fluorescent adolescent

By radarneptunus

11.1K 1.5K 953

Karena, setiap remaja, memiliki setiap rona-nya masing-masing. Tentang masa lalu, tentang cita-cita, tentang... More

✧˚₊
bagian satu
bagian dua
bagian tiga
bagian empat
bagian lima
bagian tujuh
bagian delapan
bagian sembilan
bagian sepuluh
bagian sebelas
bagian dua belas
bagian tiga belas
bagian empat belas
bagian lima belas
bagian enam belas
bagian tujuh belas
bagian delapan belas
bagian sembilan belas
bagian dua puluh
bagian dua puluh satu
bab akhir
₊˚✧

bagian enam

337 66 58
By radarneptunus

Jana melemparkan semua kertas-kertas, cokelat, bahkan surat yang ada di lokernya. Ia benar-benar tidak ada dalam suasana hati yang baik untuk meladeni kelakuan orang-orang yang Jana tidak pahami jalan pikirannya. Jana tidak melakukan apapun, tetapi surat dan segala hal itu tetap saja singgah di lokernya, sampai Jana akhirnya risih sendiri sekarang.

Ia baru saja ketahuan menyontek pekerjaan rumah Adam, dan mendapatkan hukuman untuk merangkum tugas entah apa di perpustakaan, sedangkan Adam dihukum membersihkan toilet laki-laki di koridor kelas sebelas. Bodoh, Jana.

Jana berjalan lunglai ke arah perpustakaan. Kalau ia boleh memilih, ia ingin menukar hukumannya dengan hukuman Adam. Pertama, karena ia memang tidak suka membaca sesuatu yang panjang, dan kedua, kalau membersihkan kamar mandi, Pak Taufik belum tentu melihat dan mengawasi, Adam bisa kabur kapan saja—meskipun, Pak Taufik juga tidak akan mengawasi Jana, tetapi tetap saja, ia harus mengumpulkan tugasnya, 'kan?

Jana mengedarkan pandangannya, mencari sebuah meja kosong yang kemungkinan bisa ia pakai untuk dirinya sendiri, tetapi matanya menangkap eksistensi Asa. Cewek mungil itu sedang duduk dan menekuni sebuah buku—sepertinya buku sejarah peminatan.

"Halo!" sapa Jana ceria. "Gua duduk sini, ya?"

Asa mendongak. Asa tadinya berharap ia bisa kabur dari Adrea dan Wynetta yang berdebat soal mading sekolah untuk mengerjakan tugasnya dengan damai dan sentosa di perpustakaan, tetapi kenapa ia justru bertemu Jana?

Bumi Janakarsa itu satu angkatan di atas Asa. Jago menyanyi—karena cowok itu tergabung sebagai vokalis di band jebolan ekstrakulikuler. Jago menggambar—karena gambarannya selalu mejeng di mading atas permintaan dari ketua ekstrakulikuler jurnalistik. Tetapi, sangat bodoh dalam masalah pelajaran. Cowok itu selalu digembar-gemborkan oleh berbagai guru. Guru kesenian jelas membanggakan Jana karena kemampuan seninya yang sangat jauh di atas rata-rata. Sedangkan guru matematika dan geografi biasanya lebih sering protes karena nilai cowok itu tidak bisa mencapai 5. Yang mana sebenarnya Asa kurang setuju dengan perlakuan guru-guru yang mengeluh soal Jana. Karena toh, siapa yang mau menjadi bodoh? Asa yakin Jana juga tidak mau dibicarakan seperti itu. Meskipun, nama Bumi Janakarsa tidak pernah tidak dibicarakan, baik oleh guru maupun siswanya.

"Eh, ditanyain juga. Bukannya jawab malah ngelamun."

Asa menatap Jana bosan. "Tanya apa?"

"Ngapain di perpus?"

Tidak penting.

"Emang ada larangannya gua nggak boleh di perpus gitu?"

Keduanya saling menatap dengan arti yang berbeda. Asa dengan tatapan jengkelnya, sedangkan Jana dengan mata yang sedikit menyipit karena ia masih tersenyum.

"Lima... En—"

"Apaan sih, Kak?" tanya Asa, langsung memotong acara tatap-tatapan yang tidak penting.

"Katanya kalo tatap-tatapan tujuh detik bisa jatuh cinta," ujar Jana ringan, membuat Asa melotot. Ada apa sih dengan kakak kelasnya ini?

"Mitos," ujar Asa pendek. "Itu meja masih banyak yang kosong."

"Emang ada larangannya gua duduk di sini?"

"Ada."

"Mana?"

Keheningan menyeruak untuk yang kedua kali. Asa menatap Jana dengan aura penuh permusuhan, sedangkan Jana dengan alis yang dinaik-naikkan.

"Daripada lo penuh dendam ke gua—dan berakhir jangan-jangan nanti gua jodohnya elo—mending lo bantuin gua," ujar Jana setelah selesai berhitung dalam hati. Tujuh detik. Meskipun, tatapan Asa masih penuh dengan kejengkelan. Mungkin, cewek itu berpikir Jana aneh atau apalah, yang Jana tahu, ia memang aneh—pada cewek di depannya ini saja.

"Males banget," ujar Asa sambil melirik buku-buku entah apa yang dibawa oleh Jana.

"Bukan bantuin ini. Gua baru inget nanti ada kuisnya Bu Refa, 'kan? Gua nggak seberapa ngeh sama materi akuntansinya."

"Males."

"Diiih, ilmu tuh harus dibagiin tau, Sa."

"Berisik."

"Ayo bantuin."

"Enggak ih."

Jana menyipit menatap Asa, sedangkan cewek itu sudah kembali menekuni buku sejarahnya.

"Oke, besok gua coba lagi," ujar Jana sebelum akhirnya berdiri. Ia lebih baik mengerjakan hukumannya dimanapun, asal tidak berdekatan dengan Asa, membuat konsentrasinya buyar.

Jana berakhir numpang di ruang OSIS bersama Genta yang sedang sibuk dengan proposal entah apa.

"Ta, lo nyesel nggak sih, masuk OSIS?" tanya Jana tiba-tiba di tengah kegiatan menulisnya, membuat Genta sontak mendongak.

"Nyesel apa dah?"

Jana mengangkat bahu. "Nggak tau. Kadang gua suka bingung aja sama lo, gimana bisa lo jadi juara satu, ngurusin OSIS, ikut lomba sana-sini, masih sempet main sama kita-kita lagi. Jangan-jangan lo robot kali ya, Ta?"

Genta tertawa. Ia berteman dengan Jana bukan karena sebuah kebetulan, melainkan sebuah proses.

"Lo inget nggak sih, dulu waktu kelas delapan ada apaan?"

Raut wajah Jana blank beberapa saat sampai akhirnya cowok itu tertawa. "Kok lo masih nginget-nginget hal itu sih?"

Genta mengangkat bahu, masih dengan senyuman yang terpatri di bibirnya. Jana menyeletuk, "Sumpah sih, Ta, tapi dulu gua benci setengah mati sama lo, but it ended up you always there when I need help. Nggak cuma waktu itu aja, tapi setelah gua sadari,  ternyata banyak banget."

"Gua kenapa dulu mau-mau aja, ya, disuruh ngawasin elo mulu?" tanya Genta, diselingi kekehan. Ia sudah menutup proposalnya.

"Tapi lo annoying banget. Dikit-dikit ngadu ke Pak Karyo kalo gua ngelanggar."

"That's my duty, of course."

Genta mendengus geli. Dulu, waktu kelas delapan, ia menjadi koordinator divisi kedisiplinan, dan ia diberi kepercayaan oleh Pak Karyo, pembina OSIS, untuk mengawasi Bumi Janakarsa, anak pindahan dari SMP Negeri yang terkenal berandalan. Dan, memang benar.

Di hari pertama Jana masuk, Genta sudah bisa memberikan penilaiannya, yaitu 1) cadel, 2) sombong, dan 3) mewarnai rambutnya menjadi cokelat terang di hari pertama sekolah. Meskipun, Genta menyadari bahwa dirinya sombong, Jana sangat jauh lebih sombong darinya.

Di minggu pertama, Genta sudah melakukan banyak hal yang cukup membuat Jana membencinya, yaitu 1) memotong rambutnya—dengan buruk—karena rambut Jana lebih panjang daripada kerah seragamnya, 2) menangkap Jana yang mau kabur dari kelas, dan membuat Jana dihukum mengecat tembok lapangan belakang sekolah, 3) membuat Jana gagal menjadi pengisi acara di pentas seni karena Jana kena skors selama seminggu karena Pak Karyo tahu kalau cowok itu membuat babak belur anak sekolah lain.

Di semester pertama, Genta sudah bisa meng-update soal penilaiannya, yaitu 1) kesulitan mencapai angka enam dalam laporan bulanan, 2) gambarannya benar-benar breathtaking, 3) pandai menyanyi, meskipun menolak mentah-mentah untuk masuk ke ekstrakulikuler band, dan 4) membenci Genta.

Namun, di hari pertama semester dua, Jana sepertinya harus mengubah penilaiannya terhadap seorang Haidar Genta Abrasya.

"Jelas-jelas ini ada di tas kamu! Masih saja mengelak dan berbual?"

Jana hanya terdiam. Ia merasa sudah mengatakan bahwa benda terkutuk itu bukan miliknya, tetapi tidak satupun dari guru-guru yang sekarang menatapnya dengan penuh penghakiman ini percaya.

"Ya udah kalau Bapak dan Ibu nggak percaya, saya di DO juga nggak masalah," ujar Jana. Ia pindah dari SMP-nya yang lama ke sekolah ini bukan karena di DO, melainkan karena nilainya yang tidak memenuhi standar, dan ayahnya tidak mau kalau Jana harus tinggal kelas, jadilah cowok itu dipindahkan.

Jana memang tidak tahu bagaimana reaksi ayahnya nanti ketika beliau tahu Jana di-DO karena ditemukannya rokok dan sekotak fiesta, yang—demi semua orang, bahkan dirinya sendiri, yang ada di ruangan ini—bukan miliknya sama sekali. Jana boleh berandal, Jana boleh bodoh, Jana boleh tidak menyukai setiap keputusan ayahnya, tapi ia jelas tidak akan mengecewakan ibunya dengan melakukan hal bodoh seperti itu. Sewaktu kecil, ibunya suka membacakannya potongan-potongan dari Alkitab, disertai dengan renungan dengan bahasa sederhana, dan hal itu membuat Jana jelas merasa dirinya cukup terdidik, secara jasmani dan rohani.

Baru guru-guru itu akan mengambil keputusan, sebuah ketukan di pintu membuat semua yang ada di ruangan menoleh, kecuali Jana yang sudah benar-benar malas dengan omong kosong ini.

"Saya berani jamin kalau itu bukan milik Jana, Pak, Bu."

Suara yang familiar itu sontak membuat Jana menoleh. Meskipun Genta jarang mengajaknya bicara, begitupun Jana, tetapi hanya Genta yang paling dekat, dan paling Jana hafal suara serta wajahnya. Wajah yang sekarang babak belur dan tangannya yang berdarah masih bergetar.

"Ini rekaman CCTV dari kelas 8D," ujar Genta sambil menyodorkan sebuah flashdisk di balik genggamannya yang menurut Jana terlalu erat, dan bergetar.

"Semoga masih bisa ditancapkan, karena tadinya flashdisk ini mau direbut, tetapi saya pertahankan sebisanya," ujar Genta lagi.

Secepat itu mereka melepaskan Jana dan Genta, lalu memanggil Devar dan teman-temannya.

"Lo bonyok gara-gara Devar sama golongannya?" tanya Jana ketika mereka berdua ada di UKS, dan Genta berusaha mengobati luka-lukanya, dibantu oleh teman cowok itu, kalau Jana tidak salah ingat, namanya Adam.

"Gua tau kalo lo cuma nakal, bukan bejat," ujar Genta kemudian.

"Well, you know my answer about your question," ujar Genta kemudian, memecah keheningan yang muncul karena ia melamun dan Jana kembali terfokus pada kegiatannya mengerjakan hukuman. "Menurut gua, dimana pun posisi kita, pasti ada sesuatu yang bisa lo ambil. Sekecil apapun."

Dalam hati, Jana benar-benar bersyukur dia bisa menemukan Genta. Semangat cowok itu selalu membuat Jana ingin melakukan yang terbaik dalam pendidikannya.

"Eh, temen lo kenapa tuh, lari-lari?" tanya Jana yang baru saja melihat Adam melintasi ruang OSIS.

"Kak Adam cakep, noleh dong!"

Adam menghentikan langkahnya ketika ia mendengar suara Jana. "Apaan buru."

"Enggak. Lo mau kemana? Udah beres ngerjain hukumannya?"

"Udah. Mau latihan."

Jana memasukkan kembali kepalanya ke ruang OSIS tanpa menjawab apapun, membuat Adam kembali mengambil langkah ke lapangan. Ia sudah terlambat hampir setengah jam karena hukuman membersihkan toilet sialan itu.

Dan, karena ia terlambat, ia diberi hukuman untuk mentraktir minum, maupun snack untuk semua anak di tim basket putera.

Dobel kesialannya sekarang.

Adam memindahkan tas belanja berwarna biru gelapnya dari tangan kanan ke tangan kiri. Isi tas itu adalah minuman isotonik untuk seluruh teman tim-nya, juga beberapa snack ukuran besar.

Adam terus berjalan, sesekali merutuki keputusannya untuk tidak membawa kendaraan saja. Tadinya, ia hendak membeli minuman di kantin, tetapi ternyata kantin sudah tutup, dan tidak ada pilihan lain lagi selain minimarket di dekat sekolahnya.

Ia menyipit ketika menatap sekumpulan cewek yang menyudutkan seseorang. Adam berjalan mendekati gerombolan itu, dan matanya melebar ketika ia melihat bahwa orang yang dipojokkan itu adalah Naisha. Genggaman Adam pada tas birunya mengerat. Cowok itu berdeham. "Ada apaan kalian sama dia?"

Kelima perempuan itu sontak menoleh. Dari seragamnya, Adam tahu itu seragam SMA dari sekolah lain.

"Apa urusan lo?!" tanya salah satu dari mereka dengan nada tersengak yang pernah Adam dengar.

Adam menerobos dan menarik Naisha mendekat ke arahnya. "Cewek gua. Apa urusannya lo sama dia?"

Kelimanya saling berpandangan. Mereka tidak tahu benar siapa Adam, yang mereka tahu, cowok ini adalah pemain basket yang cukup menonjol, dan merupakan teman Nolan. Teman Nolan. Label itu ternyata cukup membuat mereka berlima akhirnya pergi tanpa mengatakan apapun lagi, meninggalkan Adam dan Naisha yang sekarang dilingkupi kecanggungan.

"Sori," ujar Adam, menjauh beberapa senti, menggenggam tasnya semakin erat untuk meredam detak jantungnya yang sembarangan berdetak terlalu kencang.

"Makasih," gumam Naisha pelan, berharap semoga Adam masih bisa mendengar ucapan terima kasihnya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat di balik kardigan. Seluruh pertemuannya dengan Adam ini membuat spot jantung rasanya.

"Mereka apain lo?"

Naisha berdeham sejenak. Ia mengigit bibirnya, merasakan pandangan Adam ada padanya. "Mereka cuma malak aja kok."

"Malak?"

Naisha mengangguk.

"Udah sering?"

"Lumayan."

"Kok bisa?"

Baiklah. Naisha merasa hal ini agak aneh. Ia kira Adam tidak akan terlalu banyak bertanya ini itu.

"Mereka itu kayaknya satu angkatan di atas kita, Dam, dulu waktu gua masih kelas sepuluh sering dicegat kalo lagi jalan sendirian. Mintain duit. Nggak tau emang kekurangan apa gimana, tapi dulu ya gua kasih aja daripada urusannya panjang, mana mereka suka ngancem-ngancem."

Adam salah fokus.

Ia tidak menyangka kalau suara Naisha begitu enak didengarkan jika berbicara sesuatu yang panjang.

Bodoh.

"Lo mau kemana emang kok sendiri?"

"E-eh, ke minimarket."

Adam sontak menghentikan langkahnya, membuat Naisha juga berhenti. Cowok itu berjongkok, mencari-cari sesuatu di tas birunya. Tidak lama, ia menarik sebotol air mineral, memutar tutupnya dan menyodorkannya ke arah Naisha.

Naisha masih bergeming, membuat Adam menarik pergelangan cewek itu, menaruh botol mineral ke dalam genggaman Naisha yang cukup kecil.

Setelahnya, keduanya berjalan lagi menuju ke sekolah. Kalimat terakhir yang dilontarkan Adam cukup membuat Naisha bergeming di tempatnya untuk waktu yang cukup lama.

"Kalo lo mau pergi dan nggak ada temen, lo bisa telepon gua, ID gua gibraltardam. Gua temenin, kalo gua nggak bisa, gua cari cara lain biar lo nggak sendirian."

.

"Mbak, parfumnya dicoba dulu."

Shayna buru-buru menolak semua tawaran SPG department store yang menghalangi jalannya. Ini sudah pukul delapan malam, Shayna baru saja pulang dari mengajar les Kenzo, dan ia hendak mencari sandal karena ia teringat bahwa sandalnya satu-satunya putus. Shayna berjalan lurus terus menuju ke toko sandal yang menjadi tujuannya, tetapi langkahnya terhambat karena ada sebuah gerombolan yang cukup ramai di depan food court.

Kemana satpam mall di saat ada keributan seperti ini?

Shayna terpaksa menerobos sambil menggumamkan permisi beberapa kali, tetapi langkahnya benar-benar terhenti ketika ia melihat ada wajah Nolan.

Tunggu.

Apa itu benar-benar Nolan?

Shayna sekarang agak berjinjit, ia melihat Nolan-lah sumber keributan itu. Rahang cowok itu mengeras. Di dekatnya berdiri tiga perempuan, yang satu menangis, yang satu mencengkeram erat tas bertali besi, seperti akan memukulkannya pada Nolan—atau sudah, karena cowok itu babak belur di dekat mata, hidung, dan ujung bibir—dan, perempuan terakhir berteriak, menanyakan apa maksud dari perbuatan Nolan.

Shayna jadi teringat percakapannya dengan Lintang, sahabatnya, tempo hari.

"Lo mikirin apa sih, Shay?"

Shayna yang sedang menusuk-nusuk indomie-nya lantas mendongak dan bergumam, "Gua abis dapet hukuman bareng Nolan."

"Nolan... Byanazriel?"

"Siapa lagi!"

"Kok bisa sih?"

"Dia nabrak gua, ngotorin seragam gua pake kopi, di hari Senin."

Lintang menatap Shayna dengan pandangan tidak pecaya. Cewek itu selalu mengikuti emosinya, dan sekarang, ia merasakan akibatnya sendiri. "What I told you about controlling your emotion, Shayna?"

"Iya, Lintang. I get it. You told me like a thousand time. Tapi, lo tau sendiri gua suka kesel sama orang kayak Nolan gitu."

"Udah ah. Lupa lo sama trope, 'Benci jadi cinta'?"

"That's bull. And I'm not hating him."

"Better not."

Keheningan menyeruak. Shayna bahkan melihat Nolan yang sedang bermain tangkap lempar permen bersama dengan temannya, Jana dan Adam.

Konyol.

"That's our playboy, Byanazriel Nolan Arion."

Kata Lintang ketika ia mengikuti arah pandang Shayna, membuat cewek itu mengangguk setuju. Nama Nolan sudah tersohor suka berganti-ganti pacar, tidak hanya di sekolah yang sama, tetapi di sekolah yang lain juga.

"Permisi, Mbak." Suara dan senggolan dari seseorang reflek membuat lamunan Shayna terbuyarkan. Ia melihat Nolan masih dalam posisi yang sama. Iya, Nolan memang playboy, but really? Three girls at a time?

Shayna sudah bisa melihat ada satpam yang menangani keributan ini. Satpam itu menggiring Nolan dan ketiga perempuan itu keluar dari gerombolan, membuat semuanya bubar, termasuk Shayna.

Entah setan apa yang merasuki Shayna, cewek itu mengambil langkah mendekati satpam. "Permisi, Pak, maaf, ini temen saya kenapa, ya?"

Shayna ditatap oleh ketiga perempuan itu seolah Shayna adalah pacar keempat atau apalah.

"Dia membuat keributan di mall ini, Mbak, jadi mau saya bawa ke ruangan."

"Maaf, Pak, maaf sekali, teman saya memang ini memang phobia keramaian, dan saya tadi lalai, jadi dia tersesat. Maaf sekali, Pak, ini pasti sangat mengejutkan untuk dia."

Sekarang, empat orang—lima, jika Nolan dihitung—menatap Shayna penuh kebingungan, terutama cewek-cewek itu. Mungkin mereka tidak pernah mengira bahwa Nolan—yang menurut mereka mungkin cakep dan yah apalah pemikiran cewek-cewek itu—kelainan dan memiliki phobia keramaian? Shayna berusaha menahan tawanya.

"Boleh saya bawa pulang untuk menenangkan diri sebelum dia ngamuk, Pak?"

Satpam akhirnya membuang napas panjang. "Mbak, tolong pacarnya dijagain, ya. Kalau phobia keramaian jangan diajak ke mall."

Shayna akhirnya menarik Nolan, mengamit lengannya dan melemparkan senyuman terakhirnya yang sangat canggung, lalu menjauh dari empat orang itu.

"Lo kenapa sih, Lan?" tanya Shayna saat mereka ada di dalam lift. "Serius lo mainin cewek sebanyak itu?"

Nolan masih saja diam, membuat Shayna sedikit takut. Cewek itu menepuk-nepuk pipi Nolan. "Lan? Lo kenapa, Lan? Nggak kerasukan, 'kan?"

Tiba-tiba saja, Nolan meletakkan kepalanya di bahu Shayna. Cowok itu merosot sedikit agar bisa menyamai tinggi Shayna. "Gua takut banget anjir, Shay."

Shayna ingin sujud syukur ketika akhirnya Nolan berbicara. Cowok itu tidak kerasukan. Atau... justru Shayna yang kerasukan? Ia membiarkan Nolan meletakkan kepala di bahunya.

"Takut apaan?"

"Takut dipukulin pake tas tadi."

"Bukannya udah?"

Nolan mengangguk. "Ya, tapi tetep aja. Gua takut mati gara-gara dipukulin pake tas besi itu."

"Ya udah tobat, Lan, kalo takut mati."

Nolan mengangguk lagi. "Makasih, ya."

Baru kali ini, Shayna menyadari bahwa Nolan merupakan orang yang berbeda dari biasanya.

"Sori gua tadi bilang lo phobia keramaian. Abis gua nggak tau lagi gimana caranya bawa lo keluar dari situ."

Nolan tertawa sejenak. "That's cool."

"Hape lo bunyi," ujar Shayna tiba-tiba saat mendengar dering lagu Chasing Cars milik Snow Patrol yang tiba-tiba mengudara.

Nolan yang sedang memejamkan mata sontak tertawa. "Sori, gua kira lift-nya ada musik."

"Bego ih."

"Halo."

"Lan, botol gua di mobil lo nggak?"

"Ye, nggak taulah. Emang lo bawa ke mobil gua?"

"Bawa tadi. Kayaknya lupa gua ambil, besok bawain sekalian isiin ya."

"Tolong-nya mana?"

"Minta tolong ya, Byanazriel."

Genta meletakkan ponselnya, lalu menoleh ke arah Senja yang duduk di kursi penumpang.

"Serius, kamu nggak usah repot-repot juga biasanya aku pulang sendiri, Ta."

Genta masih serius di balik setirnya, dia membawa mobilnya berbelok ke arah SPBU.

"Ya biasanya kamu bawa kendaraan, Nja. Sekarang udah jam berapa, masih mau ngojol? Lagian, siapa yang repot juga," ujar Genta akhirnya, sebelum keluar dari mobil, meninggalkan Senja yang membuang napas panjang.

Senja dan Genta tidak seperti pasangan kebanyakan yang kemana-mana diantar jemput, lalu selalu tahu sedang apa dan dimana. Senja memiliki kehendaknya sendiri untuk tidak bergantung pada Genta, dan Senja sangat tahu, kehidupan Genta terdiri dari berbagai macam aspek, tidak hanya berporos pada Senja seorang.

Dan, hari ini, Genta menjemput Senja dari latihan tim basketnya karena Genta tahu kalau mobil Senja harus masuk bengkel sejak tadi pagi, dan... meskipun Genta dan Senja berbeda dari kebanyakan pasangan, Genta tidak akan membiarkan Senja pulang pukul sembilan malam, naik ojek pula.

"Udahlah, ya, nggak usah mikir kamu ngerepotin. Aku jemput juga belum tentu sebulan sekali, Nja." Suara Genta membuyarkan lamunan Senja, membuat cewek itu tersenyum tipis.

"Ini waktunya DBL emang bikin capek. Sori kalo bawaannya kesel terus," ujar Senja, membuat Genta mengangguk paham.

"Jangan sampe memforsir latiannya. Dibagi juga sama yang lain tuh."

Senja mengangguk, mengangkat tangan sebagai bentuk siap grak, membuat Genta tersenyum. "Kan udah diajarin sama yang lebih ahli."

Senja menatap sebuah foto yang ada di dashboard. Foto polaroid-nya dan Genta sewaktu di Dufan. Membawa Senja ke dalam kenangan-kenangan pada saat awal mereka jadian. Jatuh pada Genta tidak semudah yang dibayangkan. Jatuh pada Genta berarti harus menerima semua kelebihan Genta. Tentu saja kelebihan. Kebanyakan perempuan pasti berpikir, enak jadi pacarnya Genta, tinggi, cakep, pintar, berwibawa, pandai berorganisasi, bicara di depan umum, main gitar, apa kurangnya? Tetapi, tanpa Genta tahu, Senja terkadang merasa ada di urutan nomor sekian, apabila Genta seharian berkutat dengan kelas pengayaannya, lalu urusan OSIS-nya, lalu ekstrakulikulernya, belum kalau ada perlombaan macam ini, dan rangkaian pemilihan ketua OSIS. Senja seperti berpacaran dengan Presiden.

"Besok kamu tanding?" tanya Genta, membuyarkan lamunan Senja.

Senja mengangguk. "Nonton, 'kan?"

Genta mengangguk, seolah yakin, dan dua detik kemudian, cowok itu bertanya, "Malem?"

Senja menatap reminder yang ada di ponselnya, lalu menggeleng pada Genta. "Jam empat. Yang malem, 'kan, tim cowok."

Genta memainkan jari-jarinya di atas setir. Membuat Senja mengulas senyuman kecil. "Nggak bisa nonton, ya?"

"Aku... nggak janji, Nja. Jam tiga ada pertemuan MPK sama OSIS buat penyaringan interview tahap pertana. Kalo jam empat udah selesai, aku nonton, tapi telat dikit, ya?"

Kalau diibaratkan, jika total Senja bertanding ada dua puluh kali, Genta berkata akan datang juga sebanyak dua puluh kali, dan benar-benar datang—terlambat atau tidak—sebanyak enam, paling banyak tujuh.

Jadi, Senja sudah terbiasa tidak menggantungkan harapannya setinggi langit. Sudah Senja bilang 'kan, berpacaran dengan Genta, berarti menerima semua kelebihannya.

"It's okay," jawab Senja akhirnya.

"Hari-hariku takkan sama tanpamu.
Aku ingin terus bersamamu, bila kau mau, ku takkan kemana." Suara Genta memasuki pendengaran Senja, mengikuti alunan musik dari radio mobilnya.

Senja tertawa. "Kalo nggak pake earphone kececeran tuh."

Genta balas tertawa. "Payah. Padahal tadi bagus."

Senja mencibir. Dalam hati, ia mengakui kalau suara Genta memang ramah di telinga. Rendah, namun menenangkan. "Lain kali di voice note-in dong."

"Bukannya nyanyi di depan kamu langsung itu lebih spesial, ya, artinya?"

Senja tertawa. Genta bertanya pada Senja seolah-olah ia bukan pacarnya, seolah cowok itu meminta saran PDKT.

"Ya iya, Ta. Cuma kalo di voice note aku jadinya bisa simpen. Bisa dengerin kapan aja."

"Ya kalo kamu mau denger, telepon aku aja. Aku nyanyiin. Kapan aja. Grogi aku kalo ngomong di depan HP."

"Nggak tau ya sejak kapan kamu jadi jago gombal gini."

Genta mengernyit. "Kok gombal? Orang aku ngomong beneran."

"Kok bisa ya aku pacaran sama kamu?"

"Oh, nyesel ceritanya? Terus maunya gimana?"

Senja menatap Genta gemas. "Serius amat."

"Senja, aku sama kamu itu beneran. Beneran nggak gombal. Beneran nggak nyesel. Beneran sayang. Jadi, jangan nanya kok bisa, oke?"

Tipikal Genta. Tidak bisa bercanda soal ini.

.

⋆ ˚。⋆୨୧˚ ˚୨୧⋆。˚ ⋆

a.n:

how to survive a bad day really

to all of my reader jngan kelewatan yha bacanya abis votenya lubang2 gitu takutnya kelewatan.

stay healthy ya kalian. jangan lupa makan teratur, buat yg sekolah online semangat terus, ya?

there's so much things goin in one day but i know that all of you can handle it well. you did well.

Continue Reading

You'll Also Like

165K 19.7K 27
[WattysID 2019 Winner: New Adult] Alam memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Ailsa yang sudah berumur empat tahun. Katanya, hubungan mereka...
4.5K 1.1K 26
Sejak kecil Aisha Ramadhani nggak peduli dengan julukan 'tidak pintar' dari teman-temannya. Hidupnya baik-baik saja meskipun nilainya hanya bertengge...
3.4M 278K 47
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
3.4M 160K 62
[SEBELUM BACA YUK FOLLOW DAN VOTE SETIAP CHAPTER SEBAGAI BENTUK PENGHARGAAN BUAT AUTHOR YANG CAPE CAPE MIKIR ALURNYA, YA WALAU MUNGKIN ADA YANG GAK M...