperti yang kamu tau sub specialis prof bae adalah Bedah onkologi. Lalu ayah ku dan ayah mu adalah specialis jantung. Jangan bercanda Ji hwa.. Aku tulus memohon padamu"

Ji hwa menghela napasnya. Bagaimana caranya Ia mengatur jalannya operasi jika melihatnya saja Ia tak punya nyali.

Woo Jin mengangguk. "Lupakan saja, kamu istirahat lah" ucap Woo Jin dan kemudian berdiri dari tempatnya. Ia mengambil laptonya dan berjalan pergi.

Ji hwa pun semakin bimbang. Ia sungguh ingin membiarkannya saja. Lagi pula ini hanya sebuah novel bukan kehidupan nyata, tidak peduli siapa yang meninggal itu hanya bohongan. Namun tentu saja tak mudah bagi Ji hwa mengabaikan Woo Jin.

"Aku akan membantu mu" ucap Ji hwa dan ikut berdiri.

Tangan Woo Jin yang akan membuka pintu pun terhenti. Ia membalik tubuhnya menatap Ji hwa.

"Kamu serius?" tanya Woo Jin dengan mata berkaca-kaca.

Ji hwa mengangguk. "Hmm.."

Dengan langkah cepat Woo Jin menghampiri Ji hwa dan memeluk Ji hwa begitu saja.

"Terimakasih Ji hwa...terimakasih" ucap Woo Jin

Ji hwa mendadak mematung di tempatnya. Ia sungguh tak tau harus bagaimana, ini pertama kalinya Ia di pelui oleh seorang pria seperti itu. Terlebih pria itu adalah yoo yeon sok. Jantung Ji hwa berdegup cepat, entah sebagai siapa jantung itu berdegup sebagai han ji hwa atau sebagai Qianna dan juga entah untuk siapa jantungnya berdegup kuat, untuk Song Woo jin atau Yoo yeon sok.

Menyadari tak mendapatkan respon apapun dari Ji hwa, woo jin melepaskan pelukannya.

"Maaf.." ucapnya tak enak.

"Eng? Oh..ya..its ok" ucap Ji hwa tak jelas.  Tentu saja karna Ia merasa gugup. 

Baik Ji hwa ataupun Woo Jin sama-sama merasa malu dan juga canggung. Sungguh situasi yang aneh mengingat itu hanya sebuah pelukan, mereka adalah orang dewasa dan sepasang suami istri bagaimana bisa malu hanya karna berpelukan singkat.

"Em.. Sekali lagi makasih.."

"Ya..sama-sama"

"Kalau gitu aku pergi dulu, aku akan menghubungi rumah sakit di sana dan menyiapkan operasi"

Ji hwa mengangguk. Woo jin mengangguk dan tak kuasa membiarkan senyumnya mengembang. Hati mana yang tak mencair melihat senyum penuh ketulusan tercetak di wajah pria tampan yang selalu nampak dingin itu.

"Aku pergi.."

"Ya.. " ucap Ji hwa

Woo Jin menggaruk pelipisnya canggung. Lalu akan membalik tubuhnya hingga Ji hwa memanggilnya.

"Woo Jin.."

"Hmm?" jawab Woo Jin dan membalik tubuhnya lagi dengan cepat.

"Apa kalau gitu, kamu bisa membebaskan ku dari ini?" tanya Ji hwa dan mengangkat infusnya.

Ji hwa nyaris tak berkedip melihat Woo Jin yang tiba-tiba saja tertawa kecil. Woo Jin mengangguk lalu hal tak terduga terjadi lagi, Woo Jin mengangkat tangannya dan mengusap kepala Ji hwa dengan lembut.

"Akan aku katakan pada dokter mu, untuk membebaskan mu. Tunggulah..dan jangan kabur"

Dengan mata yang terus menatap ke arah Woo jin , Ji hwa menganggukan kepalanya.

Woo Jin pun meninggalkan Ji hwa, tepat setelah itu Ji hwa terhuyung ke belakang hingga terduduk di lengan sofa. Tangannya yang tak di perban menyentuh dadanya. Jantungnya terasa seperti akan melompat dari tempatnya.

Lalu tangannya berpindah pada kepala yang tadi di usap Woo Jin. Ia tak bisa untuk tak tersenyum.

"Apa seperti ini cara ku kembali ke dunia nyata ku? Mati di tempat ini karna jantung ku yang ingin melompat keluar?" gumam Ji hwa, beberapa detik kemudian. Ia menghentak-hentakan kakinya dengan riang.

Ia sudah lupa apa itu jatuh cinta sejak ia di permalukan dulu. Saat ini sepertinya Ia mulai kembali mengingat apa yang di sebut jatuh cinta, perasaan yang selalu di dambakan hampir semua orang di dunia, JATUH CINTA.

***
Happy Reading ...

Continue Reading

You'll Also Like

Dersik By khanifahda

General Fiction

757K 94.4K 62
Hutan, senjata, spionase, dan kawannya adalah hal mutlak yang akan selalu melingkupi hidupku. Namun tidak semudah itu ketika duniamu menolak akan ha...
23.2K 3.4K 41
Kikan adalah cewek yang sudah memiliki kelebihan melihat hantu sejak kecil. Masa kecilnya yang dipenuhi cerita-cerita seram sekaligus konyol bersama...
593K 38.2K 35
Nama ku Dina Nabila, panggil saja aku Dina. Ini cerita tentang diriku dan dia yang bernama Atha. Bagi ku Atha adalah warna abu-abu, bukan cuma itu sa...
1.1M 29.3K 10
Dia adalah seorang gadis yang rela melepaskan cintanya untuk seorang sahabat, berharap jika perempuan itu dapat bahagia bersama orang yang dicintainy...