Boss & His Children [END]

By Trii92

654K 43.7K 4.5K

-BLURB- "Ini hal pertama bagiku dan aku melakukannya dengan bosku sendiri yang statusnya sudah menikah. Aku d... More

Sinopsis
Part 1✨
Part 2✨
Part 3✨
Part 4✨
Part 6✨
Part 7✨
Part 8✨
Part 9✨
Part 10✨
Part 11✨
Part 14✨
Part 15✨
Part 16✨
Part 12✨
Part 17✨
Part 18✨
Part 19✨
Part 20✨
Part 21✨
Part 13✨
Part 22✨
Part 23✨
Part 24✨
Part 25✨
Part 26✨
Part 27✨
Part 28✨
Part 29✨
Part 30✨
Part 31✨
Part 32✨
Part 33✨
Part 34✨
Part 35✨
Part 36✨
Part 37✨
Part 38✨
Part 39✨
Part 40✨
Part 41✨
Part 42✨
Part 43✨
Part 44✨
Part 45✨|END
Epilog✨
KaryaKarsa✨
Ebook✨

Part 5✨

40K 1.6K 111
By Trii92

Wirna berjalan menuju lift, langkahnya terlihat ragu. Wirna berpikir apa ada sesuatu yang ia perbuat salah. Seingatnya ia tidak melakukan kesalahan fatal yang bisa merugikan perusahaan, tapi kenapa dirinya dipanggil oleh atasannya.

"Masuk!" Sahut seseorang dari dalam ruangan ketika Wirna mengetuk pintu bercat cokelat itu. Wirna terlihat gugup kemudian masuk dan berjalan dengan langkah ragu.

Wirna berdiri dengan canggung begitu dirinya sampai di depan meja sang bos. Atasannya sendiri terlihat acuh padanya, mata tajam itu sedang sibuk menatap layar komputer depannya.

"E-em, maaf, Pak. Ada apa, ya panggil saya keruangan bapak?" tanya Wirna, suaranya bergetar karena gugup.

"Oh, kamu—," seru Ibrah begitu menyadari keberadaan Wirna. Ia sekali lagi menatap layar komputernya, memastikan sesuatu sebelum beralih menatap Wirna. "Kerjaanmu masih banyak, tidak?"

Dengan wajah bingung, Wirna mengangguk dan menggeleng. "Nggak juga, sih, Pak. Ada apa, ya?"

"Saya mau minta tolong kamu jagain anak saya, Nino. Si bungsu. Saya ada rapat sebentar lagi di luar," tutur Ibrah. Kata-katanya lancar sekali seolah sudah di susun rapi sebelum menyampaikannya pada Wirna.

Kebingungan sendiri dengan maksud Ibrah, Wirna malah melamun. Ingin bertanya kenapa, namun takut membuat sang bos tersinggung. Tapi kenapa harus dirinya yang diperintah menjaga anaknya. Kemana sekretarisnya, seharusnya dia yang menjaganya. Bukan tak ingin menjaga anak sang bos, tapi dirinya juga punya kerjaan yang harus segera dikerjakan. Walau memang pekerjaannya tidak banyak tapi demi memanfaatkan waktu yang kosong, lebih baik Wirna mengerjakannya tanpa harus menunggu deadline.

"Bagaimana?" Suara Ibrah kembali terdengar begitu Wirna tak kunjung mengeluarkan pendapatnya.

"Tapi pekerjaan saya gimana, Pak? Saya juga lagi banyak kerjaan," tukasnya sedikit berbohong. Tak apalah berbohong, toh demi kebaikannya ini.

"Bukan deadline juga 'kan? Kamu boleh bawa pulang pekerjaan kamu kalau memang belum selesai. Gaji kamu juga akan saya naikan kalau kamu mau."

Hanya orang bodoh yang rela menolak penawaran yang sangat jarang terjadi dikalangan bisnis ini. Hanya menjaga anak sang bos, dirinya mendapat penawaran kenaikan gaji yang tak mungkin bisa ditolak.

"O-oh, baik Pak. Saya akan menjaga putra bapak," sahut Wirna dengan suara tertahan karena terlampau senang.

"Dia ada didalam ruangan saya," tunjuk Ibrah pada ruangan lain yang ada di ruang kerja Ibrah.

***

Sudah satu jam lamanya menjaga anak atasannya membuat Wirna kelimpungan ketika bayi bernama Nino itu terbangun dan menjerit keras. Sudah digendong dan ditimang masih saja menangis. Botol susu sudah habis sejak tadi karena mengira mungkin Nino kelaparan tapi hal itu tak juga membuahkan hasil.

Pakaian Wirna tak lagi terbentuk karena Nino selalu menendang kesana-kemari.

"Mau apa sayang?" Tanya Wirna halus begitu tangan mungin bayi itu menarik kerah kemejanya sehingga kancing teratas kemejanya terlepas.

Nino tentu tak menjawab karena tak mengerti. Namun wajahnya selalu di arahkan ke dada Wirna, mendusel seakan mencari sesuatu.

Wirna bukan anak polos yang tak mengerti arti kelakuan anak pak bosnya. Wirna punya keponakan yang juga pernah berlaku sama padanya ketika menggendong keponakannya. Mendusel kearah dadanya mencari sesuatu, saat itu kakak iparnya mengatakan kalau keponakannya sedang lapar dan itu artinya mencari sumber makanannya.

"Ssst, jangan nangis dong," tutur Wirna. Ia bisa melihat wajah bayi digendongannya sudah memerah karena menangis. Wajahnya dipenuhi air mata yang sesekali sesegukan akibat terlalu lama menangis.

Bukannya berhenti bayi laki-laki itu masih menangis kencang. Tenaganya semakin bertambah membuat Wirna kewalahan. Kemejanya sudah lusuh dan basah oleh air mata Nino. Kancing bajunya sudah terlepas hingga menampilkan branya. Nino semakin brutal memukul-mukul dadanya seolah meminta sesuatu itu dikeluarkan dari sana.

"Yasudah, sini kita baring," mengalah lebih baik daripada membuat bayi tampan ini pingsan.

Akhirnya Wirna memilih berbaring diatas kasur. Memperbaiki posisinya menjadi miring meski agak susah karena Nino sejak tadi tidak mau lepas darinya. Dengan segera mengeluarkan sebelah payudaranya dan menyodorkan putingnya didepan mulut Nino yang ajaibnya sudah berhenti menangis namun masih sesegukan.

Wirna merasa aneh ketika putingnya diemut kencang oleh bibir mungil Nino. Ini hal baru baginya, apalagi Wirna tak memiliki anak. Jangankan anak, menikah saja belum apalagi mau menyusui. Hancur sudah harapannya yang bermimpi jika suatu saat anaknya akan menyusu padanya seperti yang dilakukan Nino.

Tak sampai disitu tangan Nino bahkan sudah menyusup masuk di balik branya yang lain mencari puting Wirna. Tangan mungil itu mengelus dan sesekali memutar-mutar pelan puting Wirna, bermain-main dengan kedua gunung kembarnya. Wirna hanya pasrah menerima perlakuan tak senonoh anak sang bos meski harus memendam perasaan aneh.

Entah berapa lama Nino menyusu—yang bahkan tak ada ASI-nya. Namun mulut kecil itu tak pernah sekalipun melepas putingnya, padahal mata Nino sudah terpejam yang artinya ia sudah tidur. Wirna sudah pegal tiduran dengan posisi miring.

Wirna mencoba melepas putingnya ketika melihat gerakan mulut Nino berhenti. Ketika terlepas ia pun memosisikan tubuhnya telentang, membiarkan sejenak payudaranya terpampang karena takut membangunkan Nino.

Baru saja Wirna hendak memasukkan payudaranya kembali ke dalam branya, namun pintu ruangan yang ditempatinya tiba-tiba terbuka dan menampilkan wajah sang atasan yang tidak seperti biasanya. Penampilannya kusut serta wajah yang sama kusutnya. Entah apa yang terjadi pada atasannya itu. Wirna tidak tahu karena terlalu kaget melihat wajah bosnya ada di hadapannya dengan kondisi dirinya yang hampir telanjang.

Masih wajah kagetnya, Wirna tak menyadari jika Ibrah dengan langkah penuh berjalan kearahnya. Wirna baru tersadar ketika Ibrah sudah berdiri disampingnya dengan wajah pias.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Ibrah dengan suara tegas. Matanya menilisik penampilan karyawannya yang berbaring telentang dengan bagian atas terbuka. Seakan mengundang dirinya.

"E-em. Ti-tidak Pak. Ini tadi Nino menangis dan—," ucapan Wirna berhenti begitu Ibrah mencium bibirnya dan menindih tubuhnya.

Wirna berontak sekuat tenaga ketika diperlakukan seperti itu. Ia merasa dilecehkan. Wirna juga tidak peduli jika anak Ibrah terbangun karena ulahnya. Sungguh Wirna tak peduli. Harga dirinya lebih penting saat ini.

"Pak, tolong berhenti!" Sentak Wirna berusaha menjauhkan tangan Ibrah dari daerah dadanya. Ibrah justru tak mengindahkannya, ia malah meremas pelan payudara Wirna dan menghisap putingnya keras. Wirna merintih disertai desahan ketika merasa sensasi lain menerpa dadanya. Wirna tak mengerti rasa apa yang jelas sensasinya berbeda dengan ketika Nino yang menghisapnya.

Ibrah mengangkat wajahnya menghadap Wirna. Sekali lagi bibirnya mendarat di bibir Wirna yang bergetar karena menangis.

"Bapak kenapa seperti ini pada saya. Saya ada salah apa sama bapak?" Tanya Wirna dengan air mata yang mengalir deras. Wirna tak lagi memedulikan penampilannya yang sudah tak lagi punya harga diri di depan Ibrah.

"Kamu ada kekasih atau teman dekat lelaki?" Bukannya menjawab Ibrah justru balik bertanya, yang bahkan pertanyaannya melenceng dari topik dan suasana yang dialaminya.

"Saya anggap kamu tidak punya melihat kamu tak menjawab," pungkas Ibrah karena Wirna terdiam. "Kita bisa memulai hubungan kalau kamu mau."

Wirna melongo tak percaya mendengarnya. Telinganya tidak salah dengarkan mendengar atasannya menembak dirinya. Apalagi suasananya tidak mendukung. Mengajak dirinya menjalin hubungan setelah apa yang terjadi barusan menurutnya bukan hal romantis. Sangat jauh dari kata romantis.

Ibrah lagi-lagi mencium Wirna dengan lebih mendalam dan menuntut. Tangannya kembali meraba perut hingga ke payudara Wirna. Bibirnya semakin turun kebawah menuju area dada Wirna, mencium dan mengulumnya. Sementara tangan kanan dan bibirnya bekerja di payudara terbuka Wirna, tangan kiri Ibrah mencari pengait bra Wirna dan membukanya. Kemeja Wirna juga dibuka hingga Wirna tak lagi mengenakan atasannya, alias setengah telanjang.

"Pak, hiks.. tolong berhenti," rintih Wirna kembali menangis.

Ibrah tak peduli, ia sudah dibutakan oleh nafsunya. Pikirannya dalam kondisi yang tak bisa membuatnya berpikir lebih baik. Maka dari itu Ibrah dengan cepat membuka dan meloloskan rok span Wirna beserta celana dalamnya. Tak lupa juga Ibrah melepas semua pakainnya hingga telanjang bulat. Ibrah melirik kesamping dimana anaknya tidur. Tak ingin menganggu ketenangan sang putra, Ibrah memilih pindah ke sofa yang ada di depan ranjang.

Ibrah mengangkat tubuh lemah Wirna kegendongannya menuju sofa dan membaringkannya. Kini Wirna telentang dengan kedua paha yang terbuka lebar. Sementara sang atasan memposisikan dirinya di antara kedua pahanya. Kembali mencium dan meremas payudara Wirna. Tangan kanannya menekuk kaki Wirna dan menyandarkan di sofa sementara kaki satunya dibiarkan menggantung di bawah.

"Pak, pelan," sahut Wirna pelan. Bukan karena dirinya murahan yang berlagak malu-malu tapi mau. Wirna hanya tidak ingin rasa sakitnya semakin bertambah jika hanya diam saja. Cukup hatinya saja yang sakit karena dilecehkan, jangan fisiknya. Apalagi ini yang pertama kali baginya.

Ibrah mengangguk mengerti. Matanya menatap tepat dimata Wirna yang juga sedang menatapnya penuh antispasi. Sementara bagian bawah tubuhnya mencoba menerobos masuk di dalam tubuh Wirna.

"Ahk, sa-kit," pekik Wirna pelan begitu Ibrah berhasil masuk kedalam tubuhnya. Ini sakit—sakit sekali hingga air matanya menetes.

Ibrah menunduk, memperhatikan alat kelamin mereka yang menyatu. Ada darah yang mengalir dibawah sana yang hampir menetes ke sofa. Dengan cepat Ibrah menyapu menggunakan jarinya dan melap dipahanya begitu melihat ada darah lain yang mengalir dengan deras dari dalam tubuh wanita dibawahnya. Ibrah pun mengambil berapa lembar tissue diatas meja dan melipatnya kemudian menaruhnya dibawah bokong Wirna. Sebagai langkah mencegah noda darah kegadisan Wirna mengenai sofa.

Baru kemudian Ibrah mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur dan Wirna mengimbanginya. Sesekali Ibrah menunduk kebawah agar darah perawan Wirna tak mengenai sofa atau sekedar memperbaiki letak tissue dibawahnya. Wirna mengalungkan kedua lengannya di leher Ibrah tanpa sadar ketika merasakan rasa nikmat di bawah sana. Akal sehatnya sudah hilang terganti rasa nikmat yang semakin menjadi.

Setelah sekian lama berpacu meraih kenikmatan akhirnya pelepasan Ibrah untuk yang pertama kalinya meledak bersama dengan Wirna yang entah sudah berapa kali dirinya mengalami pelepasan. Hembusan napas mereka saling beradu seiring pelepasan itu terjadi. Ibrah ambruk diatas tubuh Wirna dengan pinggul masih menghentak pelan menikmati sisa pelepasannya.

Wirna pun semakin erat memeluk leher Ibrah seakan takut kehilangan. Tanpa sadar air matanya kembali menetes mengingat apa yang baru saja mereka lakukan.

"Aku harap Mas bisa bertanggung jawab atas apa yang sudah kita lakukan barusan."

Menghilangkan rasa sopan dan santun. Wirna memilih berbicara santai, tidak ada lagi gunanya berbicara formal setelah apa yang sudah mereka lakukan. Bahkan panggilannya pada Ibrah pun berubah. Wirna tak peduli orang menyebut dirinya manusia tak tau malu karena memang Wirna tak bisa membohongi dirinya sendiri.

Wirna takut dan khawatir pada dirinya dan masa depannya. Wirna membuang semua rasa malunya. Untuk apa malu memanggil atasannya 'Mas' dan meminta pertanggung jawaban jika hal pribadinya saja sudah tak memiliki rasa malu. Ibrah sudah melihat semua tubuhnya bahkan mengambil keperawanannya.

***

Kalo mau baca yg lebih hot,, baca aja ceritaku yg judulnya Suamiku Pria Tua. Baca secepatnya sebelum aku hapus😅

Aku bisa up ini krna emang ada di draft, cuman tinggal up doang:)

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 33.8K 56
Kiara Aulia Pradipta tidak menyangka sama sekali di umurnya yang menginjak usia 23 tahun harus menikah dengan adik iparnya atas permintaan adiknya. K...
51.6K 2.7K 73
Follow dulu sebelum baca ya!🤗🙏 Happy reading ❤️ Anya Anastasya Wijaya, seorang wanita yang tak pernah jatuh cinta tiba tiba menyukai pria seumuran...
489K 23.1K 29
Sudah aku deklarasikan sejak dulu, Kau adalah milikku. KONTEN DEWASA! 20++ DI BAWAH UMUR DI LARANG KERAS UNTUK MELANJUTKAN!
1M 26.4K 51
tak pernah terbayangkan menjadi seorang Alira ia harus menjadi pengganti kakaknya yang kabur diacara pernikahannya. bagaimana kisah Alira...?