GALARA [END] ✔️

By Diitar

353K 18.3K 5.5K

⚠️ JANGAN PLAGIAT! ••• Siapa yang tak mengenal Gara Elang Rajawali? Hampir semuanya mengetahui nama itu. Bahk... More

01. Rosas Negras
02. Masalah nama
03. Ramalan Gilfa
04. Kecupan dari Gara
05. Dijodohkan?
06. Kamu, Lo!!
07. Fitting baju
08. Raganda menyerang
09. Si pengkhianat
10. Sah!
11. Ditolak terus
12. Di adu domba lagi
13. Gara celaka
14. Kertas kosong
15. Teka teki
16. Leon
17. Senyum misterius
18. Ngetes doang padahal
19. Singa betina marah
20. Hari bersejarah untuk Gilfa
21. Mencoba
23. Ada apa dengan Leon?
24. Gak ada Leon gak seru
25. Mimpi dan penyesalan
26. Mengingat lagi
27. Malam yang terkutuk
28. Gara salah paham
29. Terumbar
30. Malam yang menyakitkan
31. Antara iya dan tidak
32. Ada apa dengan Gilfa?
33. Mengetahui, rencana, dan kebahagiaan
34. Anniversary dan tawuran
35. Sampai jumpa
36. Sebuah aib
37. Satu kesalahan yang berdampak
38. Memulai lagi dari awal
39. Thanks
40. Basi!
41. Seperti mati lampu
42. Gara mesum
43. Tidak sesuai ekspektasi
44. Pamit
45. Surat
46. Janji
47. Kembali, tapi bukan sekarang
48. Prom night dan pesan misterius
49. Penentu takdir
50. the end of everything
EXTRA CHAPTER
CERITA BARU

22. Cukup menunggu

5.5K 372 144
By Diitar


🏁Kasih saran jika ada salah
🏁Jejaknya sangat dibutuhkan
🏁HAPPY READING 🖤

🏍️🏍️🏍️

Gara berulang kali duduk dan berdiri.
Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Dia masih memikirkan perkataan Dewa tadi di sekolah. Selain itu, dia juga sedang memikirkan pengkhianat yang berada di gengnya.

Tadi, sesaat pulang sekolah Gara menemukan kotak hitam lagi di atas kap mobilnya. Lelaki itu sempat memeriksa ke ruang cctv namun tak ada jejak dari orang itu. Gara jadi sulit untuk menemukan siapa pelaku aslinya, jika menggunakan berbagai jebakan yang ada dirinya sendiri yang terkena jebakannya.

Kotak itu belum sempat Gara buka. Niatnya nanti saja ketika sampai di apartment dia akan membuka kotak itu.

Sekarang, lelaki itu dengan cekatan membuka kotak hitam itu. Seperti biasanya, hanya kertas yang menjadi isi dari kotak itu.

Dulu menjalin hubungan baik
Sekarang kita seperti tak kenal satu sama lain
Walaupun sering menyapa
Kamu tak pernah ingat siapa aku
Aku selalu ada, bersamamu

"Anjing siapa sih ini? Serius dah gue gak tahu. Kok tuh orang cuma kirim ginian sama gue? Kenapa gak ke yang lain?"

Otaknya kembali memutar ke masa dulu. Masa-masa di mana dia menjadi anak kecil hingga dewasa sekarang. Namun tetap saja, tidak ada ingatan yang menurutnya sangat perlu diatasi. Apa hubungan orang itu dengan dirinya? Sungguh Gara tak paham.

"Gara bisa anterin aku ke rumah Mama?"

Gara yang sedari tadi melamun kan sesuatu kini tersadar dengan suara perempuan yang di sampingnya. "Mau ngapain?"

"Mau jemput adik aku. Dia mau nginep di sini, boleh 'kan?"

"Hm," balasnya dan langsung masuk ke kamar.

Gara dan Gilfa sudah berada di mobil. Tujuannya sekarang ke rumah keluarga Prameswari. Tadi, sesaat Gilfa berganti baju, ponselnya bergetar menandakan panggilan dari mamanya. Mamanya bilang Gavi—adiknya itu menangis ingin bertemu dengan kakaknya, sudah lama mungkin mereka tak bertemu lagi. Palingan waktu itu, saat Gara dan Gilfa menikah saja, sisanya tidak ada waktu untuk mereka berdua, adik dan kakak.

Gavi Arnando Prameswari, anak kedua dari pasangan Riza dan Sandra. Bocah cilik itu kini sudah menginjak kelas satu SD. Sikap dia itu tidak kalah sama dengan kakaknya maupun Mama dan papanya. Mereka sekeluarga sama-sama tak ada akhlak. Walaupun begitu, keluarganya tetap harmonis sampai sekarang.

Kini, Gara dan Gilfa sudah sampai di pekarangan rumah milik keluarga Prameswari. Gilfa terlebih dahulu masuk ke dalam di susul oleh Gara di belakangnya.

"Assalamu'alaikum ya ahli kubur!" seru Gilfa kepada anggota keluarganya.

"Walaikumsal— kok ahli kubur sih?"

Gilfa tertawa untuk menanggapi perkataan mamanya.

"Ahhh Kakak kenapa baru ke sini sekarang?" Pertanyaan itu datang dari adiknya. Terdapat bekas menangis dari mata adiknya itu. Gilfa pun memeluk Gavi dengan penuh kerinduan.

"Maaf ya? Kakak sibuk sekolah soalnya."

"Kok Abang ini ikut?"

"Itu suami Kakak kamu," sambung Sandra. "Ayo, menantu duduk dulu lah, Mama bikinin minuman dulu."

"Gimana kabar kalian?" tanya Riza.

"Baik, Pa."

"Syukur kalau baik-baik aja. Ohya, jangan lupa kasih kita cucu lho. Papa udah gak sabar punya cucu."

Perkataan dari Riza membuat Gilfa dan Gara diam. Waktu itu Rindi yang meminta cucu, sekarang Riza.

"Kita masih sekolah, Pa. Gara gak mau ganggu dulu pendidikan Gilfa." Bukannya tidak mau Gara. Tapi dia itu masih bimbang dengan perasaannya. Masa Gara bikin anak tanpa ada perasaan cinta dulu. 

Riza terkekeh. "Papa berjanda."

"Bercanda Papa!" balas Gilfa dengan kesal.

"Oh salah ya?"

"Papa itu garing tahu gak!" desis Gavi. "Kalau Abang ini suami Kakak, berarti dia juga termasuk keluarga monyet dong?"

Gara menatap Gavi bingung. Kernyitan di dahinya bertambah ketika bocah cilik itu menyebut namanya dengan menyebutkan bahwa dirinya termasuk keluarga monyet?

Apa-apaan keluarga monyet. Wajah ganteng gini?

"Iya, Abang Gara termasuk keluarga monyet juga dong. Ayok di minum dulu," sambung Sandra sembari membawa minuman dan camilan.

"HOREE! Keluarga monyet kita bertambah!" seru bocah itu kegirangan. "Nanti Gavi panggilnya Abang monyet aja, ya? Cakep tahu."

Cakep palamu!

"Enggak boleh. Panggil Abang aja, jangan pakai monyetnya." elak Gara menggeleng kuat.

"Lah kenapa? 'Kan cakep tuh monyet. Abang ini juga cakep jadi pantaslah disebut Abang monyet."

"Enggak boleh pokoknya. Kalau panggil Abang monyet nanti Gavi gak boleh ikut sama kita. Ya, Gil?" lanjut Gara meminta persetujuan Gilfa.

Gilfa berpikir sejenak. "Boleh kok panggil Abang monyet, nanti kamu tetap ikut sama Kakak."

"Kak Gilfa juga setuju! Wleee!"

Gara hanya mendengus kasar mendengar jawaban Gilfa. Dia tidak akan pernah tenang jika Gavi ikut bersamanya tinggal di apartment.




Acara kunjungan sudah selesai. Kini Gara, Gilfa, dan Gavi tengah dalam perjalanan menuju apartment. Tiga G itu hanya diam dalam keheningan di dalam mobil. Gavi sedari tadi menatap ke arah luar jendela, di sana dia dapat menemukan kedai es krim. Lidahnya tergiur melihat plang bergambar es krim itu.

"Berhenti!"

Gara yang kaget lantas mengerem secara mendadak. Membuat para pengemudi lain menggeram marah atas tindakan Gara. Jalanan pun sampai terjadi kemacetan, untung saja tidak terjadi kecelakaan beruntun.

"Gavi kenapa? Lihat tuh orang-orang marah karena kita!" sentak Gilfa karena dirinya juga sangat terkejut.

Gara hanya bisa mendengus kasar. "Mau apa? Kok minta berhenti?"

Gavi yang menundukkan kepalanya pun mendongak menatap Gara. "Gavi mau beli es krim dulu, boleh?"

"Boleh, tapi inget ya? Jangan teriak dan bikin kaget Abang lagi."

Gavi mengangguk. Gara pun menjalankan kembali mobilnya untuk ke tempat es krim. Setelah sampai di kedai es krim, Gavi langsung turun dari mobil dan menghampiri kedai itu dengan raut senangnya.

"Gue tunggu di sini."

"Iya."

Kini, mereka bertiga sudah sampai di apart. Gavi sedari tadi tidak bisa diam. Bocah cilik itu berceloteh tentang penampilan dan isi dari apartment milik kakaknya.

"Kamarnya satu? Nanti Gavi tidur di mana?"

Gilfa yang mendengar itu nampak berpikir. Jika mereka tidur bertiga, apa tidak akan terjadi sesuatu? Mungkin iya akan terjadi sesuatu karena Gavi kalau tidur tidak bisa diam. Yang ada nanti Gavi akan menganggu Gara dan dirinya tidur.

"Tanya sama Abang Gara aja. Kakak mau masak dulu."

Gilfa berjalan ke arah dapur. Sedangkan Gavi masuk ke kamar untuk menemui Gara.

"Abang monyet!" teriak Gavi tepat ditelinga Gara.

Gara membalikkan badannya untuk melihat Gavi. Wajah Gara menandakan kekesalan. Mendengar panggilan itu membuat pertahanannya sebagai ketua runtuh. Di depan anak kecil dirinya seperti dianggap remeh.

"Jangan panggil Abang monyet, bisa?" tanya lelaki bertindik dengan raut wajah datarnya. Siapa tahu Gavi akan takut melihatnya.

"Kenapa?" tanya bocah itu. "'Kan bagus di panggil Abang monyet. 'Kan Abang udah masuk keluarga aku."

"Iya Abang boleh masuk keluarga monyet kamu. Tapi jangan panggil Abang monyet juga. Panggil Abang aja, bisa?"

Bocah itu tetap menggeleng. Tak terima dengan perkataan Gara. "No! No! No! Aku tuh udah punya lagunya lho. Mau denger?"

"Enggak sudi ah!"

"Ya udah aku bakalan terus panggil Abang monyet."

"Ya udah cepet nyanyi. Tapi harus janji lho jangan panggil Abang monyet lagi."

Gavi mengangguk. Lalu bocah itu naik ke atas kasur dengan membawa pulpen yang tergeletak di sana. Menjadikan pulpen itu sebagai mic-nya. Ekspresi bocah itu sangat ceria sebelum menyanyikan lagunya.

"Satu-satu aku anak monyet. Dua-dua Papa Mama monyet. Tiga-tiga Kakak Abang monyet. Satu-dua-tiga kita keluarga monyet."

Gara melongo tak percaya. Kurang kerjaan kah anak itu sehingga membuat lagu sayang semuanya di ubah seperti itu? Gara tak menyangka, kenapa bisa Sandra dan Riza melahirkan anak seperti ini. Mungkin jika mereka sudah berkumpul bersama, ketidakwarasan nya akan semakin bertambah. Tetapi, sebelum mengatai orang Gara juga berpikir tentang keluarganya. Bahkan keluarga Gara sama tidak waras nya, dari Papi dan Mommy-nya itu sama-sama tak waras ketika berkumpul. Tetapi, Gara sangat menikmati kebersamaan mereka, walaupun di bilang tak waras.

"Bagus gak?"

Gara tersenyum tipis. "Bagus, bagus."

"Kasih hadiah dong. Gak banyak-banyak kok, cuma mobil-mobilan, motor-motoran, rubik, Lego, terus sama bola. Boleh?"

Tak banyak apanya? Dikira membeli mainan seperti itu tak pakai uang banyak? Gara hanya mengangguk pada permintaan bocah itu.

Gavi berteriak kesenangan. Lalu bocah itu memeluk tubuh Gara dengan erat. "Abang baik banget. Janji deh Gavi gak panggil Abang monyet lagi."

"Abang juga harus baik ya sama Kak Gilfa? Gavi sayang banget sama Kak Gilfa, gak ada Mama waktu di rumah Kak Gilfa sendiri yang temenin Gavi. Kak Gilfa rela gak makan buat temenin Gavi yang nangis."

"Kak Gilfa itu berarti banget di hidup Gavi. Kalau Kak Gilfa pergi, Gavi bakalan sedih. Abang mau janji sama Gavi?" tanya bocah itu kepada Gara yang terdiam.

"Jangan sakiti hati Kak Gilfa, ya? Walaupun Kak Gilfa wajahnya ceria tapi hatinya suka sakit. Kak Gilfa itu suka pendam sendiri masalahnya. Abang mau janji sama Gavi? Kalau Abang ingkar, Gavi gak akan maafin Abang selamanya. Karena Gavi benci orang yang ingkar."

Perkataan bocah cilik itu membuat Gara diam membisu. Perkataanya sangat menohok relung hati Gara yang paling dalam. Dia hanya bocah cilik, tapi pemikirannya sangat dewasa. Sepertinya, Gara juga kalah telak dengan bocah cilik ini.

"Abang... janji, ya?"

"Huh? Em, Abang janji."

Kini mereka bertiga saling berbaring di ranjang yang berukuran cukup besar itu. Dengan Gavi yang berada di tengah-tengah mereka. Mereka seperti keluarga yang berbahagia. Dengan Gavi yang sebagai anaknya sangat cocok jika dilihat. Dari nama pun sama-sama berinisial G. Betul-betul keluarga yang berbahagia.

"Besok Kakak sekolah. Kamu diam di apart jangan keluar, ya? Kalau nakal Kakak gak akan pernah bawa kamu ke sini lagi." Gilfa berkata seperti itu agar adiknya bisa mematuhi perintah. Takutnya, jika nanti ditinggal, Gavi akan melakukan sesuatu diluar pengawasan Gilfa maupun Gara.

"Iya, Gavi gak akan nakal. Tapi nanti pas Kakak pulang jangan lupa bawa makanan plus es krim."

"Bisa diatur itu mah. Udah sekarang tidur udah malam."

Gara memejamkan matanya. Isi kepalanya masih berisi dengan perkataan dari bocah itu tadi. Ada rasa nyeri yang menjalar hatinya. Tetapi Gara tak tahu caranya menyembuhkannya. Apa semua penyesalan itu selalu datang diakhir? Gara masih tidak percaya dengan kalimat itu.

Tentang perasaanya juga. Gara masih tak paham. Apa yang ia rasa selama ini? Tidak bisa dijabarkan lewat kata-kata maupun tindakan. Gara di dekat Gilfa hanya nyaman saja, tidak ada perasaan ingin membalas cinta perempuan itu. Ingatannya juga kembali pada awal mereka menikah, Gara ingin membuat Gilfa menderita. Apa itu harus ia hapus dari rencananya? Ya, mungkin harus. Ia harus mulai mencoba untuk menerima semuanya. Dari pernikahan sampai perasaannya kepada Gilfa.

Gara berdoa, suatu saat nanti ia ingin masa depan keluarganya cerah dan harmonis. Mungkin Gilfa adalah jodohnya yang secara tak langsung Tuhan kirimkan dengan cara yang berbeda.

Lelaki itu kembali membuka matanya. Pandangannya menoleh ke arah dua orang yang sudah tertidur dengan pulas. Menatap wajah damai dari Gilfa membuat seutas senyum terpatri dari bibir lelaki bertindik itu. Matanya juga menatap ke arah Gavi, dari segi wajah Gavi sangat mirip dengan Gilfa. Tak ada bedanya.

"Gue harap, gue juga punya anak sama lo. Tapi gue gak yakin bisa, karena gue-nya aja gak cinta lo," katanya dan langsung terkekeh geli.

Leon berjalan berdampingan dengan Gilfa. Tujuan mereka sekarang adalah kantin. Leon meminta janji Gilfa untuk mentraktirnya selama satu bulan penuh. Jika Gilfa tidak mau, maka rahasia yang Gilfa punya akan Leon sebar. Raut wajah Gilfa sedari tadi hanya menampilkan wajah datar sekaligus sebalnya pada lelaki yang berada di sampingnya.

"Gue gak mau tahu pokoknya lo harus traktir plus temenin gue makan di kantin," kata Leon dengan suara khasnya.

Lelaki ber-bandana hitam itu menaik-turunkan alisnya. Meminta persetujuan dari perempuan di sampingnya.

"Hm."

Leon tertawa senang. "Nah gitu dong! Baru ini namanya sahabat!"

"Gue gak sahabatan sama lo lho."

"Terserah lo gila."

Perhatian seluruh murid di kantin tertuju pada dua orang yang baru saja duduk di bangku tengah kantin. Kedua orang itu pun tak luput dari pandangan Gara. Gara memicing untuk melihat secara jelas apa yang mereka lakukan berdua.

"Gila! Gila! Datangnya sama si Bos, istirahatnya sama orang lain," celetuk Jiwa saat melihat ke arah Gilfa dan Leon.

"Sesungguhnya Gilfa sudah menyerah. Jadi tuh anak pindah haluan lagi," sambung Zian dengan nada ceramahnya.

Gara berdecih mendengar suara dari teman-temannya. Tetapi, ketika melihat Gilfa dan Leon bersama membuat sesuatu yang berada di hatinya mengganjal sakit. Waktu itu ia juga pernah melihat kebersamaan mereka dan sekarang terulang lagi.

Satu sisi Gara menyimpan satu persen balasan cinta untuk perempuan itu. Satu sisinya lagi, ia seperti tak yakin.

Gara bingung dengan keadaan yang sekarang.

Ting

Gara menyimpan kembali ponselnya. Ia bangkit dan melangkah menuju kedua orang yang membuat sesuatu di dirinya sakit.

"Ikut gue!"

Gilfa mendongak ketika mendengar suara bariton khas dari suaminya. "Apa?"

"Lo ikut gue! Denger gak?"

Tanpa memperpanjang lagi. Gilfa bangkit dan ikut melangkah menyamai langkah suaminya. Para murid yang dikantin terkhususnya kaum hawa hanya mendesah kesal melihat pemandangan itu. Sedangkan, Leon yang di tinggal sendirian di bangku kantin hanya bisa menampilkan senyum kecilnya.

"Lo cemburu, Ga."







Di lain tempat...

"Lo apa-apaan berduaan sama si Leon?" tanya Gara dengan raut datarnya.

"Gak ada apa-apa. Kenapa, kamu cemburu?"

"Mata lo cemburu! Lo perlu inget, kalau lo itu udah punya suami. Jaga sikap dan jaga jarak sama cowok lain."

"Berarti kamu cemburu?" tanyanya penuh harap.

Gara mendesah. "Gue gak cemburu! Dan gak akan pernah cemburu."

"Terus kenapa marah?"

"Gue marah karena lo gak hargai gue sebagai suami."

Apa katanya? Tidak menghargai lelaki itu sebagai seorang suami? Gilfa hanya mendesah kecil. Perempuan itu menunduk untuk sesaat. "Kamu ngerasa aku gak ngehargai, sedangkan kamu juga gak pernah hargai aku."

"Gue mau berubah. Janji yang pernah gue bilang sama Mommy bakal gue lakuin. Fine, dulu gue gak hargai usaha lo, tapi sekarang gue bakalan mencoba buat terima segalanya. Buat apa sih gue makan masakan lo dari kemarin sampai sekarang? Buat apa gue biarin lo tidur di kasur? Semua itu, gue coba buat menghargai lo sebagai istri gue."

"Dan sekarang tugas lo harus percaya sama usaha dan perubahan gue mulai sekarang!"

Gara masih menatap mata teduh itu. Bahkan, bayangan dirinya terlihat jelas di mata bening milik Gilfa. Kemudian, menghela napas dengan panjang.

"Lo mau percaya kalau gue bakal berubah?" tanyanya kembali dengan suara pelan.

"Termasuk membalas cinta aku?" tanya Gilfa dengan suara bergetar. Gilfa tak yakin dengan pertanyaannya.

Gara berdecak. Matanya bergerilya menatap pemandangan yang berada di rooftop ini.

"K-kalau itu... gue gak yakin."

Kan Gilfa sudah duga. Pertanyaannya tidak akan pernah terjawab dengan yakin. "Terus kapan bisanya?"

"Gue gak tahu pasti. Tapi... lo cukup tunggu, kapan gue balas cinta lo."

Ada perasaan hangat menjalar hatinya. Namun kembali lagi, kapan akan terjawab cintanya? Karena bagi Gilfa, menunggu itu adalah hal yang paling menyakitkan. Sudah ditunggu namun seseorang itu tak kunjung datang pula. Sudah ditunggu namun cintanya tak akan pernah terbalas adalah salah satu rasa sakit yang teramat dalam. Dirinya menyukai Gara sudah lama sekali, ia sampai mengejar-ngejar hati Gara untuk ia dapatkan. Memberi perhatian lebih kepada lelaki itu, daripada adiknya sendiri. Dan dengan gampangnya Gara bilang, harus menunggu.

Gilfa tak yakin dengan itu.

Rasa cintanya pada lelaki itu seperti sia-sia saja. Dirinya tulus memberikan cinta, namun dibalas ketus oleh lelaki itu. Apa ia harus menuruti perkataan Gara?

Oke, Gilfa akan menunggu hingga cintanya terjawab.

"Kasih alasan kenapa kamu susah balas cinta dari aku? Kamu tahu, aku cinta kamu itu udah dari lama, dari kelas sepuluh. Aku cuma bisa mengejar hati kamu, tapi seberapa besar pun aku kejar, hati kamu gak akan pernah tergenggam."

"Lo cukup tunggu, ngerti 'kan?"

"Aku butuh alasannya!"

Gara mengusap rambutnya kasar. Lalu membasahi bibir atasnya secara perlahan, mata tajamnya memandangi Gilfa dengan intens. Lelaki itu mensejajarkan posisi tubuhnya dengan Gilfa.

"Karena lo saudara dari musuh gue," bisiknya tepat pada telinga Gilfa.

Panjang ya?

Iya, lagi semangat nulisnya. Ngebut juga biar cepet selesai.

Kasih kritik kalau ada kesalahan sama tulisan aku, ya?

Kritik dari kalian jadi pelajaran buat aku si penulis yang masih amatir:)

Bye!


Ets jangan lupa follow akun di bawah ini:

1. @rdita.08
2. @galara.official
3. @rosasnegras_team
4. @raganda_team
5. @cobra_team205

Ayo yang penasaran mampir ke akun di atas☝️

Continue Reading

You'll Also Like

Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 71.9K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
2.3M 116K 61
"Ma, papa gak pulang lagi ya? Kok gak pulang terus ma?" "Papa sibuk ai, makanya papa belum sempat pulang" "Tapi ma, teman airin papa nya juga kerja k...
4.4K 508 30
Bagaimana Duke menghadapi perasaannya? Apakah akhirnya ia terpaksa menikah dengan lady yang dibencinya? atau putri mahkota yang ingin dilindunginya...
31.5K 2.2K 24
Sequel dari ZTPB [1] Kalau kamu melihat bagaimana wujud dari kasih sayang, cobalah lihat dari bagaimana dia memperlakukan mu di saat kamu tengah bera...