🏁Kasih saran jika ada salah
🏁Jejaknya sangat dibutuhkan
🏁HAPPY READING 🖤
🏍️🏍️🏍️
"Ga, kapan ambil penyadap suara itu?" tanya Dewa pada Gara.
Mereka berdua tengah berada di apartment milik Dewa. Lelaki itu menyewa apartment hanya untuk menenangkan pikiran dari segala masalah yang ada. Jika di rumah, Dewa tidak akan pernah bisa berpikir jernih. Karena selalu saja, lelaki itu diganggu oleh adik nakalnya.
"Tunggu sampai satu Minggu. Setelah satu Minggu, gue bakal suruh semua anggota kumpul di basecamp, dan tugas lo sama yang lain ambil semua penyadap suara yang udah ditempel."
"Oh ya, apa lo inget satu-persatu motor anggota?" tanya Gara.
"Gue inget cuma separoh aja, yang lainnya enggak."
Gara nampak berpikir. Jika Dewa tak mengenali motor itu milik siapa saja, pasti akan sangat susah dan rumit untuk ditebak. "Gimana kalau nanti pas lo ambil penyadap itu, lo tulis satu-persatu plat nomornya. Cara yang mudah 'kan?"
Dewa tersenyum tipis lalu mengangguk. "Jadi, kita tinggal tunggu waktu yang tepat aja, nih."
"Yoi!"
Gara melihat ke arah tangannya. Jarum jam menunjukkan angka empat lebih lima menit. Lalu lelaki itu mengambil jaket dan memakainya. "Gue pulang dulu. Kalau misal ada apa-apa jangan lupa kasih tahu gue."
"Siap. Hati-hati lo di jalan."
"Emang gue anak perawan digituin."
"Gue peduli sama lo!"
"Serah, gue pamit."
Dewa terkekeh geli. Gara dan Dewa itu sudah berkawan sejak duduk di bangku SMP. Awalnya Dewa takut untuk mendekati Gara, hanya untuk saling kenal. Karena pada saat itu, raut wajah Gara selalu menampilkan datar dan dingin. Tetapi, ketika Dewa memberanikan diri untuk memperkenalkan dirinya sendiri, Gara nampak baik-baik saja. Menerima dirinya sebagai teman semasa SMP-nya sampai sekarang. Sedangkan untuk Jiwa, Leon, Zian, Juki, dan Samuel mereka berlima adalah teman semasa MOS di SMA. Sampai kelas XII, mereka bertujuh masih berteman dengan baik.
Gara membelah jalanan yang sepi dengan kecepatan rata-ratanya. Ia sengaja mengambil jalan pintas untuk sampai di apartmentnya. Jalanan yang ia lewati sudah jarang ada orang yang melewat, karena akses jalan ini sepi dari area penduduk. Hanya ada rumah-rumah namun terlihat tak berpenghuni. Sudah sepi ditambah dinginnya hawa sore ini terkesan horor jika dirasa. Langit pun menampakkan kehitam-hitaman, sepertinya cuaca sekarang akan terjadi hujan.
Dipertengahan jalan. Hujan pun turun dengan deras. Sudah ia duga hujan akan turun dengan cepat. Walaupun begitu, lelaki itu tetap santai menjalankan motornya. Suara deru motor dari arah belakang terdengar keras sampai telinga lelaki itu. Gara menoleh ke arah kaca spionnya, dan terlihat beberapa orang yang bertubuh besar dengan baju yang serba hitam seperti mengikutinya. Lelaki itu mencoba untuk tetap tenang, sedikit-sedikit ia menancapkan gas motornya. Para motor yang berada di belakangnya pun sampai menambah kecepatan motornya ketika melihat hal yang dilakukan Gara.
Ckit
Gara mengerem mendadak ketika para pemotor itu sudah mencegat motornya melaju. Lantas lelaki itu membuka helm full pace-nya dan melayangkan tatapan bertanya pada keempat lelaki dihadapannya.
"Kenapa ngikutin gue?"
Satu orang dari keempat lelaki itu menghampiri Gara, dan satu pukulan dia layangkan tepat pada pipi milik lelaki bertindik itu.
Bug
Gara mendesah tertahan. Pipinya berdenyut-denyut menimbulkan nyeri ngilu. Serangan yang tiba-tiba sedikit membuat dirinya akan kesusahan.
"Gue ada salah?" tanyanya kembali namun masih saja tak ada jawaban dari keempat orang itu.
Lalu, keempat orang itu sama-sama menghambat Gara. Dua orang memegang tangan beserta badan Gara. Dua orang lainnya melayangkan pukulan bertubi-tubi ke seluruh tubuh Gara.
Gara memberontak namun kedua orang yang di belakangnya memegang badan Gara dengan kuat. Gara sendirian tidak bisa melawan mereka yang datang secara tiba-tiba.
Bug
Bug
Plak
Bug
Plak
Sret
Entah akan berhenti sampai kapan pukulan itu. Tubuh Gara sudah kehabisan energi, sakit di bagian tertentu pada tubuhnya menambahkan kesan sakit berkepanjangan. Hujan pun tidak berhenti malahan terus menerus turun dengan deras. Wajah Gara sepertinya sudah tak ada bentuk lagi, banyak memar dan lebam di mana-mana. Satu bulir darah jatuh dari area pelipisnya. Matanya langsung terpejam dan tubuhnya ambruk di jalanan sepi dengan deraian air hujan yang turun.
Tak ada satu orangpun yang menjadi saksi kejadian tadi. Tak ada satu orangpun yang menolong dirinya dari pukulan keempat lelaki tadi. Semuanya serba sendiri, tidak bisa melawan keempat orang dengan tubuh besar itu. Entah apa salahnya dan berakhir sampai seperti ini. Sebelum kesadarannya habis, dalam hatinya ia berucap; tolong. Namun percuma, kata itu tak akan pernah didengar oleh siapa-siapa. Mungkin jika mempunyai kekuatan batin yang kuat dengan orang lain, maka seseorang itu akan merasakan bagaimana keadaan Gara dan apa yang sedang terjadi pada Gara.
Keempat orang itu langsung pergi meninggalkan Gara sendirian di cuaca dingin seperti ini. Sebelum itu, salah satu dari mereka menghubungi seseorang lewat panggilan telpon.
"Sudah beres, Bos!"
Gilfa sedari tadi terus mondar mandir. Berulang kali perempuan itu lakukan. Wajahnya menyiratkan kecemasan mendalam. Hatinya merasa sakit, tetapi entah apa penyebabnya. Telpon dan pesan yang ia kirim pada suaminya tak ada balasan apapun. Hanya centang satu berwarna abu-abu. Perasaan cemasnya semakin bertambah, ia ingin bertanya pada teman-teman suaminya, namun takut terjadi kecurigaan. Tetapi masa bodoh jika mereka curiga karena dirinya menanyakan keberadaan suaminya.
"Halo, Wa. Gue boleh nanya gak? Apa lo lagi kumpul bareng Gara?"
"Gue gak kumpul kok. Malahan gue lagi asik pacaran sama Rain. Emangnya kenapa lo—"
"Halo, El. Gue mau tanya, lo lagi kumpul bareng Gara gak?"
"Engga—"
"Halo, Le. Lo kumpul sama Gara?"
"Apanih nanya si Bos? Lo kangen? Anjay kangen!"
"Gue nanya serius ya?! Jawab!"
"Gue anteng di rumah sayan—"
Tiga orang itu tak ada jawaban yang memastikan bagi Gilfa. Matanya menatap ke arah jam lagi yang sudah menunjukkan pukul 12 malam. Biasanya Gara akan pulang ketika habis kumpul dengan gengnya. Namun sekarang...
Satu pikirannya melayang. Dewa.
"Halo. Dewa lo kumpul gak sama Gara?"
"Kumpul? Malam ini gak ada harinya buat ngumpul kayak biasanya. Tadi sih pas jam 4 kalau gak salah si Gara tuh pamit pulang dari apart gue."
"Oh gitu. Ya udah makasih."
"Tunggu!"
"Apa?"
"Kenapa lo tanya soal Gara? Kok suara lo kayak cemas gitu?"
"Enggak ada bye!"
Jam empat. Berarti Gara tak pulang ke apartment sudah berapa jam? Sudah 8 jam. Pikirannya kembali kalut. Takut terjadi sesuatu pada lelaki itu, walaupun Gara tak pernah peduli padanya, tetapi Gilfa akan selalu peduli pada lelaki itu.
"Kasih tahu Mommy jangan ya? Tapi takut marah nantinya."
"Arghh! Bingung!"
"Gilfa lo gak boleh cemas kayak gini ya. Tarik napas dalam-dalam langsung buang. Oke! Tunggu beberapa menit aja, siapa tahu anak itu pulang."
Setelah mengatakan itu, perempuan itu pun duduk di sofa ruang tamu. Menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa matanya terpejam untuk sesaat sebelum sebuah telpon berasal dari ponselnya berdering.
"Halo, ini siapa ya?"
"Halo, apa benar ini dengan mbak Gilfa?"
"Iya dengan saya sendiri. Ada apa ya?"
"Kami dari pihak rumah sakit ingin memberitahukan bahwa pasien yang bernama Gara mengalami luka lebam yang berasal dari tindak kekerasan."
"APA?! B-bagaimana bisa?"
"Kalau Anda ingin tahu maka tolong secepatnya Anda untuk datang ke rumah sakit Pradipta. Kami tunggu kedatangan Anda."
"B-baik."
Pasokan udara di dalam paru-parunya habis ketika mendengar kabar buruk yang menimpa suaminya. Kenapa harus terjadi seperti ini?
Rumah sakit Pradipta.
Gilfa sudah sampai di tempat itu. Matanya berkaca-kaca ketika melihat wajah Gara yang tak terbentuk dari luar kaca. Bahkan dahinya pun sampai diperban. Ia tak tega melihat kondisi Gara seperti itu. Apa penyebabnya lelaki itu mengalami hal ini?
Perempuan itu sudah mengabari kedua orang tua dari Gara. Dan ia takut akan di salahkan, karena tak becus mengurus suaminya. Dan ia sudah berjanji akan mengubah sikap Gara menjadi lebih baik, namun masih tetap saja tidak akan berubah jika Gara terus melakukan hal negatif.
"Mommy..." lirihnya ketika melihat Rindi dengan wajah sendunya.
"Gilfa Gara kenapa?" tanya Diaz khawatir.
"Gilfa gak tahu, Pi. Tadi Gilfa tanya ke teman Gara yang namanya Dewa, kata dia Gara pulang dari jam 4-an tapi Gilfa tunggu sampai jam 12, Gara gak pulang-pulang... dan tadi, tiba-tiba rumah sakit ini kasih kabar tentang Gara."
"Sudah kamu jangan menangis. Gara pasti akan baik-baik saja."
"Mommy gak tega lihatnya, Pi. Anak ganteng aku sekarang udah hancur penuh luka."
Diaz tetap mengelus punggung istrinya. Dan Gilfa hanya bisa diam sembari menangis.
Seorang Dokter keluar dari ruang ICU. Dokter itu membuka maskernya dan menghampiri orang tua Gara. "Jadi begini Pak, Bu. Pasien mengalami luka di sekujur tubuhnya. Luka itu didapat dari sebuah pukulan, dan benda tajam yang menggores pelipis dari pasien. Kami sudah mengobati lukanya dan kita berdoa untuk kesadaran pasien."
"Enggak ada yang parah 'kan, Dok?" tanya Rindi.
"Sejauh ini tidak ada. Kalau begitu saya permisi."
Anggota Rosas Negras terkejut ketika mendengar kabar buruk yang menimpa ketuanya. Semua anggota marah ketika melihat wajah ketuanya yang penuh dengan luka. Dewa sebagai wakil ketua dari geng Rosas Negras, berjanji akan menemukan siapa pelakunya.
Kini ketujuh orang itu tengah berdiri membentuk sebuah lingkaran. Tatapannya ketujuhnya sendu. Tak ada lagi candaan yang bisa Leon lontarkan dihadapan ketuanya. Hanya gurat sedih yang bisa ia pancarkan.
Tubuh Gara terbaring lemah di brankar. Dengan infus yang menempel di tangannya.
"Bos, kok bisa gini?" tanya Leon sendu.
"Asli Bos. Kemarin ketemu baik-baik aja, kok sekarang jadi gini?" balas Juki tak kalah sendu.
"Apa ini ada sangkut pautnya sama si pengkhianat itu?" tanya Jiwa.
"Bisa jadi. Mungkin si pengkhianat itu sengaja bikin ketua kita sekarat." timpal Samuel.
"Sesungguhnya gue gak ikhlas, ketua kita jadi gini. Bos bangun napa?" sambung Zian dengan setetes air matanya jatuh.
"Sekarang kita cuma bisa bantu doa buat kesembuhan Gara. Biar urusan itu gue yang urus, gue gak akan pernah kasih ampun sama orang yang buat ketua dari geng Rosas Negras kesakitan." teriak Dewa meski perasaannya tercabik-cabik melihat kondisi sahabatnya.
Cklek
"LO NGAPAIN KE SINI?"
—
Kira-kira ulahnya siapa?
Penasaran gak?
Oh ya, Fyi aja. Pengkhianat, orang penasaran, misterius, tuh aku jadiin satu kesatuan ya. Jadi, bukan beda-beda orang kalau aku sebut salah satu dari yang aku tulis ini.
Kalian bisa follow akun Instagram di bawah ini, kalau udah bisa DM nanti aku follback.
@_rdita.08
@rosasnegras_team
@raganda_team
@cobra_team205
Sampai jumpa🖤